Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret seorang perempuan dari Desa Ban mengambil air.
Potret seorang perempuan dari Desa Ban mengambil air. (dok. pribadi/Reza Riyady)

Pagi di pesisir Bali, matahari terbit seperti biasa. Ia kuning keemasan menyinari garis pantai yang sejak lama memikat dunia. Para turis berjalan santai di sepanjang pasir putih dengan kamera menggantung di leher untuk memburu lanskap yang nyaris tak tertandingi. Bali dan daya tariknya untuk dilihat melalui lensa keindahan, seakan mengundang siapa saja turut serta mencipta memori yang indah di sana.

Namun, beberapa jam dari pusat keramaian, kehidupan berjalan dengan ritme berbeda. Masih ada Bali yang lebih sunyi, kering, dan jauh dari pancuran air bersih mengalir deras layaknya di hotel-hotel mewah. Di timur pulau ini, tepatnya di Desa Ban, Karangasem, langit biru yang sama menaungi kehidupan yang jauh lebih keras. Tanah berbatu, lereng terjal, dan akses yang sulit menjadi bagian dari keseharian. Di sana, air bersih tak mengalir semudah sungging senyum wisatawan.

Di balik tirai pesona Bali, Reza Riyady Pragita menemukan panggilannya. Ia, seorang perawat muda, mengisi ruang kosong yang belum sepenuhnya disentuh untuk menghadirkan air sebagai bentuk harapan.

Bali yang indah dan jalan sunyi sang perawat

potret Desa Ban (dok. pribadi/Reza Riyady)

Bali tampak seragam di mata wisatawan. Tidak ada yang pernah meragukan keindahan Bali, tapi keindahan kerap menutupi pekerjaan-pekerjaan sunyi yang penting dilakukan agar seluruh warganya ikut menikmati hidup layak. Saat pariwisata berkembang, misalnya, infrastruktur di beberapa wilayah tertinggal tak mesti ikut bergerak secepat itu.

Di bagian timur pulau, Desa Ban, Karangasem, menampilkan wajah aslinya tanpa riasan. Sebuah desa yang telah mahir mengatasi masalah kekeringan. Bahu dan lengan masyarakat desa bak terlatih berjalan jauh sambil memikul beban berat untuk sekadar menikmati air bersih. Sebagian besar air bersih di sana masih mengintip malu dari bilik sumber-sumber kecil pegunungan. Sumber-sumber air itu bersembunyi di balik kontur alam yang tentu tak ramah ditaklukkan oleh tangan dan kaki telanjang. 

Reza Riyady Pragita sendiri adalah pemuda asli Klungkung, Bali. Nyatanya, ia masih terkejut ketika pertama kali datang ke Desa Ban yang berjarak puluhan kilometer dari tempatnya tinggal. “Bagaimana bisa ada masyarakat yang tinggal di Bali, tapi ternyata masih kesulitan air bersih,” begitu pikirnya saat itu.

Berbekal latar belakang perawat, ia temukan fakta lapangan yang lebih klinis dari sekadar isu lingkungan atau masalah teknis. Ini adalah problematika serius terkait fondasi kesehatan masyarakat. Air bersih adalah unsur kehidupan layak. Ia wajib hadir sebagai kebutuhan dasar masyarakat memenuhi pola hidup bersih dan sehat. Lebih dari itu, air bersih juga termasuk syarat utama Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang sejak lama digadang pemerintah sebagai standar minimal masyarakat sehat.

Mengikrar janji mengalirkan air di tanah kering

potret Desa Ban (dok. pribadi/Reza Riyady)

Keputusan Reza Riyady Pragita masuk ke wilayah ini bukan tanpa keraguan. Ia masih sangat muda dan belum lama membentuk komunitas Bali Tersenyum.id. Ini adalah gerakan sosial yang sebelumnya lebih berfokus pada bantuan pendidikan dan kesehatan.

Namun, suara warga, cerita tentang air yang tak kunjung mengalir, dan wajah-wajah anak yang tumbuh dengan akses terbatas membuatnya merasa harus melakukan sesuatu. Takut itu pasti. Tapi, hasrat atas perubahan bakal lebih menguggat dan menghantui.

