Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
picssr.com

Berbahagialah ia yang terlalu lelah memikirkan hari esok. Lelap nyenyak menjadi miliknya. Esok masih saja ditemani kabut. Biarkan aku bersandar sejenak. Saat ini harus aku maknai juga. Satu paragraf singkat diatas saya temukan dari sebuah majalah lokal perusahaan dan saya tergelitik untuk menguak apa yang ada di dalamnya. Saya membaca ulang bagian "terlalu lelah memikirkan hari esok." Sontak saya bertanya apakah salah memikirkan hari esok? Bukankah itu hal yang wajar? Tidak ada yang salah dengan merencanakan masa depan. Tentang apa, kemana, berapa, dan kapan.

Saya dan Anda memiliki angan akan masing-masingnya. Menginginkan apa, hendak pergi kemana, ingin berpenghasilan berapa, dan menikah kapan, semua ada dalam baris pikiran yang terkonversi dalam tiga hal: rencana, upaya, dan doa. Ketiga ini adalah cara ampuh menjawab pertanyaan bagaimana kita mewujudkan itu semua. Sayangnya, kadang kita lupa menarik nafas dan memberi koma pada perjuangan untuk menjawab pertanyaan mengapa kita memikirkan itu.

Ingin bahagia, banyak yang menjawab demikian mungkin. Perencanaan yang rinci dipuji sebagai sebuah rasa mawas akan masa depan sehingga dapat menciptakan kehidupan yang nyaman. Memastikan apa yang masih ada dalam kendali dan menekan kemungkinan kecerobohan. Manusia ahli dalam hal itu. Sayangnya dengan jawaban tersebut, kita lupa bahwa bahagia merupakan state of mind atau pengkondisian pikiran. Itu adalah keputusan, yang bagi sebagian orang dinganggap sebagai tujuan. "Jika sudah memiliki ini, sudah pergi kesana kemari, dan setiap bulan sudah mengantongi puluhan juta gaji, baru saya akan bahagia."

Kita memberi syarat atas perasaan dan suasana kehidupan yang sebenarnya dapat kita rasakan kapanpun kita mau. Kabar baiknya adalah: 

Editorial Team

Tonton lebih seru di