Ilustrasi seorang pria serius (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Ketika kamu terlalu larut dalam fanatisme, kamu akan melihat dunia dalam hitam-putih: siapa yang "di pihakmu" dan siapa yang "melawanmu". Empati jadi tumpul, karena kamu tak lagi peduli pada alasan atau latar belakang orang lain. Kamu juga jadi malas berpikir ulang atau mengkritisi pendapat sendiri.
Ini bahaya besar buat perkembangan pribadi. Karena tanpa empati dan nalar kritis, kamu bukan cuma jadi keras kepala, tapi juga kehilangan sisi manusiawi dalam melihat dunia. Kamu jadi versi yang defensif dan mudah tersulut, bukan versi terbaik dari dirimu yang seharusnya bisa tumbuh lewat refleksi dan keterbukaan.
Fanatisme itu menggoda karena menawarkan rasa aman dan identitas yang kuat. Tapi kalau tidak diawasi, kamu bisa terjebak dalam bubble yang terlihat kokoh, padahal rapuh secara intelektual dan emosional. Kamu berhak punya pendirian, tapi juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pendirian itu tidak membatasi pertumbuhanmu.
Berani membuka ruang untuk pertanyaan, keraguan, dan sudut pandang lain bukan tanda kelemahan—tapi justru tanda bahwa kamu sedang membebaskan diri dari jebakan bubble dan tumbuh menjadi manusia yang lebih dewasa. Dunia ini luas, dan kamu pantas menjelajahinya dengan pikiran yang terbuka.