"Hasilnya, kelompok yang menggunakan LLM dinilai lebih tidak baik performanya. Kelompok yang hanya menggunakan LLM menunjukkan hasil yang lebih rendah," ujar Stella, menegaskan bahwa penggunaan ChatGPT di ranah akademik memiliki tidak menunjukkan hasil yang baik untuk kemampuan berpikir mahasiswa.
"Anak-anak, sudah pasti, akan tergantikan oleh AI jika mereka hanya seperti AI, bahkan dengan kemampuan yang lebih buruk. Jadi satu-satunya kunci agar anda, atau anak anda, tidak tergantikan oleh AI adalah memiliki kemampuan yang berbeda dari kecerdasan buatan," lanjutnya.
Stella Christie: Ini Kesalahan Orangtua di Era AI yang Hambat Cara Berpikir Anak

Anak-anak punya banyak pertanyaan. Seringkali, bikin orang dewasa kewalahan untuk menanggapinya. Satu pertanyaan di jawab, akan muncul pertanyaan baru. Kalau pertanyaannya tidak dijawab, dia bisa merengek atau menunjukkan emosi tertentu.
Tentunya, kebiasaan ini bertolak belakang dengan fitur kecerdasan buatan, sebutlah ChatGPT atau Gemini, bukannya balik bertanya, AI malah memberi banyak penjelasan, membantu orang dewasa. Dan, kabar baiknya, tak punya emosi. Lalu, maukah orangtua 'mengganti' otak anak-anak mereka dengan ChatGPT?
Pertanyaan itu diajukan oleh Prof Stella Christie dalam pemaparannya pada International Symposium on Early Childhood Education and Development (ECED) 2025 oleh Tanoto Foundation Rabu (17/12/25) lalu. Stella mengajukan pertanyaan tersebut untuk memaparkan bagaimana kecerdasan manusia, lebih unggul dibandingkan sebuah fitur kecerdasan buatan. Otak anak begitu spesial, hingga kemampuannya tak mungkin diungguli oleh AI, namun, bagaimana caranya mengembangkan kemampuan tersebut?
1. Siapa yang lebih cerdas, manusia atau ChatGPT?

Jika kita mengajukan pertanyaan, apa saja, ChatGPT dapat menjawabnya (meskipun kebenarannya mungkin masih perlu diuji). Sebagian pelajar bahkan memanfaatkan program kecerdasan buatan ini untuk membantu menyelesaikan tugas mereka.
Stella memaparkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh MIT kepada mahasiswa Harvard, Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Wellesley College. Para pelajar dibiarkan untuk menggunakan LLM atau program kecerdasan buatan dalam aktivotas akademik mereka.
Para peneliti tersebut mengambil sekelompok mahasiswa universitas dan membaginya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok LLM, kelompok ini diperbolehkan menggunakan LLM sebebas-bebasnya, baik itu DeepSeek, ChatGPT, dan sejenisnya.
Kelompok lainnya tidak diperbolehkan menggunakan LLM. Mereka hanya bisa menggunakan kemampuan mereka sendiri dalam menyelesaikan tugas kuliah.
Selama empat bulan, pengguna LLM secara konsisten menunjukkan performa yang lebih rendah pada level neurolinguistik dan perilaku. Hasil ini menimbulkan kekhawatiran terkait implikasi pendidikan jangka panjang dari ketergantungan pada LLM dan menegaskan perlunya kajian yang lebih mendalam mengenai peran AI dalam proses belajar.
Jadi, selama 4 bulan, ketika murid dari Harvard, MIT, dan Wellesley, mahasiswa-mahasiswa paling cerdas di Amerika Serikat dan dari seluruh dunia, diberikan pilihan hanya menggunakan LLM, kemudian dibandingkan dengan kelompok yang tidak boleh memakai LLM dan hanya menggunakan otaknya sendiri, hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang selama 4 bulan menggunakan LLM, memiliki kualitas tulisan esai yang lebih buruk. Pengukuran dilakukan baik dari sisi kualitas esai maupun fungsi otaknya, papar Stella.
Untuk memperjelas, saya berpikir bahwa bagi kita yang berusia 30 tahun ke atas, kita sebaiknya mempelajari AI. Karena kita perlu memahami teknologi tersebut agar kita tidak tergantikan oleh teknologi itu dalam pekerjaan kita saat ini. Namun bagi anak-anak, saya tidak berpikir demikian. Karena jika orangtua mengajarkan anak-anak untuk menjadi seperti AI, mereka tidak akan pernah bisa lebih baik dari AI. Dan karena itu, mereka akan tergantikan.
2. Menurut penelitian, perkembangan otak anak usia dini tidak terikat oleh usia, lebih besar pengaruh lingkungan

