Ilustrasi ziarah kubur. (Pexels.com/Meruyert Gonullu)
Dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, Imam ar-Ramli berpendapat:
“Dimakruhkan ziarah kubur bagi para perempuan, karena larutnya mereka dalam kesedihan. Dan tidak sampai haram hukumnya, karena ada riwayat hadis dari Aisyah beliau berkata: “Saya bertanya kepada baginda Rasulullah, apa yang saya ucapkan jika saya berziarah kubur wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: “Ucapkanlah: “Assalamu ‘ala ahli al-dar minal mukminin wal muslimin, wa yarhamullahu al-mustaqdimin wal-musta’khirin, wa innaa insyaAllahu bikum laahiqun”. Ada yang mengatakan haram karena terdapat hadis: “Allah melaknat perempuan yang berziarah kubur”, namun keharaman ini terjadi jika perempuan peziarah tersebut sampai menangis-nangis, menyebutkan semua kebaikan orang yang diziarahinya, seperti kebiasaan perempuan pada umumnya, atau jika ia keluar dari rumahnya ada unsur keharaman. Dan adapula yang mengatakan perempuan berziarah hukumnya mubah. Hal ini jika olehnya perempuan berziarah tersebut tidak menimbulkan fitnah. Perbedaan hukum di atas berlaku untuk selain kuburan para nabi. Menziarahi kuburan para nabi hukumnya sunah, baik untuk laki-laki ataupun perempuan. Begitu juga hukumnya sunah seperti berziarah kuburan para nabi adalah berziarah pada kuburan orang-orang saleh, para wali dan ulama."
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan yang sedang haid tidak diharamkan untuk melakukan ziarah kubur, namun dianjurkan untuk tidak melakukannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan haid berziarah kubur hukumnya makruh, sebuah perbuatan yang tidak mendatangkan dosa jika dilakukan, namun dianjurkan untuk ditinggalkan.
Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa perempuan yang sedang haid berziarah kubur hukumnya mubah. Mubah berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan tanpa konsekuensi dosa atau pahala.