5 Alasan Kritik Terasa Menyakitkan bagi Orang yang Perfeksionis

- Perfeksionis merasa kritik adalah kegagalan pribadi dan menolak masukan
- Nilai diri perfeksionis terikat pada hasil kerja, sehingga kritik terasa sebagai serangan langsung
- Perfeksionis takut kehilangan citra sempurna dan sulit menerima proses pertumbuhan lewat kritik
Perfeksionisme seringkali dibungkus dengan ambisi tinggi dan keinginan untuk selalu tampil sempurna. Namun, di balik itu, para perfeksionis kerap merasa sangat terpukul saat menerima kritik, meskipun kritik tersebut disampaikan dengan niat baik. Berikut lima alasan mengapa kritik bisa terasa sangat menyakitkan bagi mereka.
1. Menganggap kritik sebagai kegagalan pribadi

Seorang perfeksionis sangat menginginkan kesempurnaan dalam segala hal. Sampai seseorang ingin terus merasa paling baik dan menolak kritik. Sebagian menganggap kritik sebagai kegagalan pribadi.
Prefeksionisme sering kali memiliki standar yang sangat tinggi terhadap diri sendiri. Ketika menerima kritik, mereka tidak melihatnya sebagai masukan, melainkan sebagai bukti bahwa mereka gagal memenuhi ekspektasi baik dari orang lain maupun dari dirinya sendiri.
2. Melekatkan nilai diri pada hasil kerja

Hasil kerja menjadi orientasi seorang perfeksionis. Mereka sangat melekatkan nilai diri pada hasil kerja yang tinggi. Inilah yang bikin mereka sangat anti terhadap kritik. Merasa bahwa apa yang sudah dilakukan ialah yang terbaik.
Bagi perfeksionis, hasil pekerjaan bukan sekaar tanggung jawab, tetapi cerminan harga diri. Maka, setiap kritik terhadap karya atau tindakannya bisa terasa seperti serangan langsung terhadap siapa dirinya.
3. Takut kehilangan kendali atau citra sempurna

Seorang yang perfeksionis sangat menginginkan citra diri yang sempurna. Mereka takut kehilangan kendali pada penilaian orang dan kritikan. Tentu orang seperti ini sangat sensitive terhadap kritikan bakan yang membangun.
Kritik bisa menggoyahkan gambaran sempurna yang telah mereka bangun dengan susah payah. Mereka takut terlihat lemah, kurang cakap, atau tidak kompeten, sehingga kritik terasa mengancam kestabilan citra yang mereka jaga.
4. Cenderung berpikir hitam putih

Tanpa banyak pertimbangan, orang perfeksionis cenderung berpikir hitam atau putih. Mereka sangat terobsesi pada hal-hal yang jelas. Padahal belum tentu itu baik untuk diri sendiri. Sebab penilaian orang terbatas, butuh penilaian berupa masukan atau kritikan dari orang lain yang meihat sisi kurang diri sendiri.
Perfeksionis kerap melihat dunia dalam dua sisi esktrem seperti sukses atau gagal, benar atau salah. Kritik sekecil apa pun bisa langsung ditempatkan ke dalam kategori kegagalan total, sehingga terasa lebih menyakitkan dari seharusnya.
5. Sulit menerima proses sebagai bagian dari pertumbuhan

Karena fungsi pada hasil akhir yang sempurna, perfeksionis sering melupakan bahwa kesalahan dan kritik adalah bagian alami dari proses belajar. Mereka cenderung ingin segala sesuatu sempurna sejak awal, tanpa ruang untuk cacat.
Ini yang membuat mereka tidak terima akan kritikan. Mereka sulit menerima proses sebagai bagian dari pertumbuhan. Inilah sulitnya seorang perfeksionis untuk menjadi lebih baik lagi.
Bagi perfeksionis, belajar menerima kritik sebagai sarana tumbuh bukan sebagai ancaman terhadap nilai diri bisa menjadi proses yang menantang tapi sangat berharga. Dengan menyadari pola-pola ini, mereka dapat mulai melatih diri untuk memandang kritik dengan lebih jernih dan penuh welas asih terhadap diri sendiri.