Perkembangan anak usia dini kerap dianggap bergantung pada usia. Stella menegaskan bahwa kemampuan anak, meski memiliki pengaruh dengan usia, namun lebih signifikan dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia tumbuh.
"Kebanyakan dari kita apabila berpikir tentang early childhood, berpikir bahwa oke, pada usia tiga tahun anak bisa melakukan ini, lalu ketika mereka berusia empat tahun mereka bisa melakukan ini, dan ketika mereka berusia lima tahun mereka bisa melakukan ini. Namun, itu bukanlah yang kita temukan dalam sains. Sebagian besar waktu, kemampuan seseorang tidak hanya bergantung pada usia, tetapi juga bergantung pada apa yang diberikan oleh lingkungan, serta apa yang dibicarakan oleh guru dan orang tua mereka," jelasnya.
Stella memberi contoh, anak-anak diberikan dua perbandingan bentuk kemudian ditanya soal persamaan bangun datar yang disuguhkan pada anak. Beberapa anak mungkin bisa menyebutkan persamaan antar bentuk, namun sebagian mungkin tak bisa menjawab secara sempurna.
Stella menyebut, meski anak-anak tidak bisa menjawab secara verbal atau menjelaskan perbandingannya, mereka tetap bisa melakukan tugas tersebut dengan benar. Mereka mampu melihat bahwa terdapat kesamaan dalam sebuah pola.
Tugas semacam ini berkorelasi dengan kemampuan berpikir seseorang ketika dewasa. Stella mengambil contoh bagaimana penemuan seorang fisikawan Niels Bohr, dapat menemukan model atom, "Hampir setiap penemuan ilmiah di dunia terjadi karena para ilmuwan memahami kesamaan struktur (similarity of the structure). Niels Bohr yang menemukan struktur atom, pada masanya berpikir bahwa struktur atom belum diketahui, sementara struktur tata surya sudah dikenal."
"Jadi, hal-hal yang tampak sederhana, ketika anak-anak mampu melihat strukturnya, lalu menggunakan pemahaman tersebut untuk berbagai hal. Siapa tahu mereka bisa menjadi ilmuwan? Kemampuan untuk melihat kesamaan struktur ini disebut kemampuan analogi (analogical abilities). Secara lebih sederhana, kemampuan melihat struktur dan pola inilah yang membuat seseorang mampu berpikir," ujarnya.
3. Manusia memiliki kemampuan untuk belajar dan menggeneralisasi, inilah keterampilan yang tak dimliki AI

"Keunggulan manusia adalah kemampuannya untuk belajar dengan sangat efisien dan menggeneralisasikan apa yang telah dipelajari," kata Stella.
Kemampuan menggeneralisasi artinya seorang anak mampu memiliki penalaran untuk menarik kesimpulan umum untuk diterapkan pada kasus yang lebih spesifik. Stella memberi contoh, ketika anak belajar mengucapkan terima kasih saat diberi sesuatu oleh ibunya, dalam situasi lain, ketika diberi sesuatu oleh orang lain, ia juga akan mengucapkan terima kasih.
"Karena saat ini, dalam konteks kecerdasan buatan, berdasarkan penelitian kami, kami mengetahui bahwa bayi dan anak kecil masih lebih cerdas dibandingkan AI," ujar Stella, menegaskan bahwa kemampuan inilah yang menjadi keunggulan bagi seorang anak dibandingkan dengan program kecerdasan buatan.
4. Menurut riset, komunikasi anak dan orangtua jauh lebih efektif untuk meningkatkan kecerdasan daripada menonton video edukasi

