Wadi'ah: Hukum dan Ketentuan Menitipkan Barang dalam Islam

Ada cara menitipkan barang tanpa merugikan orang lain

Banyak cara yang bisa dilakukan saat ingin saling membantu satu sama lain. Bisa dengan saling berbagi rezeki, menghibur mereka saat dalam kesedihan, atau menyumbangkan waktu dan tenaga untuk menjaga barang yang mereka amanahkan pada kita. Dengan kondisi kehidupan yang berbeda-beda, saling membantu akan terasa bermanfaat bagi diri sendiri atau pun orang lain.

Dalam agama Islam, saling membantu tidak hanya sebagai rasa hormat kepada sesama. Namun, juga diatur dan menjadi perintah dari Allah SWT. Salah satunya wadi'ah yang memiliki kesamaan makna dengan 'menitipkan sesuatu'.

Tak sekadar menitipkan atau menjaga barang orang lain, ada beberapa adab dan ketentuan dalam menjalankan wadi'ah agar tak merugikan satu sama lain. Simak, yuk!

1. Pengertian dan macam-macam wadi'ah

Wadi'ah: Hukum dan Ketentuan Menitipkan Barang dalam Islamilustrasi memberikan barang (pexels.com/Ivan Samkov)

Wadi'ah dapat diartikan sebagai 'meninggalkan sesuatu' atau 'sesuatu yang dititipkan'. Sementara menurut istilah, wadi'ah merupakan menitipkan sesuatu barang kepada orang lain agar dapat dipelihara dengan baik.

Masing-masing ulama mahzab juga memiliki pengertian tersendiri untuk kata wadi'ah. Ulama Hanafi mengartikan wadi'ah sebagai memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjaga hartanya. Sedangkan ulama Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengartikan wadi'ah sebagai mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.

Pelaksanaan wadi'ah dikelompokkan dalam dua macam, yaitu wadi'ah yad al-amanah dan wadi'ah yad adh-dhamanah. Yang mana, wadi'ah yad al-amanah merupakan barang atau uang titipan yang hanya boleh dipelihara dan apabila terjadi kerusakan atau kehilangan menjadi tanggung jawab orang yang dititipi. Sedangkan wadi'ah yad adh-dhamanah merupakan barang atau uang titipan yang dapat dimanfaatkan dengan seizin pemiliknya.

2. Dasar hukum wadi'ah 

Wadi'ah: Hukum dan Ketentuan Menitipkan Barang dalam Islamilustrasi memukul palu (pexels.com/EKATERINA BOLOVTSOVA)

Hukum wadi'ah dalam Islam adalah mubah atau boleh. Seperti pada firman Allah SWT dalam Q.S an-Nisa' ayat 58 yaitu,

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Artinya : " Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".

Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadisnya sebagai berikut, 

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَالل َّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الل َّهِ : أَد ِّالْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَتَخُنْ
مَنْ خَانَكَ

Artinya : "Dari Abi Hurairah RA ia berkata: Rasulullah bersabda: tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan (menitipkan) kapadamu dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Hukum wadi'ah juga dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi, yang mana:

  1. Wajib apabila orang yang dititipi memiliki sikap amanah.
  2. Sunah jika orang yang dititipi merasa sanggup menjaga amanah.
  3. Haram apabila orang yang dititipi tidak mampu menjaga amanah.
  4. Dan makruh bagi orang yang masih ragu-ragu dapat menjaga amanah.

3. Ketentuan pelaksanaan wadi'ah

Wadi'ah: Hukum dan Ketentuan Menitipkan Barang dalam Islamilustrasi memberikan uang (pexels.com/Karolina Grabowska)
dm-player

Selain berpatokan pada hukum, dalam pelaksanaannya juga terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam menjalankan wadi'ah, yaitu:

1. Orang yang menitipkan (al-mu'di atau muwaddi') dan orang yang dititipi (al-mudda' atau mustauda)

Dalam rukun dan syarat pelaksanaan wadi'ah, orang yang menitipkan dan orang yang dititipi harus sudah dewasa dan berakal sehat. Kedua belah pihak juga harus dalam keadaan sadar, tidak mabuk, maupun dalam keadaan gila. Jika itu dilakukan oleh seorang anak harus melakukan akad (perjanjian) berdasarkan persetujuan walinya. Hal ini dimaksudkan agar proses penitipan barang bisa berlangsung dengan baik dan tanpa ada paksaan.

