Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi malam tahun baru. (Pexels.com/Pavel Danilyuk)

Intinya sih...

  • Ada ulama yang menganggap perayaan Tahun Baru Masehi boleh dilakukan asal tidak melanggar syariat, merusak kehormatan umat Muslim, atau mengandung kemaksiatan.
  • Sebagian ulama menyatakan bahwa perayaan Tahun Baru Masehi merupakan bagian dari tradisi yang tidak ada korelasinya dengan agama, namun juga tidak disyariatkan.

Perayaan pergantian tahun menjadi momen meriah yang dinantikan banyak orang. Keluarga, kerabat, hingga teman berkumpul di malam tahun baru, menghabiskan waktu bersama dengan melakukan berbagai kegiatan seru.

Menurut pandangan Islam, bagaimana hukumnya merayakan Tahun Baru Masehi? Mari simak penjelasannya. Ada beberapa pendapat berbeda dari para ulama, nih!

1. Bagaimana sejarah perayaan Tahun Baru Masehi?

Ilustrasi langit di tahun baru (pexels.com/Deadbird)

Perayaan Tahun Baru Masehi dilakukan setiap tanggal 31 Desember hingga tengah malam atau sampai memasuki tanggal 1 Januari di tahun berikutnya. Perayaan ini tentu saja mengikuti sistem penanggalan Masehi yang dicetuskan oleh Bangsa Romawi Kuno. Sistem penanggalan ini mengalami beberapa penyempurnaan menjadi kalender Julian, kemudian kalender Gregorian yang banyak digunakan orang-orang di seluruh dunia hingga kini.

Dimulainya kalender Masehi merujuk pada kelahiran Yesus Kristus, di mana tahun-tahun sebelum kelahiran Yesus disebut sebagai masa Sebelum Masehi (SM) dan tahun di mana Yesus lahir ditetapkan sebagai tahun 1 Masehi. Berkaca dari sejarah tersebut, wajar jika kalender Masehi erat kaitannya dengan ajaran Nasrani.

2. Perayaan Tahun Baru Masehi bukan budaya umat Muslim

Ilustrasi malam tahun baru. (Pexels.com/Pavel Danilyuk)

Perayaan Tahun Baru Masehi jelas bukan budaya umat Muslim. Dalam ajaran Islam, juga tidak ada anjuran untuk merayakan Tahun Baru Hijriah yang merupakan sistem penanggalan Islam. Setiap umat Muslim hanya dianjurkan untuk memperbanyak berdoa, berzikir, dan memohon ampunan kepada Allah SWT saat menyambut tahun yang baru.

Banyak ulama berpendapat bahwa merayakan Tahun Baru Masehi hukumnya haram karena sama saja mengikuti budaya kaum non-Muslim. Perayaan ini sangat rentan terhadap kemaksiatan yang bisa membawa kerugian. 

Dalam sebuah hadits yang diriwiyatkan oleh Al Baihaqi, Umar bin Khatab ra berkata,

"Janganlah kalian mengunjungi kaum Musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka." (HR. Al Baihaqi, no: 18640)

Hadis tersebut menyiratkan larangan mengikuti budaya kaum non-Muslim termasuk perayaan Tahun Baru Masehi. Meski tidak sepenuhnya merugikan, ada beberapa kegiatan yang bisa mengacu pada kemaksiatan saat merayakan Tahun Baru Masehi. Misalnya, menyalakan petasan dan kembang api yang berpotensi melukai orang lain, makan berlebihan, meminum minuman keras, berfoya-foya, hingga bergaul dengan lawan jenis hingga larut malam.

3. Ada beberapa ulama yang memperbolehkan atau menghalalkan perayaan Tahun Baru Masehi

Ilustrasi malam tahun baru. (Pexels.com/Federica Flessati)

Ada beberapa ulama yang menganggap perayaan Tahun Baru Masehi sebagai kegiatan yang wajar dan diperbolehkan dalam Islam. Melansir laman NU Online, merayakan Tahun Baru Masehi boleh-boleh saja dilakukan asal tidak mengarah pada perbuatan yang melanggar syariat.

Pendapat lainnya datang dari Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif serta Mufti Agung Mesir, Syekh Athiyyah Shaqr. Menurutnya, perayaan Tahun Baru Masehi yang identik dengan makan, minum, dan bersenang-senang boleh dilakukan, asal tidak merusak kehormatan dan akidah umat Muslim, serta tidak mengandung kemaksiatan.

Pendapat serupa juga dikatakan oleh ulama pakar hadis terkemuka asal Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, yang berpendapat bahwa perayaan Tahun Baru Masehi merupakan bagian dari tradisi yang tidak ada korelasinya dengan agama. Penjelasan tersebut tertuang dalam kitabnya. Berikut kutipannya:

"Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan Isra Mi'raj, malam nisfu Sya'ban, Tahun Baru Hijriah, Nuzulul Qur'an dan peringatan Perang Badar. Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan. Kendati demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan."

Berikut tadi penjelasan hukum merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam. Semoga dapat menambah wawasan dalam menjalankan ajaran Islam.

Editorial Team