Sudah bukan rahasia lagi, orangtua sering memanfaatkan video sebagai media pembelajaran bagi anak. Video edukatif maupun hiburan kerap disuguhkan dengan harapan, dapat meningkatkan kecerdasan atau kemampuan si kecil, terlebih ketika makan.
Stella menyoroti kebiasaan ini dengan memaparkan sebuah hasil riset. Penelitian tersebut membandingkan kemampuan anak yang belajar menggunakan sebuah video edukasi, anak-anak yang belajar dengan video edukasi didampingi orangtua, serta anak yang hanya belajar dengan orangtua tanpa video edukasi. Mana yang terbukti menunjukkan hasil terbaik?
Ia menyebut, hasil terbaik adalah anak yang belajar dengan orangtua tanpa bantuan video. Hasilnya signifikan.
"Ketika hanya orang tua yang terlibat, orangtua akan mengajukan pertanyaan dan merespons anak secara langsung. Mungkin anak sedang melakukan sesuatu, mungkin anak terlihat bingung, mungkin anak tidak fokus. Orangtua bisa langsung merespons kondisi tersebut. Interaksi sosial dan keterlibatan sosial inilah yang membuat proses belajar menjadi paling optimal,"
Jadi, jika orang tua masih membiasakan anak dengan video dan merasa bersalah, hal itu wajar. Karena sebuha riset telah membuktikan bahwa interaksi dengan orangtua menjadi cara belajar terbaik dengan anak, bahkan dibandingkan dengan video edukasi.
"Keterlibatan sosial (social engagement) sangat krusial dalam proses belajar. Bukan berarti video itu sendiri atau menonton video itu buruk. Namun, pada saat yang sama, anak sebenarnya bisa belajar jauh lebih banyak dengan melakukan hal lain. Apa itu? Dengan berbicara dengan anda (orangtua atau caregiver)," tegas Stella.
5. Lalu, bagaimana cara orang tua menjawab begitu banyak pertanyaan dari anak agar menumbuhkan sikap kritis?

Di era AI, orang sering mengatakan bahwa kita perlu mampu membuat pertanyaan yang baik. Kemampuan mengajukan pertanyaan yang baik adalah sebuah keterampilan. Namun, bagaimana menumbuhkan kemampuan berpikir kritis agar seorang anak terdorong untuk bertanya lebih banyak?
"Anak usia dua tahun sebenarnya mampu mengajukan banyak pertanyaan cerdas. Namun, apakah kemampuan itu akan terus terjaga atau tidak, sangat bergantung pada orang-orang di sekitarnya. Apakah orangtua menjawab dengan cara yang mendorong anak untuk bertanya lebih banyak, atau justru membuat mereka berhenti bertanya?" ujar Stella.
Stella memberi contoh, ketika anak bertanya, "Kenapa saya harus makan?", maka orangtua bisa menjawab, “Makan itu seperti mobil. Mobil butuh bensin. Aku perlu makan supaya bisa bergerak seperti mobil." Menjawab dengan membuat perbandingan menunjukkan kesamaan berdasarkan struktur. Strukturnya tampak sangat sederhana, tetapi ketika anak bisa melihat struktur tersebut, mereka mungkin akan bertanya lebih banyak dan mencoba melihat struktur-struktur lainnya.
Berbeda jika orangtua hanya menjawab," “supaya tinggi,” anak-anak cenderung tidak akan bertanya lagi. Padahal, mungkin mereka bisa menjadi seorang ilmuwan, penemu, bahkan inovator besar. Semua hal itu dimulai dari cara orangtua menjawab pertanyaan anak dengan tepat. Kabar baiknya, dalam berbagai riset masih orangtua dan guru masih memberikan penjelasan yang lebih baik daripada media lain.
"Saya pikir, kemungkinan besar Albert Einstein juga dikelilingi oleh orang-orang yang mendorongnya untuk terus bertanya dan terus membandingkan, sehingga ia bisa memahami dunia. Dan itulah yang perlu kita lakukan di era kecerdasan buatan ini: mengenali keunggulan manusia, merawat keunggulan tersebut, dan menggunakan sains untuk mendukungnya," tutup Stella.



















