lukisan di museum (Pexels.com/Lokman Sevim)
Satu aspek lagi yang bikin ide-ide antiintelektualisme merajalela, yaitu opsi dapat uang instan. Media sosial dan platform semacamnya memungkinkan siapa saja (tanpa melihat latar belakang pendidikan) dapat penghasilan dengan membuat konten. Ini perlahan memunculkan anggapan kalau pendidikan tak lagi sepenting dulu. Diperparah pula dengan kondisi di beberapa negara, termasuk Indonesia, yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan kenaikan jabatan apalagi penghasilan.
Ini sempat memicu munculnya narasi-narasi antiintelektualisme seperti, "kuliah tak lagi penting", "teori tidak sepenting praktik", dan lainnya pada 2024 lalu. Apalagi biaya pendidikan dan ilmu pengetahuan (seperti buku, jurnal, kursus, karya jurnalistik independen, dll.) makin mahal sehingga menyuburkan sentimen antipengetahuan di masyarakat. Ini sayangnya sangat rawan dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu yang diuntungkan oleh ketidaktahuan dan apatisme.
Antiintelektualisme bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, ini adalah pertanda buruk karena melanggengkan kesesatan pikir. Namun, di sisi lain bisa dilihat sebagi kritik atas ketimpangan akses pendidikan dan informasi. Susah ditampik, selama ini pengetahuan kerap dikuasai satu kaum tertentu dan mengesampingkan kelompok lainnya. Artinya, ada urgensi untuk memperluas akses pendidikan dan ilmu pengetahuan agar bisa diakses semua kalangan.