5 Alasan Fenomena Doomscrolling Bisa Terjadi, Segera Atasi!

- Manusia punya bias negatif yang alami, seperti kecenderungan untuk tertarik pada informasi negatif dibanding positif.
- Manusia punya kendali terhadap suatu hal, sehingga melakukan doomscrolling untuk merasa memiliki kendali atas situasi.
- FOMO atau takut ketinggalan info penting mendorong seseorang untuk terus memeriksa informasi tanpa henti, bahkan jika itu menguras energi mental.
Semakin digulir, semakin penasaran. Pernah gak kamu merasa demikian? Pernah gak kamu merasa ketagihan dengan membaca informasi negatif di internet? Entah itu berita, ujaran kebencian, dan lainnya.
Jika pernah, hal ini menandakan kamu mengalami doomscrolling. Secara umum, doomscrolling merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan perilaku seseorang menelusuri informasi negatif secara kompulsif di internet, termasuk media sosial.
Beberapa tahun terakhir, fenomena ini memang cukup banyak terjadi di kalangan masyarakat kita. Lantas, kenapa sih doomscrolling bisa terjadi? Berikut alasannya!
1. Manusia punya bias negatif yang alami

Setiap individu punya bias negatif yang alami. Dilansir laman Universitas Hang Tuah, umumnya seseorang lebih tertarik pada peristiwa negatif dibanding peristiwa positif.
Ini juga yang menjadi alasan banyak berita cenderung menyajikan informasi negatif dibanding informasi positif, seperti kejahatan, bencana, konflik, dan skandal. Pernyataan tersebut bukan berarti semua media menyoroti berita yang negatif, ya. Ada sejumlah media yang berfokus pada berita konstruktif yang sifatnya memotivasi dan menginspirasi.
Bias negatif atau negativity bias ini berkembang sebagai mekanisme kelangsungan hidup bagi suatu individu. Sebab, hal itu mampu membantu individu untuk mengidentifikasi serta menghindari potensi ancaman yang ada.
2. Manusia punya kendali terhadap suatu hal

Alasan lain terjadinya doomscrolling ialah karena manusia punya kendali terhadap suatu hal. Dilansir laman Glints, Very Well Mind mengatakan bahwa alasan individu melakukan kegiatan doomscrolling ialah karena keinginannya untuk dapat mengendalikan sesuatu. Contohnya, saat kamu membaca berita tentang penyebaran COVID-19 di internet, kamu merasa punya kendali untuk melakukan pencegahan.
Contoh lainnya, saat krisis ekonomi mendominasi feed kamu, kamu merasa bahwa semakin banyak informasi tentangnya yang kamu serap, semakin besar pula kendalimu melakukan persiapan menghadapinya. Padahal, hal tersebut justru bisa meningkatkan kecemasan dan membuat kamu gak berdaya. Manusia memang merasa memegang kontrol atas situasi mereka, terlebih jika dihadapkan pada ancaman atau ketidakpastian.
3. FOMO

Di era digitalisasi sekarang, tuntutan untuk selalu up-to-date seolah menghantui banyak pengguna internet. Gak sedikit dari kita yang mengalami FOMO, takut akan ketinggalan informasi penting. Perilaku FOMO dapat mendorong seseorang untuk memeriksa informasi tanpa henti sekalipun mereka harus terpapar hal-hal negatif dengan intensitas tinggi.
Kalau kamu sedang FOMO, kamu mungkin jadi takut diasingkan dalam percakapan sosial, dianggap kurang update. Alhasil, untuk bisa menghindari kejadian yang gak diinginkan, kamu memaksa dirimu untuk tahu segala hal, melakukan doomscrolling tanpa sadar. Kamu gak peduli jika hal itu menguras energi mental kamu.
4. Kecanduan stimulus dan dopamin

Dopamin adalah hormon bahagia. Sesuai dengan namanya, fungsi utama hormon ini ialah untuk mengatur suasana hati dan memberikan motivasi. Interaksi dengan internet kerap kali memberikan dopamin instan kepada seseorang.
Setiap kali ada informasi baru, ada sedikit pelepasan dopamin yang membuat kamu ingin terus mencari lagi dan lagi. Otak kamu pun terlatih untuk mencari dopamin instan secara berulang. Gak peduli apakah informasi yang kamu terima itu bersifat positif ataupun negatif, selama kamu menikmatinya, kamu akan terus menggulir.
5. Adanya perbandingan dan validasi sosial

Alasan selanjutnya kenapa seseorang bisa melakukan doomscrolling adalah karena adanya perbandingan atau validasi sosial. Dilansir laman Universitas Hang Tuah, dengan membandingkan situasi yang dialami orang lain yang keadaannya lebih buruk, seseorang mungkin akan merasa lega. Fenomena ini disebut sebagai downward social comparison, yakni sebuah situasi ketika seseorang membandingkan kemampuan, pendapat, atau sifatnya dengan orang lain yang dirasa gak sebaik dirinya.
Kondisi semacam ini membuat seseorang lebih mudah untuk merasa bersyukur. Perasaan lega ini lantas memungkinkan seseorang terus ingin mencari perbandingan semacam itu lagi. Tanpa dasar, mereka pun melakukan doomscrolling meskipun merasa kelelahan mental.
Doomscrolling bukanlah kebiasaan yang dibenarkan, melainkan perlu dihentikan. Jadi, kamu harus tahu penyebab mengapa seseorang melakukan doomscrolling agar bisa mencegahnya. Yuk, lebih sadar dalam bermedia sosial dan bangun kebiasaan positif sebagai pengguna internet! Semoga langkah kita untuk berhenti dari doomscrolling berhasil, ya!