Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Alasan AI Berpotensi Memperburuk Polarisasi Sosial dan Politik

ilustrasi bermain media sosial
ilustrasi bermain media sosial (unsplash.com/camilo jimenez)
Intinya sih...
  • Algoritma AI memperkuat gelembung informasi, membuat pengguna terpapar pada informasi yang menguatkan pandangan mereka sendiri.
  • Penyebaran disinformasi yang lebih canggih dan cepat oleh AI dapat digunakan untuk menyerang lawan politik dan memicu ketegangan sosial.
  • Pola personalisasi yang ekstrem oleh AI mengurangi keberagaman perspektif dan kualitas diskursus publik.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah membawa berbagai manfaat besar dalam berbagai sektor kehidupan. Di balik potensi positifnya, AI juga menyimpan risiko serius yang perlu diperhatikan, terutama dalam konteks sosial dan politik. Salah satu kekhawatiran utama adalah bagaimana AI dapat memperdalam jurang perbedaan pandangan, nilai, dan preferensi antar kelompok masyarakat.

Kemampuan AI untuk menganalisis dan mempersonalisasi konten berdasarkan data pengguna telah menciptakan echo chamber yang membuat individu semakin jarang terpapar pandangan berbeda. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menumbuhkan intoleransi serta memperuncing konflik ideologis di tengah masyarakat. Berikut adalah empat mekanisme utama bagaimana AI berpotensi memperburuk polarisasi sosial dan politik.

1. Algoritma AI memperkuat gelembung informasi

ilustrasi bermain sosial media
ilustrasi bermain sosial media (unsplash.com/ROBIN WORRALL)

Salah satu mekanisme utama yang menyebabkan polarisasi adalah cara algoritma AI bekerja dalam menyajikan konten di media sosial dan platform digital lainnya. AI didesain untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna dengan menampilkan konten yang paling sesuai dengan preferensi sebelumnya. Hal ini membuat pengguna cenderung menerima informasi yang menguatkan pandangan mereka sendiri, tanpa tantangan dari sudut pandang berbeda.

Akibatnya, ruang publik digital berubah menjadi kumpulan gelembung informasi yang saling terpisah. Setiap kelompok hanya terpapar pada informasi dan narasi yang mendukung opini mereka, sehingga kebenaran menjadi relatif dan bergantung pada kelompok mana yang dilihat. Dalam jangka panjang, hal ini melemahkan kohesi sosial dan memperkuat sikap eksklusif terhadap kelompok lain.

2. Penyebaran disinformasi yang lebih canggih dan cepat

ilustrasi hoaks
ilustrasi hoaks (pexels.com/Markus Winkler)

AI mempermudah produksi dan penyebaran konten palsu, termasuk disinformasi politik dan berita bohong. Teknologi seperti deepfake memungkinkan penyebaran informasi menyesatkan dengan tampilan yang semakin meyakinkan. Kecepatan dan skala distribusi informasi oleh AI membuat masyarakat lebih sulit membedakan mana yang fakta dan mana yang manipulatif.

Dalam konteks politik, disinformasi ini bisa digunakan untuk menyerang lawan politik, menyebarkan kebencian, atau memicu ketegangan sosial. Bahkan, kampanye politik dapat didesain menggunakan analisis data dari AI untuk menargetkan kelompok tertentu dengan narasi yang sengaja memecah belah. Ketika informasi palsu menyebar lebih cepat daripada klarifikasinya, kepercayaan publik terhadap institusi dan media pun semakin terkikis.

3. Pola personalisasi yang ekstrem mengurangi keberagaman perspektif

ilustrasi wawancara tokoh politik
ilustrasi wawancara tokoh politik (freepik.com/freepik)

Salah satu kekuatan utama AI adalah kemampuannya dalam mempersonalisasi pengalaman pengguna, namun personalisasi yang ekstrem justru dapat mengisolasi individu dari wacana umum. Dengan menyesuaikan setiap tampilan konten berdasarkan perilaku online dan preferensi, pengguna hanya disuguhi materi yang dianggap paling relevan dan menarik baginya. Hasilnya, eksposur terhadap gagasan alternatif menjadi sangat terbatas.

Pengurangan keragaman perspektif ini berdampak langsung pada kualitas diskursus publik. Ketika masyarakat tidak lagi terpapar berbagai sudut pandang, mereka cenderung menganggap pandangannya sebagai satu-satunya kebenaran. Hal ini membuat diskusi antar kelompok sulit terwujud karena masing-masing tidak lagi memiliki kerangka referensi yang sama dalam memahami isu sosial dan politik.

4. Automasi dalam moderasi konten bisa bias dan tidak transparan

ilustrasi berita politik
ilustrasi berita politik (pexels.com/Anna Keibalo)

AI kini digunakan untuk moderasi konten dalam skala besar di berbagai platform digital. Meski efisien, sistem moderasi berbasis AI masih menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait bias algoritma. Keputusan AI dalam menghapus atau menyembunyikan konten sering kali tidak transparan dan bisa mencerminkan sudut pandang tertentu, yang berpotensi memicu persepsi ketidakadilan di antara kelompok pengguna.

Kondisi ini bisa memperkuat narasi bahwa platform digital memiliki keberpihakan politik tertentu, meskipun tidak selalu benar. Ketika kelompok tertentu merasa didiskriminasi atau dibungkam, kepercayaan terhadap media dan institusi teknologi semakin menurun. Situasi ini menjadi lahan subur bagi munculnya teori konspirasi dan memperparah ketegangan antara berbagai kelompok sosial dan ideologis.

Selain membawa manfaat besar bagi berbagai aspek kehidupan, AI berpotensi memperburuk polarisasi sosial dan politik. Jika tidak dikelola secara bijak, AI dapat menjadi alat yang memperdalam polarisasi melalui mekanisme yang tersembunyi namun kuat. Oleh karena itu, penting bagi pembuat kebijakan, pengembang teknologi, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama memastikan bahwa penggunaan AI harus adil, inklusif, dan mampu memperkuat dialog antar kelompok.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us