“Ada banyak penderitaan,” ujar Duta Besar Belanda untuk Indonesia, H.E. Marc Gerritsen, dengan nada reflektif.
World Press Photo Exhibition 2025 dan Percakapan Sunyi tentang Dunia

- World Press Photo lahir pada 1955 sebagai ruang penghormatan bagi jurnalisme visual, bukan ajang kompetisi estetika.
- Foto-foto pameran ini memancing decak kagum dan keheningan, mengajukan pertanyaan tentang dunia dan apa yang kita abaikan.
- Foto pemenang dari Indonesia membawa cerita dekat namun sering tak tersentuh publik, menyoroti kecelakaan kerja dan situasi industri nikel di Morowali.
Jakarta, IDN Times - Di salah satu sudut kota, sebuah ruang pamer berubah menjadi jendela dunia. Namun bukan dunia yang rapi, tenang, dan estetis, melainkan dunia nyata yang berisi luka, kegembiraan yang rapuh, ketahanan manusia, hingga absurditas kehidupan modern. Di sinilah World Press Photo Exhibition 2025 resmi dibuka, di Erasmus Huis Jakarta, Kamis (20/11/2025), melalui Media Reception yang mengundang jurnalis, fotografer, diplomat, dan para penonton yang ingin menyimak cerita melalui gambar.
Pameran ini bukan sekadar serangkaian foto. Ia adalah arsip nurani dan sebuah dokumentasi emosional tentang apa yang dilupakan, diabaikan, atau sengaja tidak dibicarakan. Bagi dirinya, pameran ini bukan hanya representasi budaya atau sejarah visual, tetapi jembatan yang mempertemukan empati di antara bangsa dan manusia.
1. Ketika budaya bukan lagi menjadi batas

World Press Photo lahir pada 1955, bukan sebagai ajang kompetisi estetika, tetapi sebagai ruang penghormatan bagi jurnalisme visual. Sejak itu, ia menjelma menjadi salah satu platform global paling penting yang menampilkan kisah terbaik dari liputan perang, bencana, budaya, perubahan iklim, hingga harapan.
“Ini bukan hanya tentang memperkenalkan budaya Belanda, tapi tentang pertukaran budaya dan informasi,” ujar Gerritsen.
Kata-katanya terasa seperti pengingat, bahwa foto bukan hanya karya, tetapi medium dialog lintas dunia. Dalam ruangan itu, perbedaan bahasa lenyap, yang tersisa hanyalah interpretasi dan emosi.
2. Foto-foto yang membuat siapa pun yang melihatnya bertanya-tanya

Beberapa foto di pameran ini tidak hanya memancing decak kagum, tetapi keheningan. Ada momen di mana pengunjung berhenti lama di depan satu frame, seolah memerlukan waktu untuk menerima apa yang ia lihat.
“Saat melihatnya, saya terdiam,” kata Gerritsen.
“Apa yang terjadi dengan dunia? Mengapa kita masih membutuhkan perdamaian dan kemakmuran seolah itu sesuatu yang belum kita dapatkan?” lanjutnya.
Foto-foto ini bukan retorika visual. Mereka adalah pertanyaan: Apa yang kita abaikan? Siapa yang tidak kita dengar? Apa yang belum kita hentikan?.
3. Sebuah foto dari Asia Tenggara dan Indonesia keluar sebagai pemenangnya

Tahun ini, salah satu foto pemenang dari Asia Tenggara berasal dari Indonesia, membawa cerita yang dekat namun sering tak tersentuh publik. Kisah ini bukan sekadar dokumentasi, tetapi perjalanan pribadi seorang fotografer yang menabung sendiri untuk dapat melakukan liputan, melakukan riset sejak banjir bandang di Halmahera pada Desember 2023, lalu mengikuti isu ledakan dan situasi industri nikel di Morowali.
“Kecelakaan kerja banyak yang tidak terekspos,” ujar Mas Agung Wilis Yudha Baskoro, dengan nada tenang, tapi menyimpan urgensi, selaku fotografer asal Indonesia yang berhasil menyabet gelar pemenang dalam World Press Photo Exhibition 2025.
4. Momen subuh, kamera, dan bau asam di udara

Salah satu potongan kisah paling kuat dari sang fotografer terjadi sekitar jam 4 pagi, di Weda, tepat di jalan menuju pabrik, tempat para pekerja berganti shift. Saat itu hujan turun pelan, namun bukan hujan biasa.
“Airnya lengket, berbau asam. Bau pabrik,” tuturnya.
Ia memotret sambil memegang payung, menyimak cahaya oranye dan ungu dari kilau pabrik yang berbaur dengan kabut hujan, menjadi metafora visual yang indah sekaligus mengganggu. Mas Agung menggambarkannya sebagai sesuatu yang tampak indah sekaligus berbahaya, seperti masa depan yang dibangun dengan biaya yang belum selesai dihitung.
5. Ketika visual menjadi seruan tanpa suara

Tema besar pameran ini bukan tragedi, bukan pula sensasi. Melainkan kemanusiaan, baik dalam bentuk luka maupun harapan. Ada kisah hope in Venezuela, ada foto tentang masyarakat yang masih berusaha hidup normal di tengah krisis.
Ada wajah, ruang, tubuh, dan air mata yang tidak pernah dimaksudkan menjadi headline, tetapi akhirnya menjadi sejarah. Karena foto-foto ini tidak meminta kita sekadar melihat, tetapi mengingat bahwa dunia bukan hanya tentang kecepatan dan kemajuan, tetapi juga tentang mereka yang tertinggal, terluka, bangkit, dan bertahan.
Di akhir pameran, seseorang mungkin tidak membawa pulang poster, merchandise, atau souvenir. Tapi mereka akan membawa sesuatu yang lebih berat dan lebih jujur, yakni kesadaran. Dan mungkin, di tengah hiruk pikuk hidup, kita akan mengingat satu hal sederhana namun penting, bahwa kamera tidak pernah berbohong. Karena yang sering berbohong adalah cara kita memilih untuk tidak melihat.


















