Sesi Intimate Sharing Session about Grief and Regret dalam Move Forward With Regret by Lost and Found. Sabtu (2/7/2022). IDN Times/Adyaning Raras
"Intinya, emosi harus bisa diregulasi, dirasakan, diakui, dibiarkan mengalir. Asalkan kita punya pemahaman itu, harusnya bisa sehat. Jadi, yang pernah merasakan grief, it's okay untuk merasakan apa pun. Manusia pasti punya emosi, apalagi kalau kehilangan orang dalam hidupnya. Yang aku pahami berdasarkan pengalamanku, emosi itu datang dan pergi," kata Nirasha.
Menanggapi hal itu, Liza sebagai psikolog juga menjelaskan bahwa grief itu sebenarnya gak tentang kehilangan saja. Grief atau duka juga memiliki beberapa tahap, dari anger, denial, bargaining, depression, hingga acceptance. Liza menekankan bahwa fase ini belum tentu berurutan.
Seseorang bisa saja depresi, lalu kemudian denial kembali dan marah. Dalam analoginya, Liza menyebut bahwa emosi itu seperti air. Ketika air terhalang sesuatu, maka ia akan mencari jalan lain untuk bisa keluar.
Untuk itu, setiap orang penting mengenal seperti apa emosi yang sedang dirasakan, sehingga ada solusi yang dihasilkan.
"Ada air mata haru, seneng, excited, marah. Kalau kita gak tahu air mata buat apa, solusinya pun kita gak tahu. Kadang-kadang kita dilatih untuk, 'Jangan nangis, ah! Nanti gak ada temen,'. Itu jadi banyak sumbatan, kita perlu mengenali itu," jelas Liza.
Liza juga mengatakan bahwa proses tarik ulur pun membuat perjalanan mengarungi duka terasa lebih ringan. Pengenalan akan emosi ini, sama dengan mengizinkan roda kehidupan berputar. Kamu bisa membuat batasan karena ada waktu untuk ketawa, sedih, dan mempertanyakan sesuatu.
"Udah yuk nangisnya, kita keluar dulu. Nanti nangis lagi boleh, kok! Nah, seperti itu prosesnya, nanti emosinya terurai satu demi satu. Perjalanan ke depannya jadi lebih ringan. Kalau di psikologi, ada yang namanya teknik buying time, one little step to another step," tuturnya.