TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Apa itu Stockholm Syndrome? Ini 5 Fakta Menariknya

Kerap dikaitkan dengan Lesti Kejora usai cabut laporan KDRT

ilustrasi pasangan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Pedangdut Lesti Kejora dikabarkan telah mencabut laporan KDRT dan memilih untuk memaafkan pelaku. Istilah stockholm syndrome ini mulai mencuat ketika warganet menghubungkannya dengan kasus yang dialami artis tersebut.

Alih-alih membenci pelaku kekerasan atau peculikan, korban justru semakin simpati. Namun, bagaimana sebenarnya fenomena psikologi ini bisa terjadi? Simak ulasan seputar asal istilah stockholm syndrome, gejala, hingga penyebabnya berikut ini.

1. Apa itu stockholm syndrome?

Ilustrasi pasangan bertengkar (pexels.com/@keira-burton)

Stockholm syndrome merupakan fenomena psikologis yang kerap terjadi pada korban penculikan atau penyanderaan. Dilansir Cleveland Clinic, stockholm syndrome merupakan respons psikologis yang muncul ketika korban berada dalam situasi yang sulit. Fenomena ini juga disebut bentuk pertahanan diri korban terhadap tindak kekerasan karena merasa lemah dan tidak berdaya dalam situasi tersebut.

Hal ini memungkinkan korban memiliki perasaan yang positif terhadap pelaku. Ada perubahan sikap yang melunak dan malah bersimpati kepada pelaku yang sudah melakukan tindak kejahatan. Kondisi ini bisa saja terjadi pada kasus kekerasan terhadap anak, pelatih dan atlet, hingga kekerasan dalam suatu hubungan.

2. Istilah stockholm syndrome sudah ada sejak tahun 1973

Ilustrasi kekerasan (pexels.com/Karolina Grabowska)

Istilah stockholm syndrome sudah ada sejak tahun 1973. Berawal dari kejadian perampokan di salah satu bank di Stockholm, Swedia. Dikutip Medical News Today, Jan Erik Olsson dan rekan narapidanya lainnnya melakukan perampokan serta menyekap empat pegawai bank. Mereka menyandera keempat orang tersebut di salah satu ruang brankas selama enam hari.

Menariknya, keempat korban itu justru punya hubungan emosional positif yang kuat dengan kedua pelaku. Setelah korban dibebaskan, mereka tidak ingin bersaksi di pengadilan. Bahkan, korban berupaya mengumpulkan dana untuk membela pelaku. Kriminologis dan psikiatris Nils Bejerot lantas mengungkapkan istilah stockholm syndrome sebagai respons psikologis yang muncul setelah kejadian penyekapan itu.

Baca Juga: Mengenal Duck Syndrome, Gangguan Psikologis yang Jarang Disadari

3. Gejala stockholm syndrome

ilustrasi kekerasan seksual (unsplash.com/ohshoothannah)

Sebagaimana gangguan psikologis lainnya, stockholm syndrome juga memiliki beberapa gejala yang harus diperhatikan, diantaranya:

  • Terdapat perasaan positif yang berkembang terhadap pelaku kekerasan
  • Korban bersimpati terhadap perilaku yang dilakukan oleh pelaku
  • Muncul perasaan negatif terhadap orang-orang yang berusaha menyelamatkan korban, seperti polisi, keluarga, maupun pihak berwenang lainnnya

Cleveland Clinic menyebutkan bahwa ada beberapa gejala lain yang serupa dengan gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), diantaranya:

  • Korban mudah merasa cemas, sensitif
  • Korban selalu mengenang masa lalu
  • Korban gak bisa menikmati hal-hal yang biasanya ia lakukan
  • Susah berkonsentrasi

4. Penyebab terjadinya stockholm syndrome

Ilustrasi kekerasan fisik (pexels.com/Karolina Grabowska)

Umumnya, korban mungkin akan merasa takut ketika berhadapan dengan pelaku penculikan, penyanderaan, atau pelaku kekerasan. Kebalikannya, fenomena stockholm syndrome ini justru menunjukkan perasaan positif korban kepada pelaku. Dilansir Simply Psychology, hal ini bisa saja terjadi karena beberapa faktor, sebagai berikut:

  • Pelaku dan korban berada dalam situasi dan kesulitan yang sama, misalnya berada di tempat sempit dan kekurangan makanan.
  • Pelaku menunjukkan beberapa hal baik seperti mengurungkan niat untuk menyakiti para korban.
  • Korban mungkin merasa takut karena diancam tetapi juga bergantung pada pelaku untuk bisa bertahan hidup.

Baca Juga: 5 Tanda Seseorang Mengalami Denial Syndrome, Menyangkal Fakta yang Ada

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya