Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Ciri Kamu Terlalu Aware terhadap Reaksi Orang, Bikin Burnout Sosial

ilustrasi over-aware (pexels.com/RDNE Stock project)

Ada saat-saat kita akan peduli terhadap pendapat orang lain. Itu wajar, kok, sebab manusia sejak awal keberadaannya hidup dalam kelompok sosial. Namun, ada pembeda antara kesadaran sosial yang sehat dan kecenderungan untuk mengawasi diri sendiri secara berlebihan setiap kali berada di hadapan orang lain, nih.

Saat seseorang terus-menerus menafsirkan respons, bahasa tubuh, hingga ekspresi wajah orang lain sebagai cermin untuk menilai dirinya sendiri, kelelahan psikis dan sosial pasti tak akan terelakkan.

Kesadaran berlebihan terhadap reaksi orang lain disebut sebagai over-aware. Dalam jangka panjang, ia bisa menumpulkan spontanitas, mengikis rasa aman diri, dan membuatmu menarik diri dari kehidupan sosial, sekalipun kamu bukan orang yang tertutup, lho.

Bila kamu merasa sering merasa lelah hanya karena bersosialisasi, bisa jadi ini bukan soal introversi, melainkan akibat dari kecenderungan untuk terlalu waspada terhadap penilaian orang.

Well, inilah adalah enam ciri bahwa kamu sedang mengalami over-aware terhadap reaksi sosial, lengkap dengan bagaimana hal tersebut bisa membuatmu burnout secara emosional dan sosial. Cek!

1. Kamu terbiasa memutar ulang momen sosial di kepala setelahnya

ilustrasi over-aware (pexels.com/Liza Summer)

Setelah pertemuan selesai, bukannya merasa lega, kamu justru merasa perlu memeriksa ulang percakapan tadi. Apa kamu terdengar aneh saat menjawab pertanyaan tadi? Apakah nada suaramu terlalu keras?

Apakah leluconmu tidak lucu? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari keinginan untuk belajar bersikap lebih baik, melainkan dari kecemasan bahwa kamu telah salah merespons di mata orang lain.

Kebiasaan memutar ulang momen sosial itu pertanda bahwa kamu terlalu fokus pada bagaimana kamu diterima, bukan pada bagaimana kamu berinteraksi, nih. Akibatnya, alih-alih tumbuh dalam pengalaman sosial, kamu malah merasa dikuras secara psikis, sebab, nih, otakmu tidak pernah benar-benar berhenti bekerja meski interaksinya sudah selesai.

2. Kamu cepat menangkap perubahan ekspresi dan nada suara, tapi membacanya secara negatif

ilustrasi over-aware (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Contohnya, nih, seseorang menaikkan alis sedikit, kamu langsung mengira ia sedang tidak setuju. Seseorang menjawab pesanmu agak singkat, kamu merasa telah membuatnya kesal.

Nyatanya , di dunia sosial, kepekaan terhadap isyarat nonverbal bisa sangat menjadi berlebihan. Tapi kalau kepekaan itu diiringi dengan tafsir negatif yang terus-menerus, nih, kamu sedang menciptakan beban emosional tambahan yang sebenarnya tidak perlu.

Ciri khas overaware adalah membesarkan sinyal kecil menjadi kesimpulan besar. Kamu merasa perlu membaca semua detail ekspresi orang, tapi bukan untuk memahami mereka, melainkan untuk mencari tahu apakah kamu sedang dianggap salah atau tidak disukai.

Cara pikir ini, tanpa kamu sadari, membuatmu selalu waspada dan tidak pernah benar-benar relaks dalam hubungan sosial, lho!

3. Kamu susah menikmati percakapan karena terlalu sibuk mengatur diri sendiri

ilustrasi over-aware (pexels.com/Alexander Suhorucov)

Seringkali, daripada memilih merespons secara natural, kamu menghabiskan sebagian besar waktumu dalam interaksi sosial dengan memakai topeng pada diri sendiri. Kamu memilih kata-kata dengan sangat hati-hati, berusaha agar tidak terdengar terlalu dominan, terlalu pendiam, terlalu emosional, atau terlalu datar. Kamu pun tidak benar-benar hadir dalam percakapan itu karena energimu habis untuk mengelola pandangan orang terhadapmu.

Nah, saat ini menjadi pola, kamu mulai mengasosiasikan interaksi sosial sebagai sesuatu yang melelahkan, nih. Kamu merasa tidak bisa menjadi diri sendiri karena khawatir versi dirimu yang asli tidak akan diterima.

So, kamu perlahan mundur, memilih menyendiri, dan menyalahkan situasi sosial sebagai penyebab stres, padahal yang membuatmu lelah adalah mode waspada berlebihan yang kamu bawa ke setiap percakapan.

4. Kamu sering membandingkan diri dengan teman yang terlihat lebih sosial

ilustrasi over-aware (pexels.com/William Fortunato)

Kamu melihat temanmu tampak santai saat mengobrol dengan banyak orang dan kamu bertanya-tanya, “Kenapa aku tidak bisa seperti itu?” Padahal, nih, bisa jadi kamu punya kapasitas untuk bersosialisasi sama baiknya. Namun karena kamu terlalu sibuk membaca reaksi orang dan menilai dirimu sendiri selama proses itu, kamu merasa tertinggal secara sosial.

Perbandingan ini membuatmu semakin kehilangan kepercayaan diri. Kamu mulai percaya bahwa kamu “kurang layak” secara sosial, bahwa kamu bukan orang yang menarik, dan bahwa kamu harus terus berusaha untuk “lebih baik” dalam berteman. Padahal, inti dari hubungan sosial bukan pada performa, melainkan pada keterhubungan yang tulus.

5. Kamu cenderung meminta validasi setelah interaksi sosial

ilustrasi over-aware (pexels.com/Anna Shvets)

Contoh lainnya, nih, misalnya saat kamu berbicara dengan seseorang, kamu merasa perlu bertanya ke teman lain, “Tadi aku terlalu banyak ngomong nggak, ya?” atau “Kira-kira dia tersinggung gak sama jawabanku tadi?” Kamu mengandalkan pihak ketiga untuk mengonfirmasi bahwa kamu tidak membuat kesalahan sosial.

Hal ini bukan karena kamu kurang percaya pada penilaian dirimu sendiri, tetapi karena kamu merasa tidak bisa mengandalkan perasaanmu tanpa validasi eksternal.

Ketergantungan pada validasi ini memperlihatkan bahwa kamu hidup dalam sistem sosial yang tidak kamu percayai secara emosional. Kamu selalu merasa ada sesuatu yang salah dengan cara kamu berinteraksi dan kamu butuh orang lain untuk membantah atau membenarkannya. Semakin sering kamu mencari validasi, semakin jarang kamu merasa cukup dengan keberadaanmu sendiri.

6. Kamu sering burnout setelah berinteraksi sosial, bahkan dalam skala kecil

ilustrasi over-aware (pexels.com/Monstera Production)

Saat seseorang merasa lelah setelah bersosialisasi, itu tidak selalu berarti ia introvert, kok. Burnout sosial bisa terjadi pada siapa saja, terutama kalau setiap momen interaksi diisi dengan tekanan untuk tampil sesuai harapan sosial.

Kalau kamu merasa perlu pulih berjam-jam hanya setelah sekadar mengobrol sebentar dengan teman, bisa jadi yang membuatmu lelah bukan interaksinya, melainkan sistem kontrol internal yang terlalu ketat dalam mengawasi perilakumu.

Burnout sosial yang berasal dari over-aware bersifat melelahkan karena tidak hanya fisik dan emosional, tetapi juga eksistensial. Kamu mulai meragukan kemampuanmu sebagai makhluk sosial, mempertanyakan peranmu dalam lingkungan sekitar, dan menyalahkan dirimu karena merasa kurang fit in. Hal ini adalah bentuk kelelahan yang dalam dan butuh perhatian, bukan sekadar istirahat dari keramaian.

Yaps, memang benar bahwa menjadi peka terhadap orang lain adalah bentuk kepedulian. Namun kalau kepedulian itu berubah menjadi sensor internal yang tak kenal henti, kamu tidak hanya kehilangan energi, tetapi juga hubungan yang otentik. Overaware bisa terasa seperti bentuk tanggung jawab sosial, yang nyatanya sering kali ia hanya menyamar sebagai ketakutan akan ditolak atau disalahpahami.

Nah, untuk mulai keluar dari siklus ini, kamu tidak perlu menjadi terlalu tidak peduli. Cukup mulai dengan menyadari kapan kamu sedang terlalu banyak menafsir dan memberi izin pada dirimu untuk bersikap lebih santai, ya. Dunia tidak selalu mengamatimu se-intens yang kamu kira. Dan bahkan kalau iya, kamu tetap berhak hadir sebagai dirimu sendiri, Sob!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us