Eklin Amtor de Fretes, Pendongeng Perdamaian Pasca-Konflik 1999

Damai itu dimulai dari diri kita sendiri

"Damai itu dimulai dari kita, diri kita. Ketika kita berharap damai besar itu tumbuh, tetapi kalau diri kita tidak mau berdamai dengan diri sendiri dan sesama di lingkungan sekitar, maka tidak akan tercapai." -- Eklin Amtor de Fretes.

Tak lama setelah runtuhnya era orde baru, tepatnya pada 19 Januari 1999, suasana di Kota Ambon begitu sangat mencekam. Kerusuhan antar umat beragama Kristen dan Islam pun pecah. Suara-suara tembakan, bom, pembakaran, hingga hiruk pikuk teriakan riuh memenuhi sudut-sudut kota. Hampir seluruh Ambon luluh lantak menjadi lapangan berdarah. 

Tidak jelas apa yang memicu konflik. Namun, narasi-narasi terkait isu agama dibangun untuk memancing beberapa golongan. Tindakan keji melawan iman pun terpaksa diambil, mengayunkan senjata atas nama bela agama. Setidaknya, 5.000 orang menjadi korban jiwa dalam kerusuhan ini. Sementara ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi meninggalkan tempat tinggalnya. 

Konflik yang berlangsung hingga sekitar tahun 2002 ini, meninggalkan efek traumatis yang begitu mendalam. Masyarakatnya yang sebelumnya tinggal satu atap keberagaman, terpecah belah antargolongan. Golongan pemeluk agama Islam tinggal bersama kelompok sesama muslimnya, begitu pula sebaliknya. Mereka tersegregasi di wilayah yang jauh dan tersekat untuk menciptakan rasa aman.

Segregasi wilayah yang menyebabkan segregasi pemikiran

Eklin Amtor de Fretes, Pendongeng Perdamaian Pasca-Konflik 1999ilustrasi kebersamaan Rumah Dongeng Damai (instagram.com/kak_eklin)

Beberapa tahun konflik berlalu, pemisahan (segregasi) wilayah di Maluku masih terpelihara hingga saat ini. Mereka terlalu takut untuk saling berjumpa, apalagi membangun hidup bersama dalam keberagaman beragama seperti sedia kala. 

Nyatanya, warisan-warisan konflik tersebut juga masih diturunkan secara masif pada generasi-generasi muda yang tak terlibat konflik. Berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Hanry Harlen Tapotubun dalam tesisnya tahun 2019, tampak begitu jelas bagaimana segregasi wilayah memengaruhi segregasi pemikiran pada masyarakat Maluku, terutama di kalangan remajanya.

Roy, 15 tahun, Kristen:

"Dulu, di wilayah Serri, penyerangan orang Serri [Kristen] terhadap pendatang Buton [Muslim] adalah tindakan mencegah mereka menyerang kami duluan, karena ada kabar mengatakan bahwa mereka telah bersiap untuk menyerang kami."

Gafur, 16 tahun, Muslim:

"Kerusuhan Ambon dulu juga terjadi di desa saya [desa Sirisori Islam]. Ibu mengatakan, kakek dan nenek menjadi korban jiwa karena terlambat lari menyelamatkan diri dari serangan orang-orang Sirisori Kristen."

Mamu, 16 tahun, Muslim:

"Konflik Ambon adalah agenda Kristenisasi, sehingga menjadi keharusan untuk tetap memelihara kecurigaan kepada pihak Kristen."

Alfin, 17 tahun, Kristen:

"Selama konflik, banyak orang Kristen dipaksa menjadi Muslim."

Meski kondisi sosial masyarakatnya jauh lebih kondusif pasca-konflik, tak bisa disangkal, prasangka-prasangka saling "tuduh" itu masih hidup dan terpatri pada benak mereka. Mereka masih memendam prasangka bahwa kelompoknya adalah korban atas kelompok yang lain--dan selamanya akan begitu karena tidak ada ruang untuk berbagi cerita dari sudut pandang yang berbeda.

Lingkungannya terlalu homogen untuk menarik sebuah kesimpulan yang matang. Jika pewarisan cerita sepihak ini dibiarkan terus-menerus, mungkinkah perdamaian akan terwujud?

