Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Fanatisme Bisa Menjebakmu dalam ‘Bubble’ Realitas

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Fanatisme memunculkan bias konfirmasi, membuat kamu menolak informasi yang berbeda dan hidup dalam ilusi satu sudut pandang yang benar.
  • Fanatisme menyamakan ketidaksetujuan dengan ancaman pribadi, membuatmu kehilangan kemampuan untuk berdialog sehat dan belajar dari perspektif lain.
  • Fanatisme membatasi pergaulan dan relasi sehat, membentuk isolasi sosial terselubung dan menghambat pemahaman dunia yang lebih luas.

Kamu mungkin pernah merasa sangat membela sesuatu—entah itu idola, ideologi, atau komunitas—sampai-sampai rasanya semua hal di luar itu terdengar salah atau bahkan mengancam. Di sinilah fanatisme mulai bekerja secara diam-diam: membentuk "bubble" yang memisahkan kamu dari realitas yang lebih luas. Masalahnya, bubble ini tidak hanya menghambat cara berpikir sehat, tapi juga membatasi kualitas hidup dan kedewasaan emosional.

Berikut ini lima alasan kenapa fanatisme bisa menjebakmu dalam bubble realitas yang sempit dan berbahaya.

1. Membuat kamu menolak informasi yang berbeda

Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/Edmond Dantès)
Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/Edmond Dantès)

Fanatisme memunculkan bias konfirmasi; kecenderungan untuk hanya mencari dan menerima informasi yang mendukung keyakinanmu. Akibatnya, kamu mulai menolak bukti-bukti yang valid hanya karena datang dari pihak yang berbeda. Lama-kelamaan, ini bisa membuatmu hidup dalam ilusi bahwa hanya satu sudut pandang yang benar.

Dalam jangka panjang, kamu akan terperangkap dalam ruang gema (echo chamber) yang mempersempit wawasan. Ini bukan cuma bikin kamu ketinggalan informasi penting, tapi juga membuat kamu lebih reaktif, defensif, dan sulit berkembang secara intelektual maupun emosional.

2. Menyamakan ketidaksetujuan dengan ancaman pribadi

Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/Kampus Production)
Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/Kampus Production)

Saat kamu terlalu fanatik terhadap sesuatu, perbedaan pendapat terasa seperti serangan terhadap identitasmu. Padahal, tidak semua orang yang tidak setuju denganmu berniat menyerangmu. Tapi fanatisme membuat kamu merasa harus terus membela, menyerang balik, atau bahkan memusuhi.

Akhirnya, kamu jadi kehilangan kemampuan untuk berdialog sehat dan belajar dari perspektif lain. Rasa takut akan “salah” membuatmu bertahan dalam bubble yang sempit, meskipun sebenarnya kamu sedang menjauh dari kedewasaan berpikir.

3. Membatasi pergaulan dan relasi sehat

Ilustrasi dua orang wanita (Pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi dua orang wanita (Pexels.com/cottonbro studio)

Fanatisme bisa memengaruhi cara kamu memilih teman, pasangan, bahkan lingkungan kerja. Kalau kamu hanya mau bergaul dengan orang-orang yang 100 persen sejalan, kamu justru sedang membangun isolasi sosial terselubung. Ini bukan kenyamanan, tapi keterbatasan.

Dalam realitas yang lebih sehat, relasi justru dibentuk dari keberagaman, toleransi, dan diskusi yang terbuka. Kalau kamu hanya berkutat di lingkungan homogen secara ide dan nilai, kamu akan sulit memahami dunia yang jauh lebih luas dan kompleks dari bubble-mu.

4. Menumbuhkan ilusi kendali dan kebenaran mutlak

Ilustrasi seorang wanita duduk tegak (Pexel.com/cottonbro studio)
Ilustrasi seorang wanita duduk tegak (Pexel.com/cottonbro studio)

Fanatisme membuatmu merasa punya kebenaran absolut, dan itu bisa sangat memabukkan. Kamu mulai mengatur cara orang lain berpikir, merasa berhak menghakimi, dan menganggap dirimu "lebih tahu" dari semua orang. Ini bukan kepemimpinan, tapi bentuk kontrol terselubung.

Semakin kamu yakin bahwa hanya pendapatmu yang benar, semakin kamu sulit menerima realitas yang tidak bisa kamu kontrol. Padahal hidup penuh dengan variabel, perubahan, dan ketidakpastian. Fanatisme menciptakan ilusi stabilitas, tapi dengan harga mahal: kehilangan objektivitas dan fleksibilitas berpikir.

5. Menumpulkan rasa empati dan nalar kritis

Ilustrasi seorang pria serius (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Ilustrasi seorang pria serius (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Ketika kamu terlalu larut dalam fanatisme, kamu akan melihat dunia dalam hitam-putih: siapa yang "di pihakmu" dan siapa yang "melawanmu". Empati jadi tumpul, karena kamu tak lagi peduli pada alasan atau latar belakang orang lain. Kamu juga jadi malas berpikir ulang atau mengkritisi pendapat sendiri.

Ini bahaya besar buat perkembangan pribadi. Karena tanpa empati dan nalar kritis, kamu bukan cuma jadi keras kepala, tapi juga kehilangan sisi manusiawi dalam melihat dunia. Kamu jadi versi yang defensif dan mudah tersulut, bukan versi terbaik dari dirimu yang seharusnya bisa tumbuh lewat refleksi dan keterbukaan.

Fanatisme itu menggoda karena menawarkan rasa aman dan identitas yang kuat. Tapi kalau tidak diawasi, kamu bisa terjebak dalam bubble yang terlihat kokoh, padahal rapuh secara intelektual dan emosional. Kamu berhak punya pendirian, tapi juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pendirian itu tidak membatasi pertumbuhanmu.

Berani membuka ruang untuk pertanyaan, keraguan, dan sudut pandang lain bukan tanda kelemahan—tapi justru tanda bahwa kamu sedang membebaskan diri dari jebakan bubble dan tumbuh menjadi manusia yang lebih dewasa. Dunia ini luas, dan kamu pantas menjelajahinya dengan pikiran yang terbuka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us