Eri Kuncoro Nyalakan Harapan Ekonomi UMKM Jogja lewat Yuk Tukoni

Biasanya, pagi di Yogyakarta dimulai dengan aroma manis gudeg yang mengepul di sekitar Kotagede atau deru pedagang yang menata lapak di Pasar Beringharjo. Namun, pandemi mengubah segalanya secara mendadak. Pasar yang sebelumnya tak pernah benar-benar tidur tiba-tiba sunyi. Para pedagang menutup pintu lebih cepat dari biasanya.
Ya, di balik keindahan Jogja yang akrab bagi banyak orang, ada kisah getir yang dialami para pelaku usaha kecil. Mereka adalah ibu-ibu yang menjual lauk harian, bapak-bapak dengan gerobak mie ayam, pemilik usaha makanan rumahan, pembuat kudapan tradisional, hingga usaha kuliner yang selama ini mengandalkan keramaian kota wisata.
Pandemik COVID-19 memukul keras sektor ekonomi, suara yang paling terdengar justru yang paling lirih, “suara UMKM”. Di tengah situasi itu, muncul sebuah gagasan kecil dari seorang anak muda bernama Eri Kuncoro, yang kemudian berkembang menjadi gerakan besar bernama YukTukoni atau TUKONI ID.
1. Saat keputusasaan menjadi pemantik gerakan

Ide YukTukoni lahir bukan dari ruang rapat atau proposal ketat atau birokrasi yang ribet. Ia muncul dari hal yang sederhana, dari sebuah percakapan ringan antara Eri dan tetangganya, Pak Amin, seorang penjual mie ayam.
Eri mengingat momen itu dengan baik. Pria asal Jogja ini berkata dalam Webinar Anugerah Pewarta Astra 2025 bersama Astra dan IDN Times, Rabu (8/10/2025), “Inspirasi awal itu dari Pak Amin. Beliau pamit mau pulang kampung karena gak ada yang bisa dijual. Bukan cuma kehilangan omzet, tapi pasarnya hilang total. Waktu itu saya merasa, ‘wah kalau nggak ada yang bantu, UMKM seperti beliau bisa hilang begitu saja’.”
Ucapan ini menjadi titik mula. Sebuah keprihatinan berubah menjadi pergerakan nyata. Dari percakapan kecil, tumbuh ide besar, bagaimana jika UMKM dibantu untuk tetap berjualan, meski pembeli tidak bisa datang langsung?
Pada 1 April 2020, Eri Kuncoro bersama Revo Suladasha menggagas YukTukoni, sebuah gerakan sosial yang tujuannya sederhana, yaitu menghubungkan produk UMKM dengan pembeli melalui platform digital, yang dikenal cepat, mudah, dan gotong-royong.
Nama “YukTukoni” yang berarti “Ayo Beli” dalam bahasa Jawa yang dipilih agar terasa akrab di telinga masyarakat lokal Jogja dan tentunya mengundang rasa ingin tahu banyak orang.
3. Inovasi marketing YukTukoni yang cerdas di tengah keterbatasan

YukTukoni bekerja merangkum produk-produk UMKM dalam satu platform yang mudah diakses siapa pun. Alih-alih membangun marketplace rumit, Eri dan tim memilih cara paling manusiawi dan paling relevan saat itu, yaitu Instagram dan WhatsApp. Dua kanal sederhana ini memungkinkan komunikasi cepat antara pembeli dan penjual, sekaligus memberi ruang bagi cerita setiap UMKM untuk disampaikan apa adanya.
Pada awal gerakan ini, yang dilakukan Eri dan timnya pun terbilang sederhana. Mereka memotret produk UMKM, mengunggahnya ke Instagram, membantu menjawab pesan calon pembeli, sampai menjadi kurir dadakan yang mengantarkan pesanan satu per satu.
Eri mengenang masa itu sambil tertawa, “Kalau dulu lihat Instagram kami, isinya foto-foto makanan seadanya. Tapi waktu itu kami gak mikir estetika dulu, yang penting UMKM bisa jualan. Kami bantu semampu kami saja.”
Namun dari upaya sederhana itu, dampaknya terasa nyata. UMKM yang hampir berhenti produksi kembali bangkit. Pesanan mulai berdatangan. Masyarakat, yang waktu itu lebih sering berada di rumah, ternyata antusias membeli produk lokal.
Untuk menarik minat pembeli pertama, YukTukoni menawarkan pengantaran gratis hingga 10 km, sebuah langkah yang sangat efektif di masa orang takut keluar rumah.
Tidak berhenti sampai di situ, YukTukoni juga menjalankan tugas sebagai inkubator mini. Tim membantu para UMKM memperbaiki foto produk, mengevaluasi kemasan, merancang branding, hingga melakukan kontrol kualitas. Pendampingan ini membuat produk lokal memiliki tampilan profesional yang selaras dengan kebutuhan pasar digital. Banyak pelaku usaha yang awalnya ragu kini merasa percaya diri kembali. Eri bercerita dalam event yang sama, “Kami melihat banyak ibu-ibu UMKM yang awalnya minder. Namun, setelah kami bantu foto produknya dengan bagus, mereka bilang, ‘Mas, kok saya baru sadar kalau dagangan saya bisa kelihatan semenarik itu.’” Kutipan ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan visual yang sering kali diremehkan, ya.
3. Strategi “Beli Dagangan Langganan” YukTukoni yang sukses mendekatkan mereka yang sempat menjauh