2. Barang yang dititipkan (wadi'ah)

Selain kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, barang yang dititipkan juga harus memenuhi syarat. Yaitu, barang yang dititipkan dapat berupa uang, dokumen, atau barang jelas lainnya, barang yang dititipkan dapat diserahterimakan, barang yang dititipkan memiliki nilai, dan barang yang dititipkan dapat disimpan.

3. Sighat

Sighat merupakan sebuah perkataan yang diucapkan saat pelaksanaan akad ijab kabul (perjanjian) berlangsung. Sighat harus dinyatakan dengan ucapan dan perbuatan yang dilakukan secara jelas. Menurut ulama mazhab Maliki, sighat harus disertai dengan niat.

Baca Juga: 9 Artis Mualaf yang Rajin Mengikuti Kajian dan Mendalami Agama Islam

4. Ketentuan penjagaan dan penyimpanan wadi'ah

Wadi'ah: Hukum dan Ketentuan Menitipkan Barang dalam Islamilustrasi menyimpan uang (pexels.com/Pixabay)

Mengutip buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Az-Zuhaili Wahbah, para ulama mazhab memiliki perbedaan pendapat mengenai cara penjagaan dan penyimpanan barang wadi'ah (titipan).

Ulama mazhab Hanafi dan Hambali sama-sama mengatakan bahwa orang yang dititipi hendaknya menjaga barang titipan sebagaimana ia menjaga hartanya sendiri. Ulama mazhab Hanafi juga menambahkan orang yang dititipi juga boleh menjaga barang titipan dengan bantuan orang lain, asalkan barang tersebut tetap berada ditempat awalnya.

Tak jauh berbeda dengan ulama sebelumnya, ulama mazhab Maliki memaparkan kalau barang titipan juga boleh dijaga orang lain asalkan orang tersebut merupakan tanggungan dari orang yang dititipi, seperti istri, anak, atau yang lainnya. 

Berbeda dengan tiga ulama mazhab sebelumnya, ulama mazhab syafi'i mengatakan bahwa orang yang dititipi harus menjaga sendiri barang yang dititipkan padanya. Menurutnya, orang yang menitipkan barang menginginkan penjagaan barang dari orang tersebut bukan dari orang lain. Maka dari itu, proses wadi'ah tidak boleh dibantu oleh orang lain tanpa mendapatkan izin dari orang yang menitipkan.

5. Pemberian upah dan mengganti barang wadi'ah

Wadi'ah: Hukum dan Ketentuan Menitipkan Barang dalam Islamilustrasi pemberian upah (pexels.com/Antoni Shkraba)

Para ulama juga memiliki perbedaan pendapat mengenai pemberian upah oleh orang menitipkan kepada orang yang dititipi. Menurut ulama mazhab Syafi'i, orang yang dititipkan tidak boleh mengambil keuntungan yang tidak disyaratkan di awal akad (perjanjian). Sementara, ulama mazhab Maliki dan Hambali memperbolehkan penerimaan upah asalkan besarnya upah yang diberikan harus sesuai dengan kesepakatan awal. 

Adapun dalam pengembalian barang, orang yang dititipi tidak wajib mengganti barang tersebut. Kecuali terjadi kerusakan sebab kecerobohan dari orang yang dititipi.Wadi'ah merupakan barang yang diamanatkan kepada orang lain untuk dijaga dengan sebaik-baiknya. Maka dari itu, harus dijaga selayaknya menjaga harta pribadi.

Aturan wadi'ah ini bukan untuk menyulitkan, namun memperjelas kesepakatan antara dua belah pihak agar sama-sama tidak merasakan kerugian di kemudian hari. Jangan lupa diterapkan, ya.

Baca Juga: 'Ariyah: Pengertian dan Dasar Hukum Pinjam-Meminjam dalam Agama Islam

Maisix Dela Desmita Photo Verified Writer Maisix Dela Desmita

https://lynk.id/maisixdela

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya