Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Orang Indonesia Selalu Kepo Masalah Agama Orang Lain?

ilustrasi simbol tiga agama (unsplash.com/Noah Holm)
Intinya sih...
  • Agama di Indonesia bukan hanya soal keyakinan pribadi, tapi juga konsumsi publik
  • Agama dianggap identitas sosial yang melekat kuat, sehingga orang cenderung ingin tahu agama seseorang
  • Media sosial dan media massa memperkuat sikap kepo masyarakat terhadap urusan agama orang lain di Indonesia

Berangkat dari pengamatan secara langsung dan kerap dijumpai di media sosial ada satu hal menarik di Indonesia. Di negeri ini membicarakan agama bukan sebatas soal keyakinan pribadi, tetapi juga menjadi konsumsi publik. Bahkan, di mesin pencari, sekali pun kata kunci "agama" kerap mengikuti setelah kita mengetik nama seorang selebritas.

Tak hanya itu, di media sosial, komentar tentang ibadah seseorang juga sering kali hadir tanpa diminta. Rasa ingin tahu yang besar terkadang berujung pada sikap kepo yang berlebihan. Lantas, kenapa orang Indonesia begitu peduli dengan agama dan ibadah orang lain? Berikut beberapa alasannya.

1. Agama menjadi identitas yang sangat kuat

ilustrasi rosario (unsplash.com/James Coleman)

Di Indonesia, agama bukan sekadar keyakinan, melainkan juga identitas sosial yang telah melekat kuat. Sejak lahir, seseorang sudah otomatis dikategorikan berdasarkan agama yang orang tuanya anut. Dalam banyak aspek kehidupan, informasi agama seseorang dianggap penting, mulai dari administrasi kependudukan sampai dalam pergaulan sehari-hari. Karena itu, orang cenderung ingin tahu agama seseorang, seolah itu bisa menentukan karakter dan kepribadiannya.

Ketika seseorang memutuskan untuk berpindah keyakinan atau menjalankan ibadah dengan cara yang berbeda, banyak orang merasa perlu untuk ikut campur. Hal ini bukan cuma karena rasa ingin tahu, tapi juga karena ada anggapan bahwa agama menjadi urusan bersama, bukan hanya urusan individu. Bahkan, tidak sedikit yang merasa berhak memberikan komentar dan menilai keputusan seseorang terkait keyakinannya, lho.

2. Norma sosial yang menjadikan agama sebagai ukuran moralitas

ilustrasi beribadah (unsplash.com/Wisnu Widjojo)

Pada banyak lingkungan di Indonesia, agama sering dianggap sebagai standar moral tertinggi. Orang yang taat beribadah dipandang lebih baik dibanding yang tidak terlihat menjalankan ritual keagamaan secara terbuka. Karena itu, orang yang tidak memakai hijab, memiliki tato, atau memutuskan tidak menjalankan ibadah tertentu sering kali menjadi bahan pembicaraan.

Hal ini juga tercermin kala kita menelusuri diskursus dan interkasi di media sosial. Ketika seseorang mengunggah foto dengan tampilan yang dianggap "tidak sesuai norma agama", pasti akan muncul komentar yang menasihati, mengingatkan, atau bahkan tidak segan untuk menghakimi. Kepo terhadap urusan ibadah dan keyakinan orang lain seolah menjadi bentuk kontrol sosial yang dilakukan atas nama kepedulian, meskipun sering kali justru menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain.

3. Budaya kolektif yang menyebabkan rasa memiliki berlebihan

ilustrasi muslim (unsplash.com/أخٌ‌في‌الل)

Masyarakat Indonesia dikenal memiliki budaya kolektif yang cukup kuat. Di lingkungan seperti ini, kehidupan seseorang akan selalu dianggap berkaitan erat dengan komunitasnya. Apa yang dilakukan individu sering kali dianggap berdampak pada kelompok atau komunitasnya, termasuk dalam urusan agama. Akibatnya, banyak orang merasa memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan ibadah dan keyakinan orang lain di Indonesia.

Misalnya, seseorang yang berasal dari keluarga dengan latar belakang agama tertentu kemudian berpindah keyakinan akan dianggap sebagai "pengkhianat" oleh komunitasnya. Begitu pula dengan pasangan beda agama yang harus menghadapi tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar untuk memilih satu keyakinan sebelum memutuskan  berumah tangga bila tidak risikonya jelas sangat beagam. Sikap ini semakin diperkuat dengan media sosial yang membuat informasi tentang kehidupan seseorang menjadi lebih terbuka dan mudah dikomentari oleh siapa saja.

4. Kurangnya kesadaran akan privasi dan batasan personal

ilustrasi beribadah (unsplash.com/Chinh Le Duc)

Di banyak negara lain di dunia, urusan agama dan ibadah dianggap sebagai ranah pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Namun tak demikian dengan yang ada di Indonesia sebab batasan ini sering kali terlalu kabur. Banyak orang merasa tidak apa-apa untuk menanyakan keyakinan seseorang secara langsung, bahkan pada orang yang baru dikenalnya sekali pun. Pertanyaan seperti "apa agama kamu?" sering muncul dalam percakapan awal yang mana tanpa disadari bisa menjadi sesuatu yang sensitif.

Selain itu, keputusan seseorang dalam beribadah sering kali dianggap sebagai sebuah hal yang layak untuk dikomentari. Jika seseorang memilih untuk tidak menjalankan ibadah tertentuatau melakukannya dengan kepercayaan yang berbeda, pasti akan ada yang mempertanyakan. Secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang belum memahami konsep privasi dalam urusan keagamaan.

5. Pengaruh media dan algoritma digital yang memperkuat rasa kepo

ilustrasi beribadah (unsplash.com/Chinh Le Duc)

Media, baik televisi maupun media sosial, memiliki peran besar dalam memperkuat sikap kepo masyarakat terhadap urusan agama orang lain di Indonesia. Artikel tentang "agama artis" sering kali menjadi topik yang menarik banyak pembaca, sehingga terus diproduksi demi mendapatkan perhatian. Selain itu, algoritma media sosial yang menampilkan konten berdasarkan minat pengguna membuat topik-topik dan bahasan tentang agama seperti ini semakin sering muncul di linimasa.

Hal ini juga diperburuk dengan banyaknya akun yang sengaja memancing perdebatan soal agama dan ibadah di Indonesia. Setiap kali ada figur publik yang melakukan sesuatu yang berkaitan dengan agama misalnya mengenakan hijab, menikah beda agama, atau berpindah keyakinan akan langsung muncul gelombang komentar dan diskusi tanpa arah yang sering kali tidak produktif. Sikap kepo agama yang terus dipupuk oleh media ini akhirnya menjadi bagian dari budaya digital masyarakat Indonesia.

Meskipun dalam beberapa kasus hal ini muncul dari niat baik, kepo yang berlebihan justru bisa menciptakan tekanan sosial dan menimbulkan sikap menghakimi. Oleh karena itu, penting untuk memahami batasan antara rasa ingin tahu dan menghormati privasi orang lain. Hal ini dikarenakan agar setiap individu bisa menjalankan keyakinannya dengan nyaman tanpa merasa diawasi atau dinilai terus-menerus.

Referensi:

  1. Indonesia’s Obsession to Maintain Social Order Hinders Equal Treatment of Minority Faiths. The Conversation. Diakses pada Maret 2025.
  2. Religious Freedom, Harmony, or Moderation? Government Attempts to Manage Diversity. Indonesia at Melbourne. Diakses pada Maret 2025.
  3. Hypocrisy or Imagination? Pseudo-Pluralism in Indonesia. New Mandala. Diakses pada Maret 2025.
  4. Abuses Against Religious Minorities in Indonesia. Human Rights Watch. Diakses pada Maret 2025.
  5. Religious Tolerance and Social Harmony in Indonesia: Challenges and Opportunities. PsycNET APA. Diakses pada Maret 2025.
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Annisa Nur Fitriani
EditorAnnisa Nur Fitriani
Follow Us