Mengenal Geguritan, Karya Sastra Jawa yang Penuh Makna

Pernah mendengar geguritan Sluku-Sluku Bathok?

Jika dalam bahasa Indonesia kamu mengenal karya sastra puisi, dalam bahasa Jawa ada istilah geguritan. Apa itu geguritan?

Geguritan adalah karya sastra Jawa yang berbentuk puisi. Sama seperti puisi pada umumnya, geguritan dibuat dengan penggunaan bahasa dan struktur yang indah. Bahkan, beberapa geguritan dibuat dengan bahasa seperti syair sehingga bisa dinikmati dengan banyak cara, seperti didengarkan, dinyanyikan, atau dibaca. 

Menariknya, geguritan biasanya dibuat oleh seorang penyair yang memiliki latar belakang khusus, seperti politikus, tokoh agama, atau pecinta alam. Tidak heran, banyak karya sastra geguritan yang berisikan tentang sindiran atau edukasi. Penasaran lebih banyak tentang pengertian dan fakta geguritan? Yuk, baca terus sampai akhir, ya.

Baca Juga: 7 Fakta Menarik Bahasa Ngapak, Ternyata Bahasa Aslinya Orang Jawa! 

1.  Asal-usul geguritan

Mengenal Geguritan, Karya Sastra Jawa yang Penuh Maknailustrasi menikmati karya sastra (pixabay.com/ThoughtCatalog)

Dalam buku Pujangga Hujan, disebutkan bahwa geguritan merupakan bahasa Jawa Tengahan yang berasal dari kata dasar "gurit", yang artinya 'tatahan' atau 'coretan'. Di dalam kamus Baosastra, geguritan berasal dari kata "gurit" yang memiliki arti 'tembang' atau 'kidung'.

Menurut Waluyo, yang dikutip dari buku Antologi Geguritan, geguritan adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan perasaan serta pemikiran pengarang melalui daya imajinatif dan dibentuk dengan cara pemusatan seluruh kekuatan bahasa pada struktur fisik maupun struktur batinnya. Secara umum, geguritan merupakan karya sastra bentuk puisi yang dibuat dalam bahasa Jawa.

Ada dua jenis geguritan, yaitu geguritan tradisional dan modern. Geguritan tradisional merupakan puisi bahasa Jawa yang memenuhi aturan, seperti bunyi di akhir kata berakhiran sama, setiap baris berisi delapan suku kata, jumlah baris tidak tetap, dan permulaan guritan di awali dengan kata sun gegurit (saya mengarang). Sedangkan pada geguritan modern, tidak memiliki aturan seperti di atas. Jadi, seperti puisi bebas. 

Geguritan biasanya berkembang di daerah Jawa dan Bali. Selain nilai keindahan, geguritan juga kerap mengandung nilai edukatif seperti ajaran-ajaran yang berkembang dalam sastra Jawa, misalnya kemanusiaan, ketuhanan, kehidupan, dan alam semesta. Oleh sebab itu, karya geguritan biasanya dapat merangsang untuk perenungan, introspeksi, kontemplasi, hingga penghayatan hidup yang membuat manusia menjadi lebih bijaksana.

Dalam buku Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa, geguritan juga disebut sebagai karya sastra performing art. Ini adalah karya sastra yang dibacakan, dinyanyikan, dan ditarikan secara bersama.

2. Contoh geguritan

Mengenal Geguritan, Karya Sastra Jawa yang Penuh Maknailustrasi menulis puisi (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Ada banyak contoh geguritan yang lahir di tengah-tengah Masyarakat Jawa. Beberapa yang cukup populer seperti, "Sluku-Sluku Bathok", "Cublak-Cublak Suweng", dan "Lir-ilir". Pernah menjumpainya?

Sluku-sluku bathok

Sluku-sluku bathok

(Duduklah seperti batok)

Bathoke éla-élo

(Batoknya bernyanyi)

Si rama menyang Solo

(Si ayah pergi ke Solo)

Lèh-olèhé payung motha

(Membawa oleh-oleh payung layar)

Digarké nang sor nangka

(Dikembangkan di bawah pohon nangka)

Diingkupké nang sor bendha

(Ditutup di bawah pohon bendha)

Mak jenthit lo lo bah

Mak jenthit lo lo bah

Cina mati ora obah

(Cina mati tidak bergerak)

Nèk obah medèni bocah

(Kalau bergerak membuat anak takut)

Nèk urip golèka dhuwit.

(Kalau hidup carilah uang).

dm-player

"Sluku-Sluku Bathok" adalah contoh geguritan yang dikaitkan dengan nilai-nilai ketuhanan yang tinggi. Geguritan ini memiliki makna bahwa manusia seyogyanya harus senantiasa membersihkan batin (sluku-sluku bathok) dan mensucikan hatinya dari hawa nafsu.

Ini dilakukan dengan selalu menyebut kalimat tauhid, yaitu Laailaa haillallah, Muhammadar Rasulullah, yang berarti meyakini bahwa 'tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah'. Selain itu, manusia juga harus selalu berjalan di jalan yang dijalani oleh nabi Muhammad. Artinya, percaya dan taklid terhadap sunah-sunah Rasul.

Dalam geguritan tersebut, manusia juga sebaiknya selalu dapat mengoreksi diri atau bertaubat atas kesalahan-kesalahannya. Ini dimaksudkan agar dapat mendapat kematian yang baik (khusnul khatimah).

Lir ilir (mencari angin)

Lir ilir tanduré wis sumilir

(Angin berhembus sepoi tanaman sudah mulai berbuah)

Takijo royo-royo taksengguh pengantèn anyar

(kehijau-hijauan kukira penganten baru)

Bocah angon pènèkno blimbing kuwi

(Anak penggembala tolong ambilkan belimbing itu)

Lunyu-lunyu pènèkno kanggo masuh dododira

(Walaupun pohonnya agak licin tolong ambilkan untuk mencuci pakaianmu)

Dododira kumitir bedhah ing pinggir

(Pakaianmu diterpa angin sobek di pinggir)

Dondomana jumlatana kanggo séba mengko soré

(Jahitlah ambillah untuk pertemuan nanti sore)

Mumpung gedhé rembulané mumpung jembar kalangané

(Ketika rembulan besar bersinar)

Ayo surak-surak horé

(Ayo bersoraklah hore)

Tidak jauh berbeda dengan geguritan "Sluku-Sluku Bathok", "Lir-Ilir" juga merupakan contoh puisi Jawa yang sarat makna religius. Ada banyak penafsiran terkait geguritan tersebut, salah satunya adalah terkait dengan gambaran siklus kehidupan manusia dari kelahiran hingga kematian. Selain itu, geguritan ini juga ditafsirkan sebagai keberhasilan penyebaran ajaran agama Islam oleh Wali Songo. 

Lir ilir berarti 'mencari pegangan atau pengikat hidup'. Tandure wis sumilir berarti 'kalau tidak mendapat pegangan hidup, orang tidak akan tahu arti kehidupan yang sebenarnya'. Takijo royo-royo berarti 'setelah orang mampu mengerti arti kehidupan yang sebenarnya ia akan gilang-gemilang seperti cahaya yang bersinar'.

Taksengguh penganten anyar berarti 'jangan heran kalau orang banyak akan memandang orang yang seperti itu laksana hidup kembali dari kematian yang pernah dialaminya'. Bocah angon berarti 'orang tersebut sudah diayomi oleh yang menjaga kehidupan (Tuhan)'.

Penekno blimbing kuwi berarti 'untuk seterusnya orang itu harus berhati-hati agar tidak keliru menghadapi segala kemungkinan yang datang dari lima penjuru (seperti yang terlihat dari sudut-sudut pada buah belimbing)'.

Lunyu-lunyu penekna berarti 'jangan takut menghadapi segala kemungkinan yang terjadi'. Kanggo masuh dododiro berarti 'orang akan terhindar dari bencana apabila ia dapat membersihkan dirinya dari kemungkinan jahat yang menyelimuti hidup manusia'. Dododira kumitir bedhah ing pinggir berarti 'kejahatan dan kerusakan selalu melingkari kehidupan manusia'. Dondomana jlumatana berarti 'manusia harus menyingkirkan kejahatan dan kerusakan dalam pikirannya'.

Kanggo seba mengko sore berarti 'orang dapat menghadap Tuhan kalau ia telah mampu membersihkan diri dari segala hal yang buruk'. Mumpung gedhe rembulane berarti 'dari awal hendaknya senantiasa mau bersikap seperti itu'. Mumpung jembar kalangane berarti 'kalau persiapan sudah dimulai sejak awal orang akan memperoleh keselamatan'. Ayo surak hore berarti 'mantapkanlah hati setiap orang melihat petunjuk ini'.

Cublak-Cublak Suweng

Cublak-cublak suwengira

(Tempat menaruh anting)

Sigelentèr mambu ketundhung mundhing

(Terus berjalan menuju kerbau)

Empak-empong lira-liru

(Keliru minta api)

Iyèku swaranta

(Itulah ucapanmu)

Mlebu metu ingaran lira-liru

(Keluar masuk dinyatakan keliru)

Ing suwung kang mengku ana

(Di dalam kekosongan ada yang menjaga)

Munggah sajroning ngaurip

(Itulah makna selama kehidupan).

Geguritan "Cublak-Cublak Suweng" menggambarkan tentang penciptaan manusia. Pada dasarnya manusia senantiasa dipengaruhi oleh napas yang keluar masuk. Napas inilah yang membantu mereka tetap "hidup" dan terus bergerak. Kata mundhing yang diibaratkan dengan "kerbau" atau "anak kerbau" juga merujuk pada makna bahwa manusia itu sebenarnya adalah bodoh. Mereka tak dapat melihat meskipun itu ada dan nyata. Oleh sebab itu, manusia harus selalu dalam kesadaran untuk mencapai arti kehidupan yang sesungguhnya.

Geguritan merupakan karya sastra Jawa berbentuk puisi. Karya sastra ini dapat dinikmati dengan dinyanyikan, ditarikan, atau dibacakan. Tak sekadar penuh keindahan, geguritan juga sarat akan makna dan filosofi.

Baca Juga: 5 Wewaler Larangan Dalam Budaya Jawa,  Ora Ilok!

Dwi wahyu intani Photo Verified Writer Dwi wahyu intani

@intanio99

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira
  • Retno Rahayu

Berita Terkini Lainnya