Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menghadapi Kesedihan dalam Perspektif Islam, Bagaimana Jika Hidup Stuck?

IMG_8815.jpeg
Annual event Legacy Makers by Luminihsan. (12/7/25) (IDN Times/Dina Salma)
Intinya sih...
  • Nabi Muhammad SAW mengalami masa penuh duka dan kesedihan, tetapi mampu bangkit kembali dengan kembali kepada Allah melalui salat dan pertolongan.
  • Kesedihan bukanlah sesuatu yang harus ditekan atau disangkal dalam pandangan Islam, namun dipahami dengan kasih dan empati tanpa batasan waktu untuk berduka.
  • Dalam menghadapi kehilangan seseorang, seorang muslim perlu mencari alasan hidupnya dan dapat mencari bantuan atau pertolongan untuk keluar dari fase kesedihan.

Jakarta, IDN Times - Duka adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ketika kehilangan seseorang yang dicintai atau menerima musibah yang tak terduga, wajar bagi seorang manusia merasa sedih. Rasulullah SAW pun mengalami duka yang mendalam dalam hidupnya. Bahkan Nabi Muhammad melalui tahun kesedihan atau dikenal Amul Huzn, di mana istri tercintanya Khadijah dan paman yang merawatnya sejak kecil, Abu Thalib, meninggal dunia.

Ajaran Islam tidak menyangkal bahwa setiap manusia melalui duka serta kesedihan saat ditinggalkan oleh orang terkasih. Bagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai panutan seluruh umat melalui tahun penuh duka, sejatinya dapat menjadi contoh terbaik bagi umat Muslim.

Clinical Professor of Psychiatry at the Stanford University School of Medicine, dr. Rania Awaad menjawab pertanyaan terkait fase grieving dalam pandangan Islam, "Jadi, adakah cara Islami untuk menghadapi dan menavigasi kesedihan serta duka? Ya, tentu saja. Dan bagi saya, cara Islami yang saya pahami datang langsung dari Nabi Muhammas SAW. Contoh terbaik apa lagi yang kita miliki selain beliau?"

ParagonCorp & Wardah berkolaborasi dengan Luminihsan menyelenggarakan kegiatan Legacy Maker on Women, Wellness, and The Future of the Ummah pada Sabtu (12/7/2025) silam di Sentral Senayan III, Jakarta. Dalam annual event tersebut, dr. Rania menjawab lebih dalam bagaimana ajaran Islam memandu umatnya untuk melalui masa berduka.

1. Menavigasi duka dan kesedihan dalam perspektif Islam

ilustrasi muslim merasa galau (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi muslim merasa sedih (pexels.com/Mikhail Nilov)

"Kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW mengalami masa penuh duka dan kesedihan dalam hidupnya. Tahun kesedihan, tahun penuh duka. Melalui kisah beliau, kita memahami beberapa hal. Pertama, bahwa beliau adalah sebaik-baiknya manusia, ciptaan terbaik Allah, tetapi tetap manusia. Allah tidak menciptakan beliau sebagai malaikat, Allah menciptakan beliau sebagai manusia. Maka beliau juga memiliki emosi seperti kita. Ketika Sayyidah Khadijah wafat, beliau berduka. Ketika pamannya, Abu Thalib, meninggal, beliau juga berduka. Ketika penduduk Tha’if mempermalukan beliau dan melemparinya dengan batu, beliau merasa terhina, beliau berduka. Ketika kaum Muslimin dibunuh dan dianiaya, beliau juga merasakan kesedihan," ujar Rania.

Masa duka adalah pengalaman emosional yang muncul saat seseorang harus menghadapi kehilangan, misalnya kepergian seseorang, maupun ketika sesuatu merenggut rasa aman atau identitasnya. Kisah Nabi Muhammad yang disampaikan Rania, menyadarkan umat Muslim bahwa Islam memvalidasi fase kesedihan sebagai bagian dari pengalaman hidup manusia.

"Kita pahami bahwa Nabi Muhammad SAW berduka, namun, beliau juga mampu bangkit. Kita tidak bisa terus-menerus berada dalam kesedihan. Tapi, bentuk duka setiap orang bisa berbeda-beda. Islam tidak menghakimi berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk berduka. Ada yang mengatakan tiga hari saja, ada yang bilang seminggu, sebulan. Lalu mereka marah jika lebih dari itu," ujar Rania

Artinya, berduka adalah tindakan yang manusiawi. Akan tetapi, Rania sebagai seorang Egyptian-American Islamic scholar, memberi insight bahwa cara seorang muslim untuk bertahan di tengah badai kesedihan adalah kembali pada Allah. Salah satunya melalui salat dan mendapat pertolongan.

"Nabi Muhammad SAW mengalami duka selama satu tahun penuh. Itu adalah masa yang sangat panjang bagi beliau. Para sahabat bahkan sampai khawatir terhadap kondisi beliau. Mereka berkata, haruskah kita turun tangan dan melakukan sesuatu? Karena mereka khawatir terhadap Nabi Muhammad SAW. Lalu Allah SWT yang turun tangan. Allah memberi beliau peristiwa Isra’ Mi’raj. Allah memberinya perintah salat. Dalam kunjungan itu, semuanya berubah bagi beliau. Cara untuk bertahan adalah dengan kembali kepada Allah lewat salat dan juga mencari pertolongan serta dukungan," kata Rania.

2. Mengelola kesedihan menurut ajaran Islam, kesedihan bak ombak di lautan

ilustrasi seseorang muslim sedang berpuasa (freepik.com/rawpixel.com)
ilustrasi seseorang muslim sedang beribadah (freepik.com/rawpixel.com)

Duka menjadi bagian dari perjalanan hidup, hadir dalam berbagai bentuk dan waktu. Dalam pandangan Islam, kesedihan bukanlah sesuatu yang harus ditekan atau disangkal, melainkan dipahami dengan kasih dan empati.

"Jadi, sudut pandang Islam dalam menghadapi duka dan kesedihan adalah kita tidak menghakimi, kita tidak mempermalukan, kita tidak membatasi. Di sinilah kita memahami batasan dalam Islam. Kita tidak menghakimi, kita tidak mempermalukan, kita tidak membuat batasan yang sempit. Tapi, tetap ada batas," ujar Rania.

Penulis buku Maristans and Islamic Psychology: A Historical Model for Modern Implementation tersebut, menggarisbawahi ajaran Islam yang melarang umatnya untuk menghakimi atau mempermalukan seseorang yang tengah mengalami masa berduka. Setiap orang punya masa berkabung yang berbeda, pengalaman emosional yang tak serupa, sehingga tak diperbolehkan untuk saling mengkritik cara seseorang coping with loss.

"Apa batasnya? Nabi Muhammad SAW bersabda, 'Mata boleh menangis, hati boleh bersedih, tapi lisan kami tidak akan mengucapkan kecuali yang diridhai Allah'. Artinya, kita tidak boleh berkata, 'Ya Allah, kenapa Engkau memberiku ini?' atau, 'Kenapa bukan dia saja?' atau 'Kenapa aku tidak bisa bersamanya?'. Ini adalah takdir dari Allah, ini adalah qadar dari Allah. (Katakan) 'Aku menerimanya, meskipun aku merasa sakit. Tapi aku tahu, ketika Allah memberiku rasa sakit, Allah juga akan memberiku kemudahan bersamanya'. Inilah cara pandang Islam dalam memahami duka, cara bertahan, dan juga batasan sejauh mana kita boleh mengekspresikannya," tambah Rania.

Rania juga menambahkan bahwa tak ada batasan waktu bagi seseorang untuk memproses duka. Setiap manusia boleh mengambil waktu sebanyak apa pun yang ia butuhkan, selama ia menerima ketetapan tersebut dan yakin bahwa kehilangan seseorang telah menjadi takdir yang Allah kehendaki.

"Tidak ada batasan berapa lama seseorang boleh berduka. Kesedihan datang dalam gelombang, seperti ombak di lautan. Ada hari-hari di mana kamu merasa baik-baik saja, lalu tiba-tiba ada sesuatu yang mengingatkanmu pada orang yang kamu cintai, yang telah pergi. Kamu melihat sesuatu, mengingat sesuatu, atau bertemu teman mereka dan seketika gelombang duka itu datang kembali. Kamu merasakannya lagi dan itu wajar. Itulah cara kesedihan bekerja. Maka semua yang telah dibicarakan sebelumnya tentang berduka tetap relevan, kita tidak menghakimi, tidak mempermalukan, dan tidak membatasi. Satu-satunya batasan yang ada adalah kita tidak menolak takdir Allah. Kita menerima bahwa ini adalah qadar yang Allah berikan kepada kita, dan percaya bahwa pasti ada hikmah dan kebijaksanaan di balik semua itu," tambahnya.

3. Bagaimana jika hidup jadi stuck saat menghadapi kehilangan seseorang?

ilustrasi sedih ramadan akan usai (pexels.com/Thirdman)
ilustrasi sedih (pexels.com/Thirdman)

Sebagai seorang muslim, perlu dipahami bahwa duka menjadi ketetapan dari Allah yang harus diterima. Meski begitu, menerima takdir bukan berarti membiarkan diri larut tanpa arah atau stuck. Banyak orang kehilangan arah saat melewati masa duka. Bagaimana Islam melihat hal ini?

Rania menjelaskan, "Allah memerintahkan kita selama kita masih diberi kehidupan, itu berarti masih ada sesuatu yang Allah ingin kita lakukan di dunia ini. Jika Allah belum mengambil kita, berarti Allah masih ingin kita ada untuk suatu tujuan. Lalu apa tujuan itu? Kita harus menemukan alasan kita. Beberapa orang menyalurkan duka mereka dalam khidmah. Mereka aktif di komunitas, bekerja dan membantu orang lain. Melalui pekerjaan itu, mereka memproses kesedihan. Ada juga yang menyalurkan duka dengan cara yang lebih internal, menulis jurnal, menyendiri untuk beberapa waktu, dan mengolah perasaan dari dalam. Kemudian mereka kembali keluar dengan kondisi yang lebih kuat. Masing-masing orang perlu menemukan cara yang paling sesuai bagi dirinya,"

Rania dalam pemaparannya juga menyampaikan sebuah hadis, “Semua penyakit ada obatnya. Jika sesuai antara penyakit dan obatnya, maka akan sembuh dengan izin Allah,” (HR Muslim 2204). Oleh karenanya, ketika seseorang tenggelam dalam duka, Rania menyarankan untuk mencari bantuan atau pertolongan. Sebab, Nabi Muhammad yang sempurna juga mendapat pertolongan. Salah satunya dalam bentuk support system.

Rania menjelaskan bagaimana jika seseorang merasa stuck setelah kehilangan seseorang dalam hidupnya, "Ketika orang berkata pada saya, 'I am stuck. It's been three years, I have been stuck. Saya paham akan hikmah Allah, mengerti pentingnya sabar, tahu semua aturannya, tapi tetap merasa stuck'. Kepada mereka, saya katakan, 'Untuk bisa keluar dari situasi itu, kita perlu bantuan. Ini penting.' Kita tidak bisa membiarkan diri terus terjebak dalam satu fase. Itulah sebabnya ada orang-orang yang diberi kemampuan untuk menyembuhkan, membimbing, dan mendampingi. Bantuan bisa datang dari bimbingan spiritual, mungkin dari ustaz atau dari konselor, atau keduanya. Terapis bisa membantu keluar dari kebuntuan rutinitas hidup sehari-hari. Kadang, kita kehilangan pola hidup karena terlalu lama tenggelam dalam duka. Konselor dan terapis dapat membantu memulihkannya."

Kembali mengambil contoh dari Nabi Muhammad, Rania menjelaskan, "Bahkan Nabi Muhammad SAW pun mendapat bantuan, para sahabat datang menolong beliau. Allah pun menolong beliau dengan perintah salat. Beliau menyalurkan seluruh beban dan dukanya ke dalam dakwah, kepada umat. Dari situlah beliau membangun kembali dirinya dan melanjutkan misinya."

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriyanti Revitasari
EditorFebriyanti Revitasari
Follow Us