4 Kebiasaan Digital yang Sering Jadi Pemicu Social Comparison

Social comparison dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang dalam membandingkan hidupnya dengan orang lain. Hidup di tengah era digital membuat kita lebih cepat terkoneksi lebih luas dengan banyak orang. Tanpa sadar, apa yang dilihat dari layar dapat memicu rasa tidak puas dengan hidup yang sedang kita jalani sekarang.
Perlahan social comparison menjadi celah untuk membandingkan hidup kita dengan versi terbaik hidup orang lain. Sebab, di balik layar ponsel yang sedang kita pegang tersimpan jutaan momen bahagia, ratusan pencapaian hingga kehidupan ideal yang mereka tampakkan. Sayangnya, kita sering lupa jika pencapaian mereka juga tidak lepas dari perjuangan hingga kegagalan yang tidak diperlihatkan. Berikut adalah beberapa kebiasaan digital yang diam-diam memicu social comparison. Yuk, hindari mulai dari sekarang!
1. Terlalu banyak follow orang yang sukses di usia muda

Melihat kesuksesan orang lain memang bisa membuat kita termotivasi. Namun jika kamu tidak membatasi hal ini justru dapat berubah menjadi tekanan yang menimbulkan rasa tidak cukup dalam diri. Akhirnya kamu pun mulai mempertanyakan "Kenapa hidupku belum sejauh itu ya? Padahal Setiap orang selalu punya waktu dan jalannya masing-masing untuk sampai di titik yang ingin dicapai.
Jika setiap hari kamu hanya dikelilingi konten semacam itu maka rasanya sangat sulit untuk tidak merasa kalah. Selain itu kamu juga akan merasa terlambat atau bahkan gagal hanya karena hidup kita tidak secepat orang lain. Mengikuti kisah orang sukses tidak dilarang, namun jangan sampai membuatmu kehilangan diri sendiri atau bahkan meremehkan proses yang sedang kamu jalani.
2. Menjadikan like dan followers sebagai patokan nilai diri

Media sosial sekarang ini memang dapat menjadi ruang berbagi tanpa batas. Namun, di sisi lain juga dapat membuka celah baru untuk membandingkan. Tanpa sadar kita juga sering mengaitkan jumlah like dan followers pada seberapa berharganya diri sendiri.
Kita sering merasa buruk jika followers stagnan atau postingan tidak banyak disukai oleh orang lain. Padahal algoritma media sosial tidak bisa kita tebak. Kita bisa lihat berapa banyak konten yang viral tapi isinya tidak berkualitas begitupun sebaliknya. Maka jika kamu menjadikan media sosial sebagai tolak ukur kebahagiaan, maka hal ini dapat menjauhkanmu dari versi terbaik yang ada dalam dirimu.
3. Sering membandingkan diri dengan standar kesempurnaan yang di buat AI

Berkembangnya teknologi yang semakin canggih menjadikan standar kesempurnaan semakin sulit untuk dibedakan mana yang nyata serta buatan. Berapa banyak teknologi seperti AI maupun filter kecantikan yang membuat kita sering melihat wajah atau gaya hidup orang lain dengan sempurna. Semuanya tampak tersusun rapi bahkan begitu menarik perhatian.
Namun, dari sinilah muncul perbandingan antara standar dunia nyata dengan standar yang bahkan tidak benar benar ada. Akhirnya, rasa tidak puas itu kembali muncul. Kita terlalu fokus pada sesuatu yang belum dicapai karena sering membandingkan citra digital yang rekayasa. Jika dibiarkan ini bisa berdampak pada kesehatan mental serta cara kita memandang hidup.
4. Melihat highlight hidup orang saat kita sedang berada di titik rendah

Mungkin kamu pernah merasa hidup terasa berat, pekerjaan selalu bikin burnout, belum lagi lingkungan kerja yang toxic. Akhirnya kamu mencari pelarian lewat sosial media. Alih-alih merasa lebih baik, kamu justru disuguhi konten orang lain yang menampakkan bahagia dan keindahan hidupnya.
Kabar buruknya, di momen seperti inilah media sosial menjadi cermin yang dapat memperbesar luka. Kita sering lupa bahwa semua orang pernah mengalami titik terendah dalam hidupnya. Daripada kamu terus-terusan terjebak dalam ilusi perbandingan yang tidak ada habisnya, alangkah baiknya rehat sejenak dari layar menjadi hal paling tepat untuk dilakukan.
Beberapa kebiasaan kebiasaan digital di atas mungkin memang terlihat sepele, jika dibiarkan dapat menguras emosionalmu. Jika kehidupan yang kita lihat di layar selalu berupa bentuk kesempurnaan, ingatlah bahwa apa yang dilihat hanyalah potongan kecil kisah mereka. Oleh karena itu, cobalah untuk tetapkan batasan serta kurangi konsumsi konten yang memicu perbandingan untuk hidup lebih berkualitas.