"Awalnya saya takut-takut, terus saya mulai cemas apakah nanti akan ditipu oleh masyarakat atau segala macam karena kepolosan saya pada saat itu. Tapi, saya itu tetap, 'ah, ayo bikin aja- bikin aja'," kisah Reza dalam sesi Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025 yang digelar, Rabu (8/10/25).

Kata-katanya mencerminkan fase awal yang dialami banyak penggerak sosial; ketidakpastian, kecemasan, ancaman, dan rasa tidak siap. Tapi, justru ketidakpastian inilah cara membentuk asas kuat gerakan yang memungkinkan perubahan. Lalu, perlahan tapi pasti, uluran tangan yang tulus ia tubuhkan dalam program bertajuk SAUS (Sumber Air untuk Sesama).

Lahirnya SAUS ( Sumber Air untuk Sesama)

Momen air bersih yang mengalir di Desa Ban. (dok. pribadi/Reza Riyady)

Nama SAUS (Sumber Air untuk Sesama) terdengar sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya ada kompleksitas riset, perhitungan teknis, dan ketekunan yang tak terukur.

Reza memulainya lewat dialog bersama warga. Lalu, bersama-sama mereka memulai perjalanan terjal pencarian sumber mata air yang paling memungkinkan. Medannya sulit. Lereng-lereng yang mereka lalui curam. Jalur yang mereka pijak kerap berubah menjadi setapak tipis yang nyaris hilang ditelan tanah dan semak. Akses penuh tantangan dan risiko ini tak jarang menorehkan luka-luka di kaki Reza. Luka yang kemudian menjelma catatan, bahwa perjuangannya tak sekadar mencari sumber mata air, tetapi menjaga harapan masyarakat desa tetap mengalir.

Membawa air dari sumber mata air juga punya tantangannya tersendiri. Mereka perlu memetakan jalur distribusi. Karena aksesnya sulit, terkadang masyarakat hanya bisa membantu membawa pipa dan peralatan sederhana dengan motor atau bahkan dipanggul. Tak kalah pelik, Reza juga masih harus menjawab salah satu pertanyaan paling sulit dalam jalan sunyi yang ia lalui:

“Bagaimana program ini akan didanai dan sistem yang ia upayakan dapat bertahan dalam jangka panjang sekaligus mengubah perilaku hidup masyarakat?”

Beruntung Reza adalah orang muda kreatif yang tak gagap memanfaatkan laju peradaban. Ia dan komunitas Bali Tersenyum.id tekun bergerilya melalui media sosial untuk mencari donasi. Ia siarkan kabar perubahan hingga ke panggung dunia agar siapa saja bisa ikut berkolaborasi. Aliran dana yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit turut mewujudkan mengalirnya air bersih untuk dinikmati masyarakat desa.

SAUS disusun untuk memberikan akses air bersih langsung ke rumah-rumah. Dengan begitu, masyarakat bisa:

  • mencuci tangan dengan air mengalir,

  • menjaga kebersihan makanan,

  • mandi dan mencuci pakaian secara layak,

  • serta meningkatkan sanitasi rumah tangga.

Momen yang tak akan pernah dilupakan Reza ketika hari peresmian SAUS. Bukan karena seremoni dan perayaan, kenangan hari itu terpatri gara-gara turunnya hujan. Langit seolah ikut menyaksikan. Warga berkumpul, anak-anak bertepuk tangan saat air pertama mengalir dari pipa, dan aroma tanah basah menyatu dengan harapan baru. Air mengalir. Harapan tumbuh.

"Pada saat hari kita peresmian itu hujan. Kalau filosofi dari orang Bali apabila kita melakukan sebuah kebaikan, lalu hujan, itu berarti alam semesta merestui apa yang kita lakukan," kenang Reza penuh senyuman.