1. Penyintas konflik yang berupaya menghidupkan kembali perdamaian di Tanah Maluku

Eklin Amtor de Fretes, Pendongeng Perdamaian Pasca-Konflik 1999ilustrasi kebersamaan kek Eklin dan Dodi (instagram.com/kak_eklin)

Eklin Amtor de Fretes adalah salah seorang pemuda Maluku penyintas konflik Ambon 1999. Saat itu, usianya baru 7 tahun. Ia dan keluarganya juga terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mengungsi ke lingkungan yang lebih aman.

Sebelum konflik pecah, ia tinggal di wilayah yang mayoritas warganya Muslim. Sementara ia adalah pemeluk agama Kristen Protestan. Meski demikian, mereka hidup rukun dan damai, hingga terbangun persaudaraan antar-agama yang begitu erat.

"Saya bisa merasakan indah persaudaraan itu di masa kecil. Di masa itu, ketika konflik belum terjadi, orang tua saya dan saya mau ke gereja. Tetapi di depan rumah saya itu ada seorang janda Muslim. Janda Muslim itu selalu memberikan uang bagi kami ketika kami mau ke gereja. Lalu bilang 'Ini jaga bawa masuk. Ini jaga kasih pada Tuhan Yesus. Ini kasih ke Gereja', kayak gitu-gitu", kisahnya dalam wawancara bersama penulis.

Pancaran kebahagiaan dan kerinduan akan perdamaian itu tergambar jelas di wajahnya ketika menceritakan kenangan-kenangan masa kecilnya sebelum konflik. Ia merindukan betapa indahnya hidup rukun dalam keberagaman tanpa sekat dan prasangka, yang tampaknya sulit ia dapatkan kembali saat ini.

"(Kenangan) Itu terlalu manis. Kami memberi makanan dan juga diberi makanan tanpa ada rasa takut, tanpa ada rasa jijik. Kami hidup dengan begitu nyaman dan tanpa ada prasangka buruk", tambahnya. 

Meski begitu, ia mencoba berdamai dengan keadaan. Sebagai penyintas konflik, ia juga berusaha menyikapi peristiwa tersebut secara bijaksana. Ia terus belajar tentang perdamaian, bergaul dengan teman lintas iman, dan memiliki pikiran terbuka untuk menerima keragaman.

Kak Eklin, sapaan akrabnya, menyadari betul bagaimana segregasi pemikiran itu juga telah memengaruhi pola pikir Masyarakat Maluku, tak terkecuali anak-anak dan generasi mudanya. Ia harus bergerak. Ia harus menghentikan arus cerita sepihak itu agar tak semakin mengalir bebas dan liar. 

2. Damai itu dimulai dari diri sendiri

Eklin Amtor de Fretes, Pendongeng Perdamaian Pasca-Konflik 1999ilustrasi kegiatan kak Eklin dan Dodi (instagram.com/kak_eklin)

"Damai itu dimulai dari diri sendiri. Damai besar itu akan tercapai jika kita mau berdamai dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar". Begitulah kira-kira pesan yang kerap digaungkan oleh Kak Eklin.

Pada tahun 2016, Kak Eklin mendapatkan sebuah akreditasi dari pembelajaran yang diikutinya di Living Values Education (LVE). Ini adalah sebuah program pendidikan yang menghidupkan nilai-nilai universal seperti cinta damai, cinta kasih, saling menghargai, toleransi, hingga kebebasan dan persatuan. Kak Eklin belajar banyak tentang nilai-nilai kehidupan yang utuh melalui pembelajaran tersebut, termasuk nilai-nilai perdamaian.

Sadar bahwa perdamaian besar membutuhkan langkah konkret yang tak kalah besar, ia pun beranjak dari zona nyamannya. Pada tahun 2017, ia menggagas program damai lintas iman, Youth Interfaith Peace Camp (YIPC). Idenya adalah menjadikan program tersebut sebagai ruang perjumpaan lintas iman untuk membangkitkan kembali ruang-ruang damai pasca-konflik.

dm-player

Di YIPC, ia mengajak teman-teman muda lintas iman dari agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, hingga agama suku Nuaulu untuk berkumpul dan berkemah. Sekitar 30 hingga 40 pemuda lintas iman bergabung dalam kegiatan tersebut--sebuah langkah awal yang bagus untuk memulai aktivitas perdamaian yang ia cita-citakan.

Tak berselang lama, ia juga membentuk komunitas perdamaian, JMP (Jalan Merawat Perdamaian) sebagai langkah lanjutan untuk  bergerak lebih masif. Ia bersama YIPC berkumpul membicarakan agenda perdamaian. Ia bersama JMP bergerak menyiarkan pesan-pesan damai. Kalau bukan dari diri sendiri, dari mana langkah damai itu dimulai?

3. Dongeng sebagai media untuk menyebarkan pesan-pesan damai

Eklin Amtor de Fretes, Pendongeng Perdamaian Pasca-Konflik 1999Kak Eklin dan Dodi bersama anak-anak di Pulau Maluku (instagram.com/kak_eklin)

Selain generasi mudanya, anak-anak adalah kelompok yang juga terdampak dari segregasi pemikiran yang selalu ditakutkannya. Ia tidak mau, generasi muda di Maluku terus-menerus mewarisi warisan-warisan narasi bertema konflik yang bisa menjadi bumerang di masa depan. Apalagi, segregasi wilayah yang tajam di Bumi Raja-Raja ini juga lebih mudah memicu gesekan antargolongan.

Berkat pendidikannya dalam program LVE, ia terdorong untuk membuat aktivitas perdamaian yang memiliki nilai dan  berdampak pada anak-anak. Dongeng, kemudian dipilihnya sebagai media menyebarkan pesan-pesan damainya yang dinilai sesuai dengan misinya.

"Segregasi wilayah itu bisa berdampak pada segregasi pemikiran akibat penuturan atau cerita. Maka hal itu pun, bisa di-counter atau dilawan juga dengan penuturan atau cerita yang lebih bisa membangun kepribadian anak-anak lebih baik."

Menurutnya, dongeng adalah media yang mudah diterima oleh anak-anak. Mereka bisa belajar atau menerima pengetahuan baru tanpa harus merasa digurui. Di dalam dongeng juga terkandung pesan atau nilai-nilai moral yang baik untuk membentuk budi pekerti mereka.

Meski tak memiliki keterampilan mendongeng dan kedekatan dengan anak-anak, kak Eklin nekat mengambil langkah tersebut. Baginya, niat dan tekad yang kuat sudah cukup untuk mendongkrak keterbatasannya itu. 

Pada akhir tahun 2017, ia kemudian membeli alat peraga dongeng berupa boneka puppet. Pikirnya sederhana, pendongeng biasanya membawa boneka saat mendongeng. Padahal ia tidak tahu sama sekali cara menggunakan boneka tersebut. Jangkan untuk menggunakan boneka puppet, ia bahkan tidak tahu bagaimana cara mendongeng.

Secara otodidak, ia akhirnya mempelajari cara mendongeng dan menggunakan boneka puppet melalui YouTube. Sekitar 2 minggu, ia rupanya sudah menguasai keterampilan mendongeng dengan seni ventriloquist, seni bicara tanpa menggerakkan bibir.

Tak butuh waktu lama, tepat 2 pekan ia belajar, ia langsung terjun ke masyarakat untuk memulai aktivitas perdamaiannya bersama JMP. Terbilang nekat, namun menurutnya ini adalah langkah yang harus segera dimulainya.

Baca Juga: Yoga Pratama Bangun Aplikasi Pelacak Ikan demi Kesejahteraan Nelayan

4. Penolakan aktivitas perdamaian hingga dituduh melakukan kristenisasi

Eklin Amtor de Fretes, Pendongeng Perdamaian Pasca-Konflik 1999Aktivitas kak Eklin bersama Rumah Dongeng Damai (instagram.com/kak_eklin)

Mengangkat cerita-cerita fabel, ia dan boneka puppet-nya yang diberi nama Dodi (Dongeng Damai) akhirnya mulai berkeliling menyampaikan dongeng kisah-kisah damai pada anak-anak. Ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dari desa satu ke desa lain, dari pedalaman satu ke pedalaman lain.

Tempat pertama yang ia kunjungi adalah wilayah pedalaman suku di Pulau Seram. Sayangnya, langkah pertamanya gagal. Ia ditolak dan diusir oleh masyarakat setempat karena dianggap akan melakukan proses kristenisasi melalui anak-anak. 

Tanpa rasa tersinggung atau patah semangat, kak Eklin pun melanjutkan aktivitasnya keesokan harinya di tempat yang berbeda. Langkah keduanya ini ternyata mendapat sambutan yang positif dari masyarakat setempat. Ia diterima dengan sangat baik bahkan dihadirkan di tempat-tempat upacara adat atau keagamaan.

Respons hangat ini juga ia terima ketika mengunjungi wilayah-wilayah rawan konflik, seperti Saleman dan Horale. Di sana, ia bisa melihat anak-anak bertemu, berkumpul, tertawa, dan berpelukan. Dongeng menyatukan mereka kembali setelah sekian lama. 

"Saya tidak pernah dapat uang dari situ (kegiatan mendongeng), saya tidak pernah dapat sesuatu yang berharga dari situ. Tapi ketika melihat anak-anak bersatu seperti itu, saya merasa kepuasan tersendiri dan merasa bahagia."

Aktivitas-aktivitas perdamaian tersebut kemudian ia unggah di media sosial Facebook, yang ternyata mendapat respons yang luar biasa dari berbagai kalangan. Inilah yang kemudian menjadi batu loncatannya untuk terus bergerak menyebarkan nilai-nilai perdamaian hingga waktu yang tak bisa ia tentukan.

Dari hari ke hari, ia terus berkeliling. Sebelum masuk ke wilayah baru, ia biasanya mengunjungi kenalannya terlebih dahulu di tempat tersebut sebagai pendekatan awal agar bisa masuk untuk mendongeng. Lambat laun, perjuangannya membuahkan hasil. Banyak orang yang mulai mengenalnya dan menyukai cerita dongengnya. Kak Eklin tak perlu lagi mencari anak-anak dan tempat untuk mendongeng, semuanya sudah disediakan oleh masyarakat.

Tak hanya berdongeng untuk perdamaian, kak Eklin dan Dodi juga turun langsung dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Mereka biasanya juga mendongeng di rumah sakit, tempat-tempat yang dilanda bencana, hingga kampus dan sekolah untuk menghibur anak-anak yang sakit atau terkena bencana, serta membantu biaya pengobatannya.

Dongeng tak hanya mempersatukan mereka yang terpisah, tetapi juga membangun kedekatan batin yang luar biasa di antara anak-anak. Inilah yang ingin disampaikan kak Eklin, bahwa cerita-cerita kelam masa lalu itu bisa dikubur dengan cerita-cerita yang menghidupkan nilai.

5. Belajar di Rumah Dongeng Damai

Eklin Amtor de Fretes, Pendongeng Perdamaian Pasca-Konflik 1999Kak Eklin dan Dodi di Rumah Dongeng Damai (instagram.com/kak_eklin)

Bertahun-tahun mendongeng, membuat keterampilannya semakin terasah. Pada tahun 2019, ia kemudian mendirikan Rumah Dongeng Damai yang diperuntukkan untuk belajar mendongeng. Mulanya, ini adalah rumah bagi alat-alat peraga dan buku dongengnya.

Bersama komunitas JMP, Rumah Dongeng Damai ini juga membuka kelas khusus untuk belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. Kelas ini bisa diikuti secara rutin seminggu sekali di akhir pekan pada hari Sabtu.

Begitu banyak yang telah ditorehkan oleh pemuda asal Maluku, Eklin Amtor de Fretes ini.  Tak hanya menggagas aktivitas perdamaian, ia juga menaruh perhatian lebih pada nilai-nilai kemanusiaan yang bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak di sekitarnya, serta anak-anak muda di luar Maluku pada umumnya.

Pada tahun 2020, ia mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Award dalam bidang Pendidikan dari PT. Astra International, Tbk. Ini merupakan program apresiasi Astra yang diperuntukkan untuk anak-anak bangsa yang telah berkontribusi mewujudkan kehidupan berkelanjutan dalam bidang pendidikan, kesehatan, kewirausahaan, lingkungan, serta teknologi.

Penghargaan ini jugalah membawa kak Eklin berhasil menerbitkan buku dongeng karyanya sendiri pada tahun 2021. Buku tersebut berjudul Mari Belajar Mendongeng Kisah-Kisah Damai. Dalam bukunya, ia menuliskan lengkap tentang apa itu dongeng, cara mendongeng, hingga kumpulan-kumpulan dongeng yang ia tulis selama perjalanannya dalam aktivitas damai. Semangat untuk hari ini dan masa depan Indonesia!

Baca Juga: Bayang Konflik Maluku Antarkan Eklin Amtor de Fretes Jadi Pendongeng

Dwi wahyu intani Photo Verified Writer Dwi wahyu intani

@intanio99

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya