ilustrasi beribadah (unsplash.com/Chinh Le Duc)
Media, baik televisi maupun media sosial, memiliki peran besar dalam memperkuat sikap kepo masyarakat terhadap urusan agama orang lain di Indonesia. Artikel tentang "agama artis" sering kali menjadi topik yang menarik banyak pembaca, sehingga terus diproduksi demi mendapatkan perhatian. Selain itu, algoritma media sosial yang menampilkan konten berdasarkan minat pengguna membuat topik-topik dan bahasan tentang agama seperti ini semakin sering muncul di linimasa.
Hal ini juga diperburuk dengan banyaknya akun yang sengaja memancing perdebatan soal agama dan ibadah di Indonesia. Setiap kali ada figur publik yang melakukan sesuatu yang berkaitan dengan agama misalnya mengenakan hijab, menikah beda agama, atau berpindah keyakinan akan langsung muncul gelombang komentar dan diskusi tanpa arah yang sering kali tidak produktif. Sikap kepo agama yang terus dipupuk oleh media ini akhirnya menjadi bagian dari budaya digital masyarakat Indonesia.
Meskipun dalam beberapa kasus hal ini muncul dari niat baik, kepo yang berlebihan justru bisa menciptakan tekanan sosial dan menimbulkan sikap menghakimi. Oleh karena itu, penting untuk memahami batasan antara rasa ingin tahu dan menghormati privasi orang lain. Hal ini dikarenakan agar setiap individu bisa menjalankan keyakinannya dengan nyaman tanpa merasa diawasi atau dinilai terus-menerus.
Referensi:
- Indonesia’s Obsession to Maintain Social Order Hinders Equal Treatment of Minority Faiths. The Conversation. Diakses pada Maret 2025.
- Religious Freedom, Harmony, or Moderation? Government Attempts to Manage Diversity. Indonesia at Melbourne. Diakses pada Maret 2025.
- Hypocrisy or Imagination? Pseudo-Pluralism in Indonesia. New Mandala. Diakses pada Maret 2025.
- Abuses Against Religious Minorities in Indonesia. Human Rights Watch. Diakses pada Maret 2025.
- Religious Tolerance and Social Harmony in Indonesia: Challenges and Opportunities. PsycNET APA. Diakses pada Maret 2025.