TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Elmi Sumarni Ismau, Menjaga Asa dan Perjuangan Difabel

Pengabdian mulia yang berawal dari mimpi

Elmi Sumarni Ismau berada dalam kegiatan GARAMIN. (dok. IDN Times/Elmi Sumarni Ismau)

Tentu bukanlah barang mudah bagi seseorang yang memantapkan hati untuk mengabdi di tengah masyarakat, terutama kepada difabel. Ya, dibutuhkan perjuangan dan hati yang besar untuk melakukannya--yang pastinya tidak semua orang mau untuk menjalankannya. Apalagi, ada banyak stigma dalam masyarakat kita bahwa teman-teman difabel itu butuh untuk dikasihani.

Namun, dari sekian banyak penggagas dan pejuang muda di negeri ini, ada satu nama yang barangkali sudah cukup lekat dengan difabel di Nusa Tenggara Timur. Well, tersenyumlah Indonesia, ia adalah Elmi Sumarni Ismau, perempuan berusia 28 tahun yang kini fokus mengabdi dan menjadi aktivis disabilitas di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Sebagai anggota dari Perkumpulan Tuna Daksa Kristiani atau PERSANI, tentu Elmi Sumarni juga mengerti bagaimana berinteraksi dengan difabel dan membangun sebuah jalinan kuat dengan mereka. Tak jarang, Elmi Sumarni juga aktif dalam isu-isu yang berkaitan dengan disabilitas dan bagaimana memperjuangkan hak-hak kaum difabel.

Bagaimana perjuangan dan pengabdian Elmi Sumarni? Penasaran dengan kisah inspiratif ini? Yuk, simak artikelnya sampai tuntas, ya.

1. Tumbuhkan semangat di tengah keterbatasan fisik

Elmi Sumarni Ismau bersama dengan anggota GARAMIN lainnya. (dok. IDN Times/Elmi Sumarni Ismau)

Elmi Sumarni Ismau telah mendapat penghargaan dari Astra Indonesia, yakni SATU Indonesia Awards pada 2021. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa dedikasi dan semangat Elmi telah terdengar hingga ke luar wilayah Nusa Tenggara Timur. Ia pun juga memosisikan dirinya menjadi sahabat difabel dan fokus pada kegiatan-kegiatan yang membangun.

Pada awalnya, Elmi memang tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan yang diadakan oleh teman-teman difabel. Namun, pada 2010, ia mengalami insiden kecelakaan dan mengharuskan kedua kakinya diamputasi oleh dokter. Uniknya, kejadian ini menjadi sebuah tonggak dalam kehidupannya supaya ia lebih dekat lagi dengan teman-teman difabel.

"Waktu itu (saat di PERSANI), saya memang masih belum terlalu melibatkan diri dan hanya hadir sebagai bagian dari isu-isu disabilitas, sebab kala itu saya belum difabel. Baru pada 2010, setelah insiden kecelakaan, saya menjadi difabel dan juga jadi bagian langsung dari isu tersebut," tutur Elmi dalam sesi wawancara.

Bagi banyak orang, menumbuhkan tekad, impian, dan asa mungkin masih terasa berat manakala musibah datang menghampiri. Namun, bagi seorang Elmi, keterbatasan fisik tidak lantas membuatnya terpuruk. Sebaliknya, ada begitu banyak harapan dan impian di benak Elmi Sumarni. Bahkan, sejak duduk di bangku kuliah, ia sudah sangat tertarik dengan isu disabilitas.

"Setelah kuliah masuk semester tiga, saya mulai tertarik dengan isu-isu disabilitas atau difabel. Jadi ingin mendalami mengenai disabilitas itu apa," katanya lagi.

Baca Juga: Cerita Mariana Yunita Bangun Komunitas Peduli Kesehatan Seksual 

2. Berawal dari impian yang dituliskan

Kegiatan yang dilakukan oleh GARAMIN. (dok. IDN Times/Elmi Sumarni Ismau)

Mimpi dan harapan ada sejak lama di benak Elmi Sumarni. Yup, apa yang terjadi tidak lantas membuat lulusan Akademi Pekerjaan Sosial Kupang ini berlarut-larut dalam kesedihan. Kegiatan positif macam Youth Action Forum 2019 telah diikuti dan di sana ia menulis tentang impian, harapan, dan cita-citanya di masa depan.

