Melalui Dongeng, Eklin Amtor de Fretes Merajut Perdamaian di Maluku

“Indahnya ikatan persaudaraan yang saya rasakan waktu kecil, kini sudah tidak saya rasakan lagi,” ujar Eklin pada Sabtu (16/09/2023).
Begitulah seutas perasaan yang diungkapkan oleh Eklin, seorang pendongeng dari Maluku yang juga merupakan pendeta. Sebagai sosok muda penerus bangsa, pemilik nama lengkap Eklin Amtor de Fretes ini memiliki visi besar untuk menyatukan kembali saudara-saudaranya di Maluku yang terdampak konflik Maluku 1999—2002 lalu.
Konflik tersebut melahirkan segregasi wilayah antaragama. Membuat anak-anak di sana tampak asing dengan eratnya tali persaudaraan karena tinggal terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Cerita-cerita mengenai konflik dari sudut pandang masing-masing agama, membuat anak-anak memiliki pandangan yang kurang tepat mengenai masyarakat dengan agama yang berbeda.
Berangkat dari isu tersebut, Eklin berkeinginan untuk menumbuhkan kembali rasa cinta kasih dengan menyampaikan pesan damai melalui cara mendongeng. Sepak terjangnya yang luar biasa telah membuat Eklin dipercayakan hadir di berbagai acara untuk menghibur dan mengedukasi masyarakat, khususnya anak-anak dari berbagai daerah.
Beginilah sepak terjang seorang Eklin Amtor de Fretes yang berhasil meraih penghargaan Apresiasi Bidang Pendidikan dari Astra SATU Indonesia Awards 2020.
1.Eklin melahirkan Rumah Dongeng Damai sebagai aktivitas perdamaian berkelanjutan

Ide untuk mendongeng muncul setelah Eklin menyelenggarakan aktivitas perdamaian berbekal akreditasi dari pelatihan Living Values Education. Pada 2017, Eklin membuat program bertajuk Youth Interfaith Peace Camp yang bertujuan untuk menghidupkan perdamaian lintas iman. Hingga kini, pogram tersebut telah dihadiri oleh lebih dari 90 anak muda yang berasal dari berbagai agama.
Melihat sekumpulan pemuda-pemudi dari berbagai agama dan daerah berkumpul bersama dengan damai, membuat semangat Eklin untuk merajut perdamaian semakin menggebu-gebu. Ia berpikir bahwa kegiatan pendidikan menghidupkan nilai perdamaian seperti ini juga dibutuhkan oleh anak-anak kecil di Maluku. Tak lama berselang sejak program tersebut terselenggara, Eklin pun menemukan cara untuk menyampaikan pesan damai kepada anak-anak Maluku, yaitu dengan dongeng.
Pada 2019, bertempat di atas makam kakeknya yang ia sulap menjadi sebuah ruangan penuh buku dan cendera mata, Eklin pun lantas membuat program lain yang selaras dengan visinya, yakni Rumah Dongeng Damai. Ruangan dengan luas kurang lebih 12 meter tersebut menjadi tempat berkumpulnya para relawan komunitas Jalan Merawat Perdalamaian yang ia buat dan juga guru-guru paud untuk belajar dan bertukar pikiran seputar mendongeng.
2.Belajar mendongeng dari platform YouTube hingga menjadi penerbit buku dongeng

Sebelum menjadi seorang pendongeng, Eklin mengaku bukan tipikal orang yang suka bermain atau bergaul dengan anak-anak. Bahkan, ia menyatakan bahwa ia tidak bisa mendongeng sama sekali. Namun, karena tujuan besarnya untuk merajut perdamaian, Eklin mau belajar dan menyesuaikan diri dengan anak-anak.
Setelah mengumpulkan uang dari berjualan bunga hingga cokelat, Eklin kemudian berhasil membeli sebuah boneka seharga Rp1 juta yang ia namai Dodi, akronim dari Dongeng Damai. Karena ketidaktahuannya akan mendongeng, Eklin mulai belajar mendongeng dari sekumpulan video di platform YouTube. Eklin menggunakan metode dongeng ventriloquist yang merupakan seni berbicara dengan ilusi tak menggerakan bibir.
Siapa sangka, Eklin yang awalnya tidak memiliki pengetahuan mengenai dongeng, kini dikenal sebagai salah satu pendongeng inspiratif di Indonesia, khususnya bagi Maluku. Bahkan, pada 2021 lalu, Eklin telah menerbitkan buku dongeng karyanya sendiri yang berjudul Mari Belajar Mendongeng Kisah-Kisah Damai. Bukan hanya berisi kumpulan dongeng karangannya, buku tersebut juga memuat sejumlah tips dan cara mendongeng.
3.Penolakan dari kelompok masyarakat menjadi batu sandungan yang sempat Eklin hadapi

