Tanpa Pamrih, Gede Andika Wujudkan Pendidikan Berbasis Lingkungan

Dia mengajarkan bahasa Inggris sekaligus nilai lingkungan 

Pandemik COVID-19 memiliki dampak yang berbeda di setiap lapisan masyarakat. Sistem pendidikan luring yang sudah biasa dilakukan pun, terpaksa harus beralih menuju daring. Namun sayangnya akses internet dan gawai tidak semuanya dimiliki oleh siswa maupun orangtuanya. Sistem belajar mengajar pun terasa sulit dilakukan karena belum terbiasa.

Begitupun di desa Pemuteran, Buleleng, Bali. Sekolah luring belum bisa dijalankan, di sisi lain sektor wisatanya tumbang karena pandemik. Lantas, apa yang bisa dilakukan warganya untuk terus bertahan hidup?

1. Diawali saat Gede Andika memutuskan pulang ke kampung halaman

Tanpa Pamrih, Gede Andika Wujudkan Pendidikan Berbasis Lingkunganpenggerak Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan dari Desa Pemuteran, Gede Andika (andikawirateja.com)

Gede Andika, seorang warga desa Pemuteran yang menempuh pendidikan di luar negeri, memutuskan pulang ke Bali yang tidak lama kemudian pandemik COVID-19 menyerang Indonesia. Andika memutuskan untuk pulang kampung ke desa Pemuteran di Buleleng dan mendapati fakta bahwa sektor pariwisata di desanya mati sedangkan para siswa yang seharusnya bersekolah, terpaksa bersusah payah mengikuti pembelajaran daring. Situasi tersebut tidak mudah, tidak semua orangtua siswa mempunyai gawai dan kuota untuk mengakses sekolah daring.

Berangkat dari sana, Andika menggagas Kredibali, Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan. Dia mengajarkan bahasa Inggris sekaligus nilai tentang lingkungan, yaitu pengelolaan sampah.

2. Mengapa bahasa Inggris?

Tanpa Pamrih, Gede Andika Wujudkan Pendidikan Berbasis LingkunganGede Andika saat mengajar door to door di Desa Sengkidu. (andikawirateja.com)

Andika menyadari bahwa penduduk desanya nyaris tidak bisa berbahasa Inggris, sungguh ironi di saat Pemuteran unggul di sektor wisata dengan turis mancanegara yang tidak sedikit. Berangkat dari sana, Andika memilih untuk membantu mengajarkan bahasa Inggris untuk anak-anak di desanya.

Keadaan saat itu, tidak semua siswa di sana mampu mengikuti pendidikan secara daring karena kendala gawai dan kuota. Mereka berkumpul di rumah teman yang memiliki akses tersebut.

Sementara, segi ekonomi tentu sangat berdampak. Banyak penduduk Pemuteran yang kehilangan pendapatan. Membuat Andika berpikir bagaimana calon siswa untuk "membayar" keikutsertaannya di Kredibali?

3. Literasi berbasis lingkungan menjadi jalan keluar

Tanpa Pamrih, Gede Andika Wujudkan Pendidikan Berbasis LingkunganGede Andika saat mengajar door to door di Desa Sengkidu. (andikawirateja.com)
dm-player

Permasalahan ekonomi yang dihadapi penduduk Pemuteran membuat Andika mengganti nilai tukar dengan sampah plastik. Sekali dayung dua pulau terlampaui, Andika memberikan solusi atas menumpuknya sampah plastik di lingkungan. Dengan menggantikan sampah plastik sebagai harga yang harus dibayar para siswa untuk ikut kelasnya, ia turut memberikan edukasi pemilahan sampah dimulai dari rumah.

Dari anak-anak tersebut, para orangtua siswa memberikan respons positif. Anak-anak di rumah yang telah teredukasi mulai memberikan pengaruh baik di lingkungan keluarga terkait pemilahan sampah. Orangtua yang awam, kini jadi teredukasi.

Baca Juga: Asa Tumpas Stigma: Perjuangan Elmi untuk Sahabat Difabel NTT

4. Menerapkan displin sejak di dalam kelas

Tanpa Pamrih, Gede Andika Wujudkan Pendidikan Berbasis Lingkungansituasi sekolah yang digagas oleh Gede Andika (andikawirateja.com)

Menjadikan sampah plastik sebagai alat tukar, membuat Andika harus konsisten dalam menerapkan gaya hidup minim plastik di lingkungan. Dalam kelasnya, ia meminta anak-anak sebisa mungkin membawa botol minum sendiri yang bisa digunakan kembali. Kebiasaan baik telah terbentuk sejak dini yang kemudian ditularkan kepada keluarga siswa di rumah.

Nilai-nilai kedisiplinan ditanamkan dalam Kredibali melalui ketepatan waktu. Para siswa diajarkan untuk tepat waktu menghadiri kelas, tanpa kecuali. Jika jarak tempuh rumah dan kelas jauh, Andika menyampaikan bahwa yang perlu dilakukan adalah berangkat lebih awal. Dari sana nilai kedisiplinan dan kepedulian lingkungan oleh para siswa terbentuk. Dua poin penting yang ditanamkan dan dilakukan dengan baik.

5. Solusi dari permasalahan yang ada

Tanpa Pamrih, Gede Andika Wujudkan Pendidikan Berbasis LingkunganTidak hanya pendidikan, Gede Andika memikirkan tentang mengelola sampah plastik di desanya. (andikawirateja.com)

Gagasan yang sekarang menjadi sebuah kelas yang masih berlangsung adalah wujud dari kontribusi berarti bisa dimulai dari sesuatu yang paling dekat. Andika mengamati, merasakan, dan menawarkan solusi yang sangat disambut baik oleh masyarakat Pemuteran. Berangkat dari permasalahan yang cukup mengusiknya lantas tidak membuat Andika diam. Dia memilih melangkah melakukan perubahan dimuali dari apa yang dia mampu.

Setelah lebih jauh melangkah, Andika mendapatkan dukungan atas apa yang telah dilakukannya. Masyarakat sangat mengapresiasi gagasan dan sekolah yang dibuat oleh Andika. Ia berhasil menemukan masalah, menganalisis, dan mencari solusi yang tepat. Semoga apa yang telah dilakukan Andika akan terus ada dan berinovasi, dengan atau tanpa sang penggagas. Gede Andika telah memaparkan kisah inspiratifnya dalam acara Indonesia Writers Festival 2021 yang telah digelar pada bulan Oktober lalu.

Mulai peka terhadap lingkunganmu dan amati apa yang bisa kamu lakukan untuk perubahan positif. Tidak perlu muluk-muluk mengubah dunia, mulailah dengan langkah kecil namun terus melaju. Atas gagasannya, Gede Andika menjadi satu sosok inspiratif penerima penghargaan dari Astra Indonesia, SATU Indonesia Awards 2021.

Baca Juga: Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual Anak

Pusat Tanaman Hias Photo Verified Writer Pusat Tanaman Hias

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya