5 Faktor yang Bisa Sebabkan Kamu Menciptakan Jati Diri Palsu, Gak Apa Adanya!

- Sering mengabaikan perasaan dan kebutuhan sendiri
- Menomorsatukan opini orang dalam hidup
- Merasa tidak diterima dan diakui oleh sekeliling
Hubungan yang autentik tidak hanya dibangun dengan orang lain, tetapi juga diri sendiri. Autentik berarti keberanian untuk bersikap terbuka, jujur, dan apa adanya pada tanpa membandingkan diri dengan orang lain. Jati diri, prinsip, dan nilai kehidupanmu berdiri teguh, tidak tergantung pada faktor eksternal seperti keadaan atau pergaulan.
Ternyata, ada penyebab yang membuatmu sulit untuk bersikap jujur. Bila diteruskan, secara tidak langsung kamu menciptakan jati diri palsu: yakni versi dirimu yang dibentuk oleh apa yang diharapkan orang lain, bukan oleh apa yang benar-benar kamu rasakan atau butuhkan. Mengetahui penyebab ini akan membantumu lebih bijak dalam mengatasinya. Yuk, simak artikelnya!
1. Sering mengabaikan perasaan dan kebutuhan sendiri

Perasaan adalah area dimana kamu bisa berhubungan dengan dirimu. Dari sana kamu tahu apa yang membuatmu merasa senang, sedih, marah, tertekan, dan masih banyak lagi. Dengan demikian, kamu bisa mengambil keputusan atau tindakan sesuai dengan apa yang kamu inginkan dan butuhkan.
Seseorang yang sering mengabaikan perasaannya lambat laun akan kehilangan koneksi dengan diri sendiri. Misal, kamu sedang merasa lelah, tapi menyanggupi permintaan rekan kerja untuk menggantikan shift-nya. Atau, kamu sedang kesal, tapi memendam-mendam karena tidak mau menciptakan konflik.
Cepat atau lambat, jati diri palsu akan muncul sebagai mekanisme bertahan hidup. Kamu hanya akan “beradaptasi”, tapi tidak pernah berekspresi.
2. Menomorsatukan opini orang dalam hidup

Kamu ingin menyenangkan semua orang, sampai rela menyangkal keinginan dan kebutuhan diri. Ini kebenarannya: seberapa keras kamu berusaha, kamu tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Hal itu hanya akan membuatmu lelah sendiri secara mental dan emosional.
Kebahagiaan dan kedamaian sejati tidak datang dari validasi orang, melainkan kejujuran terhadap diri sendiri. Bukankah menyakitkan, diterima tapi bukan sebagai dirimu apa adanya?
3. Merasa tidak diterima dan diakui oleh sekeliling

Saat seseorang ditempatkan di tengah lingkungan yang tidak suportif, mudah baginya untuk mengembangkan versi diri “palsu” sebagai respons adaptasi. Kamu jadi menjejali banyak peran demi diterima dan diakui, suka membantu sampai lupa waktu, selalu berprestasi, pribadi yang santai.
Memang kelihatannya baik dan positif, tapi bila hal itu dilakukan tanpa benar-benar paham alasannya, maka cepat-lambat kamu merasa hampa. Ini karena, kamu melakukannya bukan dengan ketulusan, melainkan demi penerimaan.
4. Hobi ikut-ikutan orang

Ada tipe orang yang tiap ambil keputusan, harus ngikut dengan orang terdekatnya. Mulai dari keputusan sederhana seperti “mau makan apa”, sampai keputusan besar seperti memilih jalur karier dan pekerjaan.
Hobi ikut-ikutan ini bisa membuatmu hilang arah. Saat disuruh atau diminta untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab untuk sesuatu, kamu malah mengekor di belakang orang. Jati dirimu yang autentik tidak akan pernah terbentuk.
5. Terbiasa hidup dalam ekspetasi orang

Entah mengikuti ekspetasi orangtua, atasan, atau sahabat terdekat, tapi itu menghambatmu berkembang sebagai diri sendiri. Semua dilakukan lagi-lagi bukan karena kamu tahu alasannya, melainkan demi memenuhi ekspetasi orang lain.
Maka tidak heran, kamu mudah untuk merasa terhilang. Kamu sering memendam emosimu demi “diterima”, alhasil sulit untuk mengenal dan mengekspresikan diri.
Bukan sebagai penghakiman, tapi mengetahui penyebab sulit mengekspresikan diri secara autentik. Mengetahui penyebabnya akan membantumu untuk menghadapi dan mencari solusi terbaik. Versi autentik diri penting agar kita pun bisa punya prinsip hidup yang teguh, tidak melulu ikut apa kata orang.