Perjalanan Eklin untuk bisa sampai di titik ini tentu tidak mudah. Ada banyak batu sandungan yang sempat menghadangnya di perjalanan dalam merajut perdamaian. Selain sempat mengalami keterbatasan dana hingga harus berjualan, seperti yang telah disebutkan di poin sebelumnya, Eklin pun sempat mendapatkan sambutan tak ramah dari masyarakat.
Sebelum lahirnya Rumah Dongeng Damai, yakni pada 1 Januari 2018, Eklin memutuskan mendongeng ke pedalaman Pulau Seram, Maluku. Di sana Eklin mendapatkan penolakan karena dianggap hendak melakukan kristenisasi. Namun, kejadian itu tak lantas membuat semangatnya surut. Hal itu Eklin buktikan dengan menyambangi berbagai daerah dari suku dan agama lain di Maluku.
4. Eklin berhasil membuat berbagai kalangan menyukai dongeng

Eklin menyadari bahwa dongeng membuat setiap pesan yang disampaikan menjadi lebih menyenangkan untuk disimak. Ia berusaha menyampaikan setiap pesan damai dengan kalimat yang lebih mudah dimengerti terutama oleh anak-anak. Biasanya, Eklin akan menyampaikan pesan damai melalui dongeng fabel. Menurutnya, penyampaian pesan melalui dongeng fabel lebih mudah diterima anak-anak.
Melihat cara Eklin yang menyenangkan, tak hanya anak-anak, orang dewasa pun perlahan mulai menerima metode dongeng untuk menerima pesan-pesan tersebut. Karenanya, metode dongeng ini tak hanya Eklin lakukan saat kegiatan Dongeng Damai berlangsung saja, melainkan juga saat ia berkhotbah.
“Saya pernah berkhotbah di satu gereja dengan metode mendongeng. Selesai berkhotbah, ada satu anak usianya sekitar 7 tahun, dia laki-laki, dia lari mendahului majelis jemaat, kemudian dia bilang, mau gendong” tuturnya.
Momen tersebut menjadi bukti nyata bahwa dongeng bisa membuat setiap pesan menjadi lebih menyenangkan untuk diterima. Dengan mendongeng juga, kita bisa membangunkan bonding dengan audience.
5.Dongeng memiliki kekuatan untuk menciptakan perdamaian di daerah perbatasan konflik sekalipun

Setelah berpindah dari satu daerah ke daerah lain, Eklin pun berkesempatan untuk mendongeng di salah satu daerah perbatasan konflik, yakni Desa Saleman dan Desa Horale. Sejak 1999, di sana sudah terjadi konflik antar agama sebanyak kurang lebih empat kali. Maka, bukan kejutan jika masyarakat antar agama tinggal secara terpisah-pisah dan tidak pernah bertemu sama sekali, tak terkecuali dengan anak-anaknya.
“Mereka bisa bersatu dengan dongeng, mereka bisa berpelukan dengan dongeng, dan mereka bisa tertawa dengan dongeng,” ujar Eklin.
Eklin mengaku sangat bahagia bisa melihat momen langka yang ia ciptakan hanya melalui dongeng. Ia juga menjadikan momen itu sebagai batu loncatan untuk terus bergerak merajut perdamaian di Maluku.
6.Lewat dongeng, Eklin membantu anak-anak sakit dari keluarga prasejahtera

Kesuksesannya menebar pesan damai dan menciptakan momen indah, membuat banyak kalangan mengundang Eklin untuk mendongeng. Bukan hanya di rumah ibadah atau balai daerah, Eklin juga mendongeng di daerah bencana atau rumah sakit untuk menghibur anak-anak di sana. Suatu ketika, saat mendongeng di rumah sakit, Eklin melihat ada banyak anak-anak yang sakit dan berasal dari keluarga prasejahtera yang tidak memiliki biaya.
“Saya mendongeng dari sekolah ke sekolah atau kampus ke kampus untuk cari biaya untuk membantu adik-adik yang sakit itu,” cerita Eklin.
7.Menghidupkan toleransi dan cinta damai menjadi mimpi besar Eklin

“Kalau ditanya mau sampai kapan mendongeng, jujur saya gak tau mau sampai kapan. Karena saya ingin terus mendongeng,” ungkap Eklin.
Rasa rindu akan kebersamaan masyarakat dalam perbedaan, masih lekat di hati Eklin. Ia menyadari bahwa segregasi wilayah sangat berdampak pada kehidupan anak-anak ke depannya. Lewat mendongeng, Eklin ingin mewujudkan mimpi besarnya menghidupkan kembali toleransi dan cinta damai, khususnya di Maluku sendiri.
“Saya ingin melihat anak-anak Maluku hidup tanpa prasangka buruk bagi saudara-saudara yang berbeda agama dan berbeda daerah sekalipun. Cerita-cerita tentang konflik itu yang menimbulkan segregasi pemikiran, masih terasa hingga kini,” pungkasnya.
Eklin mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa mewujudkan mimpi besarnya seorang diri. Ia membutuhkan banyak teman yang bisa bergerak merajut perdamaian bersama-sama sebagai perwujudan dari Indonesia yang berbeda-beda namun tetap satu jua. Semoga kisah Eklin Amtor de Fretes ini bisa menjadi bahan bakar bagi kita semua untuk mewujudkan Indonesia yang tinggi toleransi dan cinta damai.