5 Hal yang Terlihat Sepele Tapi Sebenarnya Ajang Cari Validasi

- Memilih aktivitas yang mudah diceritakan ke orang lain
- Menjaga kesibukan agar terlihat selalu produktif
- Mengikuti selera umum agar tidak terlihat aneh
Validasi kerap hadir lewat hal-hal kecil yang tampaknya tidak penting dan sering lolos dari perhatian. Banyak orang menjalaninya sebagai bagian dari keseharian tanpa pernah menyebutnya sebagai upaya mencari pengakuan. Padahal, di balik kebiasaan yang terlihat santai, ada kebutuhan untuk dianggap wajar, relevan, atau setidaknya tidak berbeda sendiri.
Validasi bukan soal pencitraan berlebihan, melainkan cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan yang makin terbuka dan serba terlihat. Kebiasaan ini tumbuh bukan karena ambisi besar, tetapi karena dorongan agar keberadaan diri tidak terasa hampa. Berikut beberapa hal yang terlihat sepele tapi sebenarnya ajang cari validasi.
1. Memilih aktivitas yang mudah diceritakan ke orang lain

Banyak orang tanpa sadar lebih tertarik pada aktivitas yang “enak diceritakan” daripada yang benar-benar ingin dilakukan. Pilihan nongkrong, liburan singkat, bahkan hobi sering dipertimbangkan dari seberapa menarik ceritanya saat dibagikan. Aktivitas yang sulit dijelaskan atau terdengar biasa cenderung dikesampingkan. Keputusan ini membuat pengalaman hidup perlahan disaring sejak awal.
Tanpa disadari, kesenangan pribadi digeser demi cerita yang terdengar layak di telinga orang lain. Validasi muncul bukan dari aktivitas itu sendiri, tetapi dari respons setelahnya. Kebiasaan ini membuat hidup terasa produktif secara sosial, meski tidak selalu memuaskan secara personal. Pada titik tertentu, pengalaman dijalani bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk narasi yang bisa dibagikan.
2. Menjaga kesibukan agar terlihat selalu produktif

Kesibukan sering dijadikan penanda bahwa hidup sedang berjalan dengan baik. Banyak orang merasa perlu terlihat sibuk meski tidak selalu tahu apa yang sedang dikejar. Kalender yang penuh memberi kesan bahwa waktu dimanfaatkan dengan benar. Diam tanpa agenda justru dianggap mencurigakan.
Validasi muncul ketika kesibukan diakui sebagai tanda produktivitas. Padahal, tidak semua kesibukan membawa arah yang jelas. Rutinitas diisi agar tidak terlihat kosong, bukan karena kebutuhan nyata. Akhirnya, waktu habis untuk menjaga citra sibuk, bukan untuk hal yang benar-benar penting.
3. Mengikuti selera umum agar tidak terlihat aneh

Selera, mulai dari tontonan, tempat makan, hingga musik, sering disesuaikan dengan mayoritas. Banyak orang memilih ikut menyukai sesuatu agar tidak perlu menjelaskan alasan berbeda. Selera pribadi yang tidak umum kerap disimpan sendiri. Cara ini dianggap lebih aman secara sosial.
Validasi hadir ketika selera dianggap masuk akal oleh lingkungan. Tanpa konflik, tanpa pertanyaan lanjutan. Namun, kebiasaan ini membuat preferensi pribadi perlahan memudar. Hidup terasa rapi di permukaan, tetapi kehilangan warna yang seharusnya muncul dari pilihan sendiri.
4. Menyampaikan cerita dengan versi yang sudah dipoles

Cerita yang dibagikan jarang benar-benar mentah. Banyak detail diatur agar terdengar masuk akal dan pantas dikagumi. Bagian yang membingungkan atau kurang menarik sering dihilangkan. Tujuannya sederhana, supaya cerita diterima tanpa penilaian negatif.
Validasi datang ketika cerita berjalan mulus dan mendapat respons positif. Padahal, versi yang dibagikan bukan gambaran utuh. Kebiasaan ini membuat jarak antara pengalaman asli dan cerita yang beredar. Lama-kelamaan, seseorang lebih akrab dengan versi ceritanya daripada realitasnya sendiri.
5. Mengukur diri dari reaksi orang lain

Banyak keputusan kecil dievaluasi dari reaksi sekitar. Pilihan dianggap tepat ketika mendapat respons baik. Sebaliknya, keputusan diragukan saat tidak mendapat perhatian. Reaksi orang lain menjadi alat ukur yang praktis dan cepat.
Validasi seperti ini membuat penilaian diri bergantung pada luar. Bukan karena tidak percaya diri, tetapi karena respons orang terasa lebih pasti. Padahal, reaksi orang lain sering dipengaruhi banyak hal yang tidak berkaitan langsung. Ketika validasi menjadi satu-satunya patokan, arah hidup mudah berubah hanya karena opini sesaat.
Ada beberapa hal yang terlihat sepele tapi sebenarnya ajang cari validasi. Hal ini dikarenakan validasi tidak selalu datang dalam bentuk mencolok, justru sering ada pada keputusan kecil yang tampak wajar. Memahaminya bukan untuk menghindari, tetapi agar kebiasaan hidup tidak berjalan otomatis. Pertanyaannya, masihkah keputusan sehari-hari diambil karena kebutuhan sendiri, atau karena ingin terasa cukup di mata orang lain?



















