5 Hal yang Tidak Boleh Dibatasi oleh Gender

- Stereotipe gender membatasi potensi individu berdasarkan jenis kelamin, bukan kemampuan dan minat.
- Pembatasan profesi, ekspresi emosi, tugas rumah tangga, dan hobi berdasarkan gender dianggap ketinggalan zaman.
- Pembagian peran dalam pengasuhan anak juga harus lebih fleksibel agar kedua orangtua dapat terlibat secara merata.
Stereotipe gender telah lama membentuk cara masyarakat memandang peran, kemampuan, dan minat. Norma-norma ini sering kali membatasi potensi seseorang berdasarkan gender, bukannya kemampuan dan minat. Namun, saat ini, pembatasan hal-hal berdasarkan gender semakin dianggap ketinggalan zaman dan mulai ditinggalkan.
Banyak aspek kehidupan yang tidak boleh dibatasi oleh gender. Dengan demikian, setiap orang dapat mengekspresikan diri dan mengejar impian mereka dengan bebas. Berikut beberapa hal yang tidak boleh dibatasi oleh gender.
1. Pilihan karier

Sejak lama, profesi tertentu dianggap sebagai pekerjaan "laki-laki" atau "perempuan". Bidang teknik, konstruksi, dan teknologi, misalnya, sering kali merupakan bidang yang didominasi laki-laki. Sementara, keperawatan, pengajaran, dan pengasuhan sering kali dikaitkan dengan perempuan. Stereotipe ini tidak hanya ketinggalan zaman, tetapi juga mencegah individu untuk mengejar karier yang sesuai dengan minat dan bakat mereka yang sebenarnya.
Mendorong orang untuk mengeksplorasi karier berdasarkan keterampilan dan minat mereka alih-alih harapan masyarakat akan menguntungkan semua pihak. Beragam perspektif di berbagai bidang dapat mendorong inovasi dan kreativitas. Dengan semakin banyak perempuan yang bekerja di bidang sains dan lebih banyak laki-laki dalam profesi pengasuhan dapat mendobrak hambatan tersebut. Ini tentunya akan mengarah pada lingkungan kerja yang lebih inklusif.
2. Ekspresi emosional

Emosi sering kali distereotipkan berdasarkan gender. Laki-laki, misalnya, dilarang mengekspresikan kesedihan karena ini dianggap sebagai bentuk kelemahan. Padahal, stereotipe ini mengarah pada masalah, seperti gangguan mental yang tidak diobati dan kelelahan emosional.
Setiap orang, terlepas dari jenis kelaminnya, seharusnya bisa bebas untuk mengekspresikan emosi mereka tanpa takut dihakimi. Komunikasi terbuka dan kemampuan mengekspresikan emosi akan menumbuhkan hubungan yang lebih sehat, kesehatan mental yang lebih baik, dan komunitas yang lebih kuat. Sangat penting untuk melawan stereotipe ini. Dengan begitu, orang dapat mengekspresikan emosinya dan mencari dukungan saat butuh.
3. Tanggung jawab rumah tangga

Sejak lama, masyarakat menetapkan bahwa perempuan bertanggung jawab atas tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan, sementara laki-laki menjadi pencari nafkah. Namun, saat ini, semakin banyak orang yang menganggap peran-peran ini seharusnya fleksibel dan dibagi secara merata. Laki-laki harus belajar mengasuh anak dan mengerjakan tugas rumah tangga, sementara perempuan boleh mengejar karier serta mendukung keuangan keluarga.
Pembagian tanggung jawab rumah tangga yang merata tidak hanya mendorong kesetaraan gender, tetapi juga memperkuat keluarga. Suami dan istri sama-sama mendapatkan manfaat dari beban kerja yang sama, yang memungkinkan mereka membangun kehidupan yang lebih seimbang. Gagasan bahwa salah satu jenis kelamin lebih cocok untuk tugas-tugas rumah tangga tertentu sudah ketinggalan zaman dan harus dibuang demi hubungan yang lebih adil.
4. Hobi dan minat

Hobi dan minat tidak boleh dibatasi oleh gender. Anak laki-laki harus merasa bebas untuk menikmati kegiatan yang secara tradisional dikaitkan dengan anak perempuan, seperti memasak, menyapu, atau mencuci pakaian. Begitu pula anak perempuan, ia harus diizinkan untuk menekuni minat yang sebelumnya dikaitkan dengan laki-laki, seperti olahraga, game, atau otomotif. Kegiatan-kegiatan ini pada dasarnya tidak bergender dan siapa pun harus dapat menikmatinya tanpa menghadapi ejekan atau tekanan masyarakat.
5. Keterlibatan dalam pengasuhan

Pengasuhan sering kali dipandang melalui lensa peran gender tradisional. Adapun, ibu diharapkan menjadi pengasuh utama dan ayah sebagai pencari nafkah. Padahal, kedua orangtua harus sama-sama terlibat dalam membesarkan anak-anak. Ayah maupun ibu sama-sama perlu belajar memandikan anak, membuat MPASI, mengajak bermain, dan membantu belajar. Dengan demikian, anak-anak mendapat manfaat dari keterlibatan orangtua yang lebih seimbang. Adapun, kedua orangtua memiliki kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengan anak.
Kesimpulannya, membatasi aspek kehidupan berdasarkan stereotipe gender membatasi kebebasan dan potensi individu. Dengan menghapus batasan gender dalam kehidupan sehari-hari, kita membuka jalan bagi masa depan dengan individu dinilai berdasarkan kemampuan, bukan gendernya.