5 Cara Bijak Menghadapi Overexposure Konten Mental Health

- Kesehatan mental bukan lagi hal tabu di era media sosial
- Konten kesehatan mental perlu disaring dengan bijak untuk menghindari respons emosional berat
- Pentingnya memeriksa keaslian pembuat konten dan menghindari perbandingan yang memicu kompetisi diam-diam
Di era media sosial seperti sekarang, membicarakan kesehatan mental bukan lagi hal tabu—dan itu sebuah kemajuan. Namun, ada satu sisi lain yang perlu diperhatikan; banjirnya konten mental health yang terus menerus muncul di linimasa. Tanpa disadari, kamu bisa terjebak dalam overexposure konten mental health atau pola konsumsi konten yang berlebihan. Awalnya berniat mencari pemahaman atau dukungan, tapi malah jadi merasa lebih cemas, bingung atau malah overthinking. Apalagi kalau kamu sedang tidak dalam kondisi stabil, konten-konten ini bisa seperti pisau bermata dua.
Tidak semua konten kesehatan mental di media sosial dipandu oleh tenaga profesional atau berdasarkan pendekatan yang tepat. Kadang, niat baik bisa jadi bumerang kalau disampaikan tanpa konteks yang sesuai. Itulah kenapa kamu perlu lebih bijak dalam menyaring informasi. Kamu perlu tahu kapan harus membuka diri, dan kapan harus memberi jarak. Karena menjaga kesehatan mental bukan hanya tentang mencari tahu "apa yang salah", tapi juga bagaimana merawat diri dengan sadar dan penuh pertimbangan.
1. Pahami batas konsumsi emosi digital

Setiap hari kamu menyerap banyak informasi, dan tidak semuanya netral. Konten mental health, walau bermaksud membantu, bisa memicu respons emosional yang berat. Apalagi jika disajikan dengan nada dramatis, testimoni ekstrem, atau penuh istilah psikologi yang belum tentu relevan dengan kondisi kamu. Kalau dibiarkan terus-menerus, ini bisa membentuk bias berpikir—seolah semua orang punya trauma, semua orang mengalami gangguan, dan kamu harus punya diagnosis juga. Padahal kenyataannya, setiap orang punya spektrum pengalaman yang sangat luas.
Coba perhatikan sinyal tubuh dan pikiranmu. Kalau setelah scrolling kamu merasa lebih lelah, cemas, atau bingung, itu tanda kamu sudah kelebihan muatan emosi. Saatnya berhenti sebentar. Sama seperti tubuh butuh istirahat dari aktivitas fisik, pikiranmu juga perlu ruang untuk tenang. Membatasi waktu layar atau memilih waktu khusus untuk konsumsi konten bisa jadi langkah awal yang sangat berarti.
2. Pilih sumber yang kredibel dan profesional

Tidak semua akun yang bicara soal mental health adalah ahli. Banyak konten dibuat oleh individu yang memang punya pengalaman pribadi, tapi itu tidak otomatis menjadikannya valid untuk semua orang. Setiap kondisi mental punya karakteristik dan penanganan yang berbeda. Jadi, saat kamu merasa butuh referensi atau penjelasan soal kondisi psikologis, pastikan kamu membaca atau mendengar dari sumber yang punya latar belakang keilmuan.
Cara paling sederhana adalah cek siapa pembuat kontennya. Apakah dia psikolog, psikiater, atau konselor bersertifikat? Apakah ada referensi ilmiah dalam penjelasannya? Konten yang baik tidak membuat kamu merasa “semua harus aku alami juga”, tapi justru membuka wawasan dengan cara yang berimbang. Jangan ragu untuk unfollow jika kamu merasa suatu akun malah membuat kamu makin tertekan. Kamu berhak mengatur ruang digitalmu.
3. Kenali perbedaan antara empati dan perbandingan

Ada garis halus antara merasa terhubung dan merasa tertinggal. Konten mental health kadang memicumu membandingkan pengalaman pribadi dengan orang lain. “Kok dia bisa sembuh cepat?”, “Kenapa aku gak seperti itu?”. Tanpa sadar, empati berubah jadi kompetisi diam-diam. Ini sangat umum, terutama di kalangan generasi muda yang hidupnya nyaris selalu terkoneksi dengan narasi orang lain.
Untuk menghindari jebakan ini, kamu perlu menegaskan ke dirimu sendiri bahwa setiap orang punya jalur pemulihan yang berbeda. Empati yang sehat adalah ketika kamu bisa merasa ikut peduli tanpa membebani dirimu. Perbandingan hanya akan menguras energi. Fokuslah pada prosesmu sendiri, bukan kecepatan orang lain. Jadikan kisah orang lain sebagai inspirasi, bukan sebagai standar keberhasilan yang harus kamu capai.
4. Latih self-check secara rutin

Sebelum membuka media sosial atau membaca konten soal kesehatan mental, coba tanyakan ke diri sendiri: “Apa yang aku cari hari ini? Edukasi? Validasi? Pelarian?” Dengan mengenali motivasi di balik kebiasaan online, kamu bisa lebih sadar apakah kamu sedang butuh informasi atau sekadar terdistraksi dari hal lain. Self-check ini membantu kamu memegang kendali, bukan jadi korban dari algoritma yang terus menggiring ke konten serupa.
Kamu juga bisa membuat jurnal kecil tentang bagaimana perasaanmu setelah mengonsumsi konten tertentu. Apakah ada yang memicu rasa tenang, atau justru bikin overthinking? Dengan begitu, kamu bisa mengidentifikasi pola yang baik untuk dirimu sendiri. Ini bukan soal jadi anti-media sosial, tapi tentang punya relasi yang lebih sehat dengan apa yang kamu konsumsi.
5. Jangan ragu cari bantuan yang nyata

Meskipun konten di internet bisa jadi pintu awal untuk mengenal isu mental health, tetap ada batas yang tidak bisa ditembus oleh layar. Ketika kamu merasa gejala semakin intens, atau kamu merasa “tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu”, saatnya bicara dengan orang yang tepat. Tidak ada yang salah dengan mencari bantuan profesional. Justru itu bentuk keberanian, bukan kelemahan.
Terapi, konseling, atau sekadar bicara dengan seseorang yang kamu percaya bisa memberi perspektif yang lebih jernih. Ingat, konten bisa memberikan informasi, tapi bukan diagnosis. Dan bantuan nyata bukan tentang dramatisasi, tapi tentang proses yang pelan, penuh empati, dan tepat sasaran. Kamu layak mendapatkan itu.
Hidup di era serba digital memang menuntut seseorang untuk lebih peka dan selektif. Konten mental health bisa menjadi alat bantu yang berharga, tapi juga bisa membingungkan jika dikonsumsi tanpa batas. Bijak dalam menyaring informasi bukan berarti menutup diri, tapi justru tanda kamu tahu apa yang dibutuhkan. Jangan sampai kamu terkena dampak overexposure konten mental health karena kamulah pengendali dari apa yang boleh masuk dalam pikiran dan emosimu. Karena pada akhirnya, kamu adalah penjaga paling pertama dan paling penting atas kesehatan mentalmu sendiri.