Momen air bersih yang mengalir di Desa Ban. (dok. pribadi/Reza Riyady)
Nama SAUS (Sumber Air untuk Sesama) terdengar sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya ada kompleksitas riset, perhitungan teknis, dan ketekunan yang tak terukur.
Reza memulainya lewat dialog bersama warga. Lalu, bersama-sama mereka memulai perjalanan terjal pencarian sumber mata air yang paling memungkinkan. Medannya sulit. Lereng-lereng yang mereka lalui curam. Jalur yang mereka pijak kerap berubah menjadi setapak tipis yang nyaris hilang ditelan tanah dan semak. Akses penuh tantangan dan risiko ini tak jarang menorehkan luka-luka di kaki Reza. Luka yang kemudian menjelma catatan, bahwa perjuangannya tak sekadar mencari sumber mata air, tetapi menjaga harapan masyarakat desa tetap mengalir.
Membawa air dari sumber mata air juga punya tantangannya tersendiri. Mereka perlu memetakan jalur distribusi. Karena aksesnya sulit, terkadang masyarakat hanya bisa membantu membawa pipa dan peralatan sederhana dengan motor atau bahkan dipanggul. Tak kalah pelik, Reza juga masih harus menjawab salah satu pertanyaan paling sulit dalam jalan sunyi yang ia lalui:
“Bagaimana program ini akan didanai dan sistem yang ia upayakan dapat bertahan dalam jangka panjang sekaligus mengubah perilaku hidup masyarakat?”
Beruntung Reza adalah orang muda kreatif yang tak gagap memanfaatkan laju peradaban. Ia dan komunitas Bali Tersenyum.id tekun bergerilya melalui media sosial untuk mencari donasi. Ia siarkan kabar perubahan hingga ke panggung dunia agar siapa saja bisa ikut berkolaborasi. Aliran dana yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit turut mewujudkan mengalirnya air bersih untuk dinikmati masyarakat desa.
SAUS disusun untuk memberikan akses air bersih langsung ke rumah-rumah. Dengan begitu, masyarakat bisa:
mencuci tangan dengan air mengalir,
menjaga kebersihan makanan,
mandi dan mencuci pakaian secara layak,
serta meningkatkan sanitasi rumah tangga.
Momen yang tak akan pernah dilupakan Reza ketika hari peresmian SAUS. Bukan karena seremoni dan perayaan, kenangan hari itu terpatri gara-gara turunnya hujan. Langit seolah ikut menyaksikan. Warga berkumpul, anak-anak bertepuk tangan saat air pertama mengalir dari pipa, dan aroma tanah basah menyatu dengan harapan baru. Air mengalir. Harapan tumbuh.
"Pada saat hari kita peresmian itu hujan. Kalau filosofi dari orang Bali apabila kita melakukan sebuah kebaikan, lalu hujan, itu berarti alam semesta merestui apa yang kita lakukan," kenang Reza penuh senyuman.