5 Penyebab Seseorang Mengalami Fanatisme pada Sesuatu

- Fanatisme adalah keterikatan emosional yang berlebihan terhadap suatu hal, bisa menjadi bentuk penghargaan atau kecintaan, tetapi jika berlebihan dapat menimbulkan konflik dan tindakan ekstrem.
- Penyebab fanatisme antara lain karena kekosongan dalam hidup, pencarian identitas diri, pengaruh lingkungan sekitar, media sosial, kebutuhan akan kepastian dan rasa aman, serta trauma atau peristiwa menyakitkan di masa lalu.
- Kurangnya kemampuan berpikir kritis juga dapat memicu fanatisme, membuat seseorang mudah terseret dalam arus opini mayoritas dan sulit menerima fakta yang bertentangan.
Fanatisme merupakan bentuk keterikatan emosional yang sangat kuat terhadap suatu hal, seperti tokoh publik, agama, ideologi, tim olahraga, hingga selebriti atau produk. Dalam batas tertentu, fanatisme bisa menjadi bentuk penghargaan atau kecintaan. Namun, bila berlebihan, fanatisme bisa menimbulkan konflik, perpecahan, bahkan tindakan ekstrem.
Orang-orang fanatik bisa membentuk komunitas yang sangat solid, tetapi kadang juga tertutup terhadap pendapat luar. Fanatisme bukan hanya bentuk kecintaan biasa, melainkan dorongan psikologis yang memiliki akar tertentu. Berikut lima penyebab umum seseorang mengalami fanatisme terhadap sesuatu hal.
1. Butuh identitas

Salah satu alasan utama seseorang menjadi fanatik adalah karena adanya kekosongan dalam hidup mereka. Ketika seseorang merasa hidupnya kurang bermakna, mereka cenderung mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan tersebut. Hal yang difanatikkan—baik itu selebriti, klub sepak bola, atau ajaran tertentu—dapat memberikan rasa memiliki, tujuan, dan struktur dalam hidup yang selama ini terasa hampa.
Dengan mengidentifikasi diri secara intens pada suatu kelompok atau sosok, seseorang merasa lebih berharga dan tidak sendirian. Fanatisme bisa menjadi bentuk pencarian identitas diri yang belum terbentuk dengan kuat. Ketika seseorang terlalu mengandalkan hal eksternal untuk membangun identitasnya, mereka cenderung membela mati-matian apa yang telah menjadi "bagian dari diri mereka".
2. Lingkungan yang mendukung

Lingkungan sekitar, baik itu keluarga, teman, atau komunitas digital, bisa sangat memengaruhi tingkat fanatisme seseorang. Ketika seseorang berada di tengah lingkungan yang mendewakan sesuatu secara ekstrem, mereka bisa terbawa arus tanpa sadar. Semakin banyak orang di sekitar yang fanatik, semakin besar tekanan sosial untuk ikut serta dan menyesuaikan diri dengan pola pikir kolektif tersebut.
Media sosial juga berperan dalam memperkuat fanatisme. Algoritma yang menunjukkan konten serupa secara terus-menerus bisa membuat seseorang terjebak dalam "filter bubble", hanya melihat sudut pandang yang sama. Akibatnya, mereka merasa keyakinannya selalu benar dan diperkuat oleh komunitas yang terus memvalidasi pendapat mereka, sehingga sulit untuk membuka diri terhadap pandangan berbeda.
3. Percaya secara mutlak

Fanatisme bisa muncul dari kebutuhan psikologis akan kepastian dan rasa aman. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan, seseorang cenderung mencari sesuatu yang bisa dipegang teguh. Ketika mereka menemukan tokoh atau ide yang memberikan rasa stabil dan jawaban atas kebingungan hidup, mereka bisa menjadi sangat terikat dan mempercayainya secara mutlak.
Rasa aman ini membuat mereka enggan menerima informasi baru yang bertentangan dengan kepercayaan mereka. Bahkan, mereka akan cenderung menyerang atau menolak pendapat berbeda sebagai bentuk perlindungan diri. Dalam konteks ini, fanatisme berperan sebagai benteng psikologis untuk menghindari kekacauan atau kecemasan dari realitas yang tidak mereka pahami sepenuhnya.
4. Trauma atau pengalaman masa lalu

Beberapa orang menjadi fanatik karena pernah mengalami trauma atau peristiwa menyakitkan di masa lalu. Mereka mungkin pernah merasa ditolak, gagal, atau kehilangan, dan fanatisme menjadi cara untuk melarikan diri dari luka tersebut. Dengan mencintai sesuatu secara berlebihan, mereka merasa bisa mendapatkan kembali kendali atas hidup atau rasa aman yang pernah hilang.
Misalnya, seseorang yang dulu pernah diabaikan oleh keluarga bisa menjadi sangat fanatik terhadap idola yang dianggap "mengerti" dirinya. Mereka memproyeksikan perasaan dan harapan ke dalam objek fanatisme tersebut. Dalam beberapa kasus, fanatisme menjadi mekanisme pertahanan diri untuk menutupi luka batin yang belum pulih sepenuhnya.
5. Tidak mampu berpikir kritis

Fanatisme yang berlebihan juga bisa terjadi karena kurangnya kemampuan berpikir kritis. Orang yang tidak terbiasa mengevaluasi informasi secara objektif lebih rentan terseret dalam arus opini mayoritas atau narasi yang emosional. Mereka mudah percaya pada kabar yang menguntungkan objek fanatisme mereka, dan sulit menerima fakta yang bertentangan.
Ketika berpikir kritis tidak diasah, seseorang cenderung melihat dunia dalam hitam dan putih—antara "kami" dan "mereka", benar dan salah tanpa ruang diskusi. Sikap ini mendorong polarisasi dan memperkuat fanatisme. Dalam jangka panjang, mereka bisa menjadi sangat defensif, menutup telinga terhadap argumen logis, dan menjadikan fanatisme sebagai kebenaran mutlak.
Fanatisme bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan hasil dari kebutuhan emosional dan psikologis yang tidak terpenuhi. Rasa kosong, tekanan sosial, trauma, dan ketidakmampuan berpikir kritis menjadi pemicu seseorang mengalami fanatisme yang membutakan jiwa.