Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Viral Based Policy Sering Terjadi di Indonesia?

ilustrasi viral (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Kebijakan pemerintah sering berubah setelah viral di media sosial
  • Respons lemah terhadap isu masyarakat menjadi alasan utama pola kebijakan "viral based"
  • Kurangnya uji coba, transparansi, dan strategi komunikasi memperkuat fenomena kebijakan berbasis viral

Kamu mungkin sering melihat berita tentang kebijakan yang tiba-tiba berubah setelah ramai diperbincangkan di media sosial. Kebijakan yang awalnya diterapkan dengan berbagai alasan, mendadak dikoreksi atau bahkan dibatalkan setelah mendapat tekanan publik. Masalahnya, pola ini terus berulang. Seolah pemerintah menunggu kebijakan viral dulu sebelum benar-benar mempertimbangkan dampaknya.

Fenomena ini semakin kentara ketika melihat bagaimana berbagai aturan, mulai dari harga BBM, PPKM, hingga distribusi gas LPG, mengalami perubahan setelah muncul reaksi besar dari masyarakat. Hal ini memunculkan pertanyaan, kenapa harus menunggu viral dulu baru ada perubahan? Bukankah seharusnya kebijakan dibuat dengan pertimbangan matang sejak awal? Nah, ada beberapa alasan mengapa viral based policy terus terjadi di Indonesia.

1. Reaksi terlambat pemerintah terhadap masalah

ilustrasi gas LPG 3 kg (vecteezy.com/onyengradar)

Salah satu alasan utama adalah lemahnya respons cepat terhadap isu yang berkembang di masyarakat. Banyak kebijakan dibuat tanpa perhitungan matang, sehingga ketika diterapkan, baru muncul masalah yang sebenarnya bisa diantisipasi sejak awal. Pemerintah sering kali lebih fokus pada penerapan kebijakan tanpa mempertimbangkan kemungkinan dampaknya secara luas.

Ketika masyarakat bereaksi keras di media sosial, barulah ada perhatian lebih. Sayangnya, bukannya memperbaiki sejak awal, perubahan baru dilakukan setelah ada korban atau keresahan besar. Seperti kasus antrean panjang gas LPG yang akhirnya menelan korban jiwa. Seandainya dari awal kebijakan ini diuji coba atau dikaji lebih mendalam, dampak buruknya bisa diminimalisir.

2. Ketergantungan pada opini publik dan media sosial

ilustrasi unjuk rasa (unsplash.com/Rafli Firmansyah)

Di era digital, opini publik memiliki kekuatan besar dalam membentuk kebijakan. Pemerintah cenderung lebih reaktif terhadap isu yang ramai di media sosial dibanding melakukan analisis mendalam sebelum membuat keputusan. Hal ini menciptakan pola kebijakan yang mengikuti tren viral, bukan berdasarkan perencanaan yang matang.

Misalnya, saat sebuah kebijakan baru diumumkan dan mendapat banyak kritik, pemerintah sering kali buru-buru memberikan klarifikasi atau revisi tanpa perhitungan yang jelas. Efeknya, banyak kebijakan yang berubah-ubah dan membuat masyarakat bingung. Padahal, idealnya sebuah kebijakan sudah memiliki landasan kuat sebelum diterapkan agar tidak perlu diubah karena tekanan publik.

3. Kurangnya kajian dampak sebelum kebijakan diterapkan

ilustrasi analisis (unsplash.com/UX Indonesia)

Salah satu kelemahan terbesar dalam pembuatan kebijakan di Indonesia adalah minimnya uji coba atau simulasi sebelum diterapkan. Banyak kebijakan dibuat tanpa analisis mendalam mengenai dampaknya di lapangan. Akibatnya, ketika kebijakan ini berjalan dan menimbulkan masalah, pemerintah baru menyadari bahwa ada kekurangan dalam perencanaannya.

Seharusnya, tiap kebijakan diuji coba di wilayah tertentu terlebih dahulu sebelum diterapkan secara nasional. Dengan begitu, dampaknya bisa diprediksi dan diperbaiki sebelum memengaruhi masyarakat luas. Tanpa langkah ini, pemerintah hanya akan terus mengulangi kesalahan yang sama dan bergantung pada reaksi publik sebagai bahan evaluasi.

4. Kurangnya transparansi dan komunikasi dengan publik

Gonta-Ganti Kebijakan Minyak Goreng (IDN Times/Aditya Pratama)

Salah satu alasan kenapa kebijakan sering berubah setelah viral adalah kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat sering kali tidak mendapat penjelasan yang cukup sebelum kebijakan diterapkan sehingga ketika aturan baru muncul, responsnya bisa sangat negatif. Ketidaksiapan pemerintah dalam memberikan penjelasan yang jelas juga membuat masyarakat semakin skeptis terhadap kebijakan yang berubah-ubah.

Ketika masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, wajar jika mereka bereaksi keras setelah aturan diberlakukan. Sayangnya, bukannya memperbaiki komunikasi sejak awal, pemerintah justru menunggu hingga ada tekanan publik baru menjelaskan atau mengubah kebijakan tersebut. Hal ini menunjukkan kurangnya strategi komunikasi yang baik antara pembuat kebijakan dan masyarakat.

5. Kebiasaan responsif tanpa strategi jangka panjang

ilustrasi harga BBM (IDN Times/Aditya Pratama)

Fenomena viral based policy menunjukkan bahwa banyak kebijakan dibuat secara reaktif tanpa strategi jangka panjang. Pemerintah lebih sering berusaha meredam reaksi negatif dengan solusi instan, bukan mencari solusi sistemik yang bisa menyelesaikan masalah dalam jangka panjang. Akibatnya, kebijakan yang diambil cenderung tidak konsisten dan berubah-ubah mengikuti tekanan publik.

Sebagai contoh, dalam kasus kenaikan harga BBM yang menuai protes besar, pemerintah cenderung mengeluarkan bantuan sosial sebagai respons cepat tanpa benar-benar mencari solusi untuk menekan harga energi dalam jangka panjang. Akibatnya, masalah yang sama terus berulang setiap kali ada kenaikan harga. Tanpa strategi yang lebih terencana, kebijakan hanya akan terus berubah mengikuti tren, bukan berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat.

Fenomena viral based policy di Indonesia bukan hanya soal kebijakan yang berubah setelah viral, tetapi juga mencerminkan lemahnya perencanaan dan komunikasi pemerintah dalam mengelola kebijakan publik. Seharusnya, kebijakan dibuat berdasarkan kajian mendalam, bukan sekadar mengikuti arus viral. Tanpa perubahan dalam cara pemerintah mengambil keputusan, pola ini akan terus berulang dan masyarakat akan terus menjadi korban dari kebijakan yang tidak matang. Jika pemerintah ingin mengurangi ketergantungan pada kebijakan berbasis viral, maka transparansi, riset mendalam, serta komunikasi yang lebih baik dengan publik harus menjadi prioritas utama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Annisa Nur Fitriani
EditorAnnisa Nur Fitriani
Follow Us