Di Indonesia, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bukan sekadar penopang ekonomi. Mereka adalah denyut kehidupan itu sendiri. Dari warung kecil di sudut gang hingga dapur rumahan yang memasak resep turun-temurun, usaha-usaha ini menghidupi jutaan keluarga. Namun, ketangguhan itu diuji keras kala pandemik COVID-19 singgah tanpa mengetuk pintu. Banyak UMKM kehilangan pasarnya seketika. Mereka yang biasanya menyapa pelanggan hanya bisa menatap pintu yang tertutup seakan dunia memerintahkan mereka berhenti. Distribusi terhambat, pelanggan menghilang, dan ruang gerak menyempit bersama rasa cemas yang menebal tiap hari. Para pelaku usaha bertahan sebisanya. Namun, ketidakpastian memaksakan banyak dari mereka untuk merelakan impian yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Dalam remang itu, sosok Eri Kuncoro berdiri sebagai tetangga yang tidak tega tinggal diam. Ia melihat UMKM di Jogja, khususnya di ranah kuliner, bukan hanya kehilangan kesempatan berjualan, tapi juga arah untuk melangkah.
“Waktu itu mereka (pelaku UMKM) bukan hanya kehilangan omzet, tapi juga harapan,” kisah Eri Kuncoro membuka sesi Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025.
Bagi Eri, situasi tersebut bukan sekadar krisis ekonomi. Ini termasuk krisis manusia. Di sana ada wajah-wajah yang makin redup, dapur yang berhenti mengepul, dan tangan-tangan yang biasanya sibuk kini tak lagi punya sesuatu untuk dikerjakan. Dari keresahan dan empati itulah ia semai gerakan yang terlahir langsung dari kebutuhan paling mendesak:menyambung napas sesama.