Semangat gotong royong dan janji Kelian Adat untuk menjaga air terus mengalir

potret warga Desa ban (dok. pribadi/Reza Riyady)

Reza, yang sehari-hari bekerja sebagai perawat di RSUD Klungkung, sudah lama melihat sisi lain dari kehidupan masyarakat. Dari balik meja triase hingga ruang perawatan, ia menangani banyak pasien dari Desa Ban. Mayoritas dari mereka datang dengan kondisi dehidrasi berat. Penyebabnya hampir selalu sama, diare gara-gara kualitas air yang buruk.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir setelah program SAUS berjalan dan akses air bersih mulai mendekat ke warga, grafik kasus itu perlahan menurun. Perubahan itu tak hanya ia lihat di rumah sakit, tetapi juga terekam dalam data Riskesdas Provinsi Bali yang menunjukkan tren membaik. Ini indikasi bahwa perilaku hidup bersih di daerah tersebut mulai tumbuh.

“Setidaknya kita membantu Bali tetap berada di lima besar provinsi dengan angka PHBS yang baik,” ujarnya.

Bagi warga Desa Ban sendiri, bak penampungan air dari program SAUS bukan sekadar fasilitas. Ia adalah bentuk hasil kerja bersama. Ia simbol bahwa perubahan bisa dibangun oleh banyak tangan. Reza masih mengingat jelas bagaimana Kelian Adat setempat, sosok yang dituakan di desa, mengucap janji untuk menjaga bak penampungan itu sebaik mungkin. “Ini bakal kami jaga banget,” begitu kira-kira ucapan Kelian Adat yang terasa selalu membekas. Sebagai inisiator SAUS dan sosok di balik gerakan Bali Tersenyum.id, Reza tidak pernah benar-benar meninggalkan Desa Ban setelah air mengalir. Ia masih rutin berkomunikasi dengan para tokoh adat, mengontrol kondisi bak penampungan, memastikan aliran air tetap stabil.

Kini, di Desa Ban angka dehidrasi akibat diare terus menurun. Hal yang dulu menjadi momok, seperti air kotor, pasokan terbatas, penyakit yang datang silih berganti, perlahan memudar dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat sekarang bisa menimba air tanpa harus berjalan jauh, bisa memasak dan mencuci dengan layak, dan terpenting bisa hidup dengan lebih tenang.

Menyemai gagasan dan menyungging senyum kebahagiaan

Reza Riyady Pragita menghadiri acara 15th Satu Indonesia Awards 2024. (dok. pribadi/Reza Riyady Pragita)

Salah satu momen penting dalam perjalanan ini adalah ketika SAUS diapresiasi secara resmi lewat penghargaan. Reza Riyady Pragita salah satu peraih Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2022 di tingkat provinsi bidang kesehatan sebagai apresiasi atas dampak nyata program SAUS. Tapi, baginya penghargaan ini bukan simbol keberhasilan. Penghargaan hanya sebatas jembatan yang membuka pintu dialog dengan kolaborator lain, memperluas jaringan, dan memberikan legitimasi bagi gerakan-gerakan kecil yang tumbuh dari wajah-wajah lain tiap daerah di Indonesia.

Bagi Reza, kerja sosial bukan tentang kemegahan gelar, tetapi kekuatan relasi. Apresiasi seperti SATU Indonesia Awards membukakan pintu akses kolaboratif untuknya. Bukan hanya dana, tetapi juga kepercayaan. Dari penghargaan dan atensi yang diterima, ia bergegas membangun kemitraan dengan organisasi lingkungan, pemerintah lokal, dan para pemuda desa untuk membumikan gagasan bahwa air bersih adalah hak dasar dan fondasi kuat hidup sehat jangka panjang.

Satu hal yang jauh lebih berharga baginya sendiri adalah tiap sungging senyum dari bibir masyarakat Desa Ban. Senyum mereka yang tumbuh dari keteraturan air yang mengalir, dari rutinitas PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) yang mulai diterapkan, dan dari keyakinan bahwa masyarakat bisa mandiri itulah sumber kebahagiaan dan kekuatan baru yang tak terukur. Sebaliknya, penghargaan yang datang malah bukan membuatnya puas. Tiap penghargaan menjadi pengingat bahwa tugas masih panjang. Kakinya akan melangkah lebih jauh lagi seterjal apa pun jalur yang berikutnya ia temui. Ia berharap melalui kolaborasi yang makin luas, gagasan ini terus semai, menginspirasi lebih banyak gerakan serupa, dan pada akhirnya membangun ekosistem sosial di mana tiap orang layak menikmati hak-hak paling dasar seperti air bersih.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team