Elmi Sumarni ingin membentuk sebuah wadah atau gerakan yang bisa menjadi fasilitas atau bagian dari difabel. Tulisan demi tulisan ia simpan layaknya buku diari dan tentunya tidak diterbitkan untuk masyarakat umum. Selain itu, Elmi pun menceritakan segala keinginan dan harapannya kepada teman-temannya.

"Saya menulis segala impian dan harapan saya. Salah satunya adalah membuat semacam organisasi (wadah) difabel dan melanjutkan kuliah ke S-2," jelasnya pada saat menceritakan keseriusannya mengenai isu-isu difabel.

Untuk mewujudkan impian dan cita-citanya tentu bukan jalan yang mudah. Namun, titik terang justru datang dari Sumba, Nusa Tenggara Timur. Saat itu, Elmi cukup miris dengan keadaan kawan-kawan difabel di Sumba karena hak-hak mereka belum terpenuhi dengan baik.

3. Menjadi pendiri GARAMIN

GARAMIN sebagai wadah bagi teman-teman difabel. (dok. IDN Times/Elmi Sumarni Ismau)

Salah satu impian Elmi Sumarni telah terwujud dengan berdirinya GARAMIN atau Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi. Pada dasarnya, sebuah gerakan yang awalnya digagas oleh Elmi ini bertujuan untuk mengubah stigma atau cara pandang masyarakat umum dan juga difabel supaya tidak memosisikan difabel sebagai kaum yang lemah dan butuh dikasihani.

"Pada januari (2020) saya sudah merencanakan pembentukan GARAMIN. Ini impian kami sebagai anak-anak muda yang juga tengah belajar untuk menjadi pemimpin di masa depan," terang Elmi bersemangat.

Dengan adanya wadah yang dibentuk pada 14 Februari 2020 ini, Elmi berharap bahwa di masa depan, akses dan fasilitas memadai bisa ada bagi kawan-kawan difabel. Dengan begitu, kesempatan akan terbuka lebar dan hal ini bisa menjadikan mereka berguna bagi lingkungan, masyarakat, bangsa, dan negara.

"Selama ini (ada stigma) bahwa difabel itu membutuhkan belas kasihan. Masyarakat memandang penyandang disabilitas itu tugas dan tanggung jawab Dinas Sosial. Nah, ini yang mau kita ubah, difabel itu bisa berdaya layaknya non-difabel," ucapnya lagi.

Saat ini, GARAMIN sendiri memiliki anggota sebanyak 25 orang, di luar beberapa orang founder. Wadah ini juga berisikan orang-orang yang memiliki perbedaan latar belakang. Namun yang pasti, gerakan ini disatukan oleh tujuan dan semangat yang sama, yakni membentuk calon-calon pemimpin muda di masa depan sekaligus memberikan kesempatan seluas-luasnya pada difabel.

4. Perjuangan yang belum usai

Perjuangan GARAMIN yang masih panjang dan penuh tantangan. (dok. IDN Times/Elmi Sumarni Ismau)

Bagi Elmi dan kawan-kawan, segala usaha dan cita-cita belumlah usai untuk terus diperjuangkan. Bahkan, tak sedikit rintangan dan hambatan yang dihadapi oleh Elmi dan GARAMIN di waktu yang berbeda. Misalnya, keberadaan infrastruktur yang dirasa tidak ramah terhadap penyandang disabilitas menjadi hambatan nyata bagi kawan-kawan difabel.

"Sebenarnya banyak (hambatan), sama saja seperti kawan-kawan difabel lainnya. Bagi saya, yang paling sering kami hadapi adalah akses ke lingkungan yang ada (infrastruktur tak memadai)," ujar Elmi.

Ada juga dari teman-teman difabel yang diundang ke acara online, di mana banyak pihak yang tak menyediakan juru bahasa sebagai fasilitas bagi teman-teman yang tidak bisa mendengar dengan baik. Hal-hal macam ini yang menjadi tantangan sekaligus perjuangan yang dianggap belum usai bagi Elmi dan GARAMIN.

Akan tetapi, tantangan terbesar bagi Elmi dan GARAMIN adalah mengubah pola pikir masyarakat yang sudah membentuk stigma tertentu. Fakta di lapangan masih banyak orang yang memandang kasihan ke teman-teman difabel. Bahkan, tak jarang penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Baca Juga: KBA Giri Rejo Karang Joang, Kolaborasi Astra Indonesia dan Warga

Verified Writer

Dahli Anggara

Age quod agis...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya