Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Seseorang Sibuk Menyenangkan Orang Lain

ilustrasi teman kerja (pexels.com/Viktoria Slowikowska)
ilustrasi teman kerja (pexels.com/Viktoria Slowikowska)
Intinya sih...
  • Takut ditolak atau tidak disukai karena pengalaman masa lalu
  • Merasa harga diri bergantung pada pengakuan orang lain
  • Terbiasa menjadi penengah atau penyelamat dalam keluarga sejak kecil

Terkadang seseorang bisa terlihat sangat baik, peduli, dan selalu siap membantu orang lain. Namun di balik semua itu, ada satu hal yang sering tidak disadari: diri sendiri justru terus-menerus dikorbankan. Semua waktu, tenaga, dan perhatian diberikan demi membuat orang lain senang, bahkan ketika diri sendiri kelelahan secara fisik maupun emosional. Perilaku ini sering kali tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk dari pengalaman hidup yang panjang, penuh tekanan, dan rasa takut akan penolakan.

Ketika seseorang terlalu sibuk menyenangkan orang lain, identitas pribadi pun perlahan memudar. Bukan lagi bertanya “apa yang aku butuhkan?”, tapi selalu berpikir “apa yang orang lain harapkan dariku?”. Akibatnya, hidup terasa tidak utuh. Keputusan diambil bukan berdasarkan keyakinan pribadi, melainkan untuk menjaga citra atau menghindari konflik. Berikut lima alasan yang sering mendorong seseorang terjebak dalam pola seperti ini.

1. Takut ditolak atau tidak disukai

ilustrasi teman kerja (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi teman kerja (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Banyak orang menyenangkan orang lain karena takut kehilangan hubungan. Dalam pikirannya, jika tidak menuruti atau membuat orang lain senang, maka akan dijauhi atau dianggap buruk. Ketakutan ini sering kali berasal dari pengalaman ditinggalkan atau tidak diterima di masa lalu.

Ketika rasa takut ditolak menjadi dominan, seseorang mulai memprioritaskan kenyamanan orang lain di atas kebutuhannya sendiri. Ini membuat semua interaksi terasa seperti upaya untuk mempertahankan koneksi, bukan sebagai bentuk relasi yang sehat dan setara.

2. Merasa harga diri bergantung pada pengakuan orang lain

ilustrasi teman kerja (pexels.com/Kindel Media)
ilustrasi teman kerja (pexels.com/Kindel Media)

Ada orang yang merasa dirinya berharga hanya jika bisa bermanfaat atau menyenangkan orang lain. Ketika tidak ada validasi atau pujian, muncul perasaan tidak layak dan tidak cukup baik. Ini menjadikan tindakan "menyenangkan" sebagai cara untuk membuktikan nilai diri.

Padahal, nilai diri seharusnya tidak bergantung pada reaksi orang lain. Jika terus menunggu pengakuan, maka akan sulit merasa puas, karena standar penghargaan diri selalu ditentukan dari luar, bukan dari dalam.

3. Terbiasa menjadi penengah atau penyelamat dalam keluarga

ilustrasi teman kerja (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi teman kerja (pexels.com/Mikhail Nilov)

Dalam lingkungan keluarga yang penuh konflik atau tidak stabil, seseorang bisa terbiasa mengambil peran sebagai penengah. Ia belajar untuk mengorbankan keinginannya demi menjaga kedamaian, bahkan sejak kecil. Kebiasaan ini terbawa hingga dewasa.

Peran tersebut sering kali terasa seperti kewajiban. Padahal, dalam kehidupan dewasa, seseorang tidak harus terus menjadi penengah atau penolong bagi semua orang. Tapi kebiasaan ini sulit dilepas, karena sudah tertanam dalam pola pikir dan cara berelasi.

4. Tidak terbiasa menyuarakan kebutuhan sendiri

ilustrasi teman kerja (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi teman kerja (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Ada orang yang tidak tahu apa yang ia butuhkan karena terlalu lama fokus pada kebutuhan orang lain. Ketika ditanya apa yang diinginkan, jawabannya sering samar atau justru menghindar. Ini menunjukkan adanya keterasingan dari diri sendiri.

Lama-lama, ketidakmampuan menyuarakan kebutuhan bisa membuat seseorang kehilangan arah. Keputusan diambil bukan karena ingin, tapi karena merasa harus. Hidup pun dijalani dengan pola reaktif, bukan dari kesadaran penuh.

5. Ingin dianggap orang baik oleh semua orang

ilustrasi teman (pexels.com/Vitaly Gariev)
ilustrasi teman (pexels.com/Vitaly Gariev)

Menyenangkan orang lain bisa menjadi bentuk dari kebutuhan untuk menjaga citra. Ingin selalu terlihat bisa diandalkan, tidak pernah menolak, dan hadir setiap saat. Sayangnya, citra ini bisa menyesatkan jika tidak diimbangi dengan batas yang sehat.

Menjadi baik tidak harus selalu menyenangkan semua orang. Justru kebaikan yang sehat adalah ketika seseorang bisa menolong tanpa kehilangan dirinya sendiri. Jika tidak, maka hidup hanya akan dipenuhi ekspektasi luar yang sulit dipenuhi terus-menerus.

Sibuk menyenangkan orang lain tapi melupakan diri sendiri bukan hanya melelahkan, tapi juga berisiko merusak koneksi dengan diri sendiri. Mengenali alasan di balik perilaku ini adalah langkah awal untuk mulai memulihkan keseimbangan. Sebab, seseorang juga layak diperhatikan oleh dirinya sendiri. Berhenti sejenak, mendengarkan kebutuhan hati, dan berani berkata jujur adalah bentuk keberanian yang tak kalah penting dari kebaikan untuk orang lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us