Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Tim Douglas)

Mungkin kamu pernah berada di titik rendah dalam hidup dan merasa seperti musuh terbesarmu adalah diri sendiri. Perasaan seperti itu tidak jarang dialami, apalagi di usia dewasa muda ketika ekspektasi sosial, tekanan prestasi, dan ketidakpastian masa depan sering datang bertubi-tubi.

Self-loathing atau kebencian terhadap diri sendiri memang terasa seperti jurang tanpa dasar—diam-diam menggerogoti harga diri, membuat kita mempertanyakan nilai diri sendiri, dan bahkan bisa menutup mata dari potensi yang sebenarnya ada. Tapi, apa jadinya kalau ternyata rasa sakit itu membawa pembelajaran yang gak kamu sadari sebelumnya?

Setelah melewati fase itu dan mulai berdamai, perlahan muncul kesadaran-kesadaran baru yang sebelumnya tertutup oleh kabut pikiran negatif. Justru dari sana, kamu bisa mempelajari banyak hal yang bersifat reflektif dan transformatif.

Menyembuhkan diri memang bukan proses instan, tapi ketika kamu berhasil melangkah lebih jauh dari sekadar “mengatasi”, kamu akan melihat bahwa ada sisi baik dari luka batin itu. Berikut lima pelajaran hidup penting yang baru benar-benar terasa setelah kamu berani berdamai dengan self-loathing.

1. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Monstera Production)

Selama terjebak dalam pikiran buruk tentang diri sendiri, kita sering lupa bahwa setiap hari kita sebenarnya sedang bertahan. Ketika kamu mulai pulih dan melihat ke belakang, kamu akan sadar betapa kuatnya kamu bisa melewati hari-hari yang dulu rasanya mustahil untuk dijalani.

Proses menyembuhkan luka batin bukan cuma tentang “move on”, tapi juga tentang mengakui daya tahan yang kamu miliki secara mental dan emosional. Kamu yang dulu meragukan diri sendiri kini jadi bukti hidup bahwa bertahan adalah bentuk keberanian paling sunyi.

Ini bukan tentang glorifikasi penderitaan, tapi pengakuan terhadap kapasitas manusia untuk bangkit meski dalam kondisi terburuk. Ketika kamu sadar kamu bisa survive dari fase itu, kamu mulai membangun rasa percaya pada diri sendiri dengan fondasi yang lebih kuat: bukan karena pujian orang lain, tapi karena kamu sendiri tahu kamu mampu. Itu jauh lebih otentik dan tahan lama.

2. Rasa tidak cukup bisa menjadi titik awal pencarian makna

Editorial Team