Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi smartphone terserang malware (pexels.com/Kaboompics)

Belakangan ini, banyak perdebatan mengenai dampak media sosial terhadap kesehatan mental remaja. Sebagian besar orang percaya bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memperburuk kesehatan mental remaja.

Termasuk salah satu psikolog sosial bernama Jonathan Haidt yang menjabarkan argumen tentang bagaimana media sosial 'menghancurkan' kesehatan mental remaja. Namun, argumennya ini menjadi perdebatan banyak psikolog lainnya. Simak penjabarannya di bawah ini, yuk!

1. Media sosial memicu 'surge of suffering'

ilustrasi media sosial (pexels.com/Cottonbro Studio)

Dalam buku Jonathan Haidt, seorang Psikologi Sosial, bertajuk The Anxious Generation: How the Great Rewiring of Childhood Is Causing an Epidemic of Mental Illness, disebutkan bahwa media sosial dan smartphone memicu 'surge of suffering' atau 'gelombang penderitaan. Haidt mengatakan bahwa ini terjadi pada remaja hampir di seluruh dunia Barat.

Menurutnya, media sosial serta smartphone membuat remaja 'ketagihan' dan berdampak pada tumbuh kembang mereka. Pasalnya, mereka menjadi jarang bermain di luar ruangan dan berbincang langsung dengan teman-temannya. Banyak dari mereka yang terjebak di dunia digital.

Lebih lanjut, Haidt pun mengatakan bahwa smartphone banyak memengaruhi kehidupan masyarakat dengan cara yang merugikan. Itu juga yang akhirnya membuat angka kecemasan dan depresi di kalangan remaja semakin meningkat pesat.

2. Beberapa psikolog terkemuka menyangkal pendapat Haidt tersebut

ilustrasi media sosial di HP (unsplash.com/@julianchrist)

Di sisi lain, melalui situs Vox, Eric Levitz yang merupakan seorang senior correspondent, menyebutkan bahwa ada beberapa psikolog terkemuka yang menyangkal pendapat tersebut. Menurut pendapat mereka, belum ada bukti nyata bahwa penggunaan platform media sosial mengubah otak anak-anak/remaja atau memicu epidemi penyakit mental.

Mereka menilai bahwa pandangan Haidt mencerminkan pola kecemasan yang berulang setiap kali teknologi baru muncul. Di mana generasi yang lebih tua sering merasa khawatir terhadap dampak teknologi tersebut pada generasi muda. Kritikus ini berpendapat bahwa kekhawatiran Haidt mungkin lebih mencerminkan ketakutan tradisional terhadap perubahan teknologi dan perilaku anak muda.

3. Beberapa argumen yang menyebutkan bagaimana smartphone bisa 'merusak' mental remaja

ilustrasi smartphone (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Masih dilansir Vox, Jonathan Haidt berpendapat bahwa sejak awal 2010-an, terjadi penurunan signifikan dalam kesehatan mental remaja di negara-negara maju. Berikut adalah data-data yang Haidt jadikan penguat untuk premis miliknya:

  • Di Amerika Serikat, persentase remaja yang melaporkan mengalami episode depresi berat meningkat lebih dari 150 persen sejak 2010, dengan sebagian besar peningkatan terjadi sebelum pandemi Covid-19.
  • Kunjungan ke ruang gawat darurat akibat melukai diri sendiri di kalangan anak perempuan berusia 10 hingga 14 tahun meningkat sebesar 188 persen selama periode yang sama.
  • Persentase mahasiswa sarjana AS yang terdiagnosis gangguan kecemasan meningkat sebesar 134 persen antara tahun 2010 dan 2020.
  • Angka bunuh diri di kalangan remaja AS berusia antara 15 dan 19 tahun juga meningkat selama periode ini.

Haidt menjelaskan, krisis ini tidak hanya terjadi di AS, namun juga di Kanada, Inggris, Selandia Baru, hingga negara-negara Nordik. Dari situ lah kemudian ia menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang mengubah otak remaja dimulai pada awal 2010-an.

Ia juga mencatat bahwa pada tahun 2013, mayoritas rumah tangga di AS memiliki ponsel pintar, dengan tren serupa di negara kaya lainnya. Haidt mengaitkan periode ini dengan peningkatan kecemasan dan depresi di kalangan remaja, khususnya Generasi Z.

4. Beberapa kritik lainnya terhadap argumen Haidt

Ilustrasi media sosial (Pixabay.com/Eric_Lucatero)

Teori tersebut telah menuai kritik dari berbagai pihak. Menurut situs Vox,  kritikus berpendapat bahwa data internasional tidak secara konsisten menunjukkan peningkatan gangguan mental di kalangan remaja. Meskipun angka bunuh diri remaja meningkat di Amerika Serikat, tren serupa tidak terlihat di banyak negara Barat lainnya.

Misalnya, antara 2012 dan 2019, tingkat bunuh diri di kalangan remaja usia 15 hingga 19 tahun menurun di beberapa negara Eropa, seperti Prancis, Denmark, dan Irlandia. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap klaim Haidt bahwa ada krisis kesehatan mental remaja yang meluas secara global.

Selain itu, para kritikus menyoroti bahwa data survei tidak sepenuhnya mendukung tesis Haidt. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa penggunaan media sosial hanya menjelaskan sebagian kecil variasi dalam kesehatan mental remaja, menunjukkan bahwa faktor lain mungkin lebih berpengaruh. 

5. Lantas, apakah media sosial dan smartphone benar-benar 'merusak' mental Gen Z?

ilustrasi remaja sedang tantrum (freepik.com/freepik)

Menurut Eric lewat vox, klaim bahwa smartphone secara signifikan merusak kesehatan mental Gen Z tidak sekuat yang dituliskan oleh Jonathan Haidt. Meskipun Haidt menunjukkan peningkatan angka bunuh diri remaja dan meningkatnya gangguan psikologis di beberapa negara, bukti yang dia berikan tidak konsisten dan terkesan memilih data. 

Selain itu, survei tentang kesejahteraan remaja global tidak menunjukkan penurunan yang jelas dalam kepuasan hidup sejak 2012. Tidak ada juga indikasi bahwa Asia, yang memiliki penggunaan smartphone yang tinggi, mengalami krisis kesehatan mental yang sama.

Meskipun ada beberapa tren yang mengkhawatirkan, seperti peningkatan diagnosis kesehatan mental dan kasus penyakitan diri, terutama di kalangan perempuan. Itu tidak serta merta berkaitan langsung dengan penggunaan media sosial.

6. Meski begitu, penggunaan smartphone pada remaja tetap harus ada batasan

ilustrasi smartphone (pexels.com/cottonbro studio)

Meski begitu, Eric menekankan, kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahayanya smartphone atau media sosial pada kesehatan mental remaja. 

"Tidaklah sehat bagi anak untuk menghabiskan waktu lima jam sehari menatap linimasa media sosial yang mengundang perbandingan sosial negatif dan menyebabkan kecanduan," katanya.

Eric juga menyatakan keraguannya terhadap manfaat yang mungkin didapat oleh anak-anak atau remaja ketika mereka lebih banyak 'menunjukkan diri' di media sosial. Di mana hal itu terkadang membuat mereka menghabiskan lebih sedikit waktu untuk berkumpul secara langsung dengan teman-teman dekat.

Editorial Team