Apa yang dilakukan YukTukoni bukan sekadar respons spontan terhadap situasi darurat. Ini merupakan jawaban terhadap kondisi nyata yang saat itu menekan napas ribuan pelaku usaha kecil. Data UNDP dan LPEM UI, menunjukkan betapa kelamnya keadaan di mana 87,5 persen UMKM Indonesia terdampak pandemi, dan 93,3 persen mengalami penurunan penjualan yang drastis. Sedihnya, sektor kuliner, yang menjadi denyut ekonomi keluarga-keluarga kecil di Yogyakarta, sangatlah terpukul.
Dalam suasana seperti itu, keberanian untuk bergerak bukan hanya penting, tetapi mendesak. YukTukoni hadir membawa pendekatan pemasaran yang tidak rumit, tetapi sangat tepat sasaran.
Salah satu strategi yang paling menyentuh hati publik adalah program “Beli Dagangan Langganan”, yakni sebuah ajakan sederhana agar masyarakat kembali membeli dari pedagang langganan yang kini tengah terseok-seok. Program ini tak hanya menggerakkan transaksi, tetapi juga menghidupkan kembali relasi sosial yang sempat terputus oleh jarak dan kecemasan.
Akhirnya, mereka yang terpisah kembali teringat pada pengalaman manis yang biasa ditemui setiap hari, suara ramah percakapan pembeli dan penjual, masakan hangatnya, dan pengalaman kuliner yang tiba-tiba terancam hilang.
4. Frozen food menjadi ide jitu YukTukoni memperkenalkan kuliner lokal Jogja secara lebih luas

Strategi YukTukoni pun berkembang. Mereka meningkatkan kerja sama dengan merek kuliner terkenal di Yogyakarta, meluncurkan layanan jastip ke Bandung dan Jakarta, dan menciptakan cara agar konsumen dapat menikmati produk kuliner khas meskipun mereka tidak dapat datang secara langsung atau bahkan berada di luar Jogja.
Di sinilah ide untuk membuat frozen food khas Jogja muncul, sebuah inovasi yang mengubah kesulitan menjadi peluang. Salah satu contohnya adalah manggut lele Mbah Marto, yang dibuat menjadi bentuk beku agar aman dikirim dan memiliki cita rasa yang khas. Tentang proses itu, Eri mengenang, “Mangut Lele Mbah Marto kita ajak membuat frozen food dan itu merupakan tahapan baru buat mereka. Mie Ayam Tumini bahkan bisa menjual 100–200 porsi sehari kala itu. Mereka akhirnya bisa bernapas lagi.”
5. YukTukoni mengajak UMKM Jogja kembali bersemangat untuk bangkit

Dalam 1 bulan saja, YukTukoni mulai dikenal di luar Jogja. Bukan karena iklan yang bombastis, tetapi karena kedekatan emosional yang dibangun dari kisah-kisah UMKM yang kembali hidup. Ini adalah kekuatan terbesar YukTukoni, mereka tidak hanya menjual barang, tetapi juga harapan, kenangan, dan rasa kebersamaan kepada orang lain.
Eri pernah berkata, “Kami sempat pesimis. Namun, ternyata pasar itu gak benar-benar hilang. Mereka hanya butuh cara baru untuk dijangkau.”
Kata-kata itu mengalir seperti refleksi dari ratusan pelaku UMKM yang sempat putus asa. Bahwa dalam masa paling gelap sekalipun, selalu ada ruang bagi manusia untuk saling menopang.
Itulah inti kekuatan YukTukoni, tidak didorong oleh algoritma atau formula pemasaran rumit, tetapi oleh keinginan saling membantu. Gerakan ini membuktikan bahwa strategi yang paling jitu pada masa lesu ekonomi adalah strategi yang tak melupakan sisi manusia dari setiap transaksi.
YukTukoni tak hanya menyelamatkan beberapa usaha kecil, tetapi menyalakan kembali semangat komunitas. UMKM yang sebelumnya nyaris tutup kini kembali stabil. Dapur pun berasap lagi, tangan kembali bekerja, keluarga bisa makan bersama di rumah.
Dampak ini juga diakui secara nasional. Pada 2020, Eri Kuncoro menerima SATU Indonesia Awards dari PT Astra International. Penghargaan ini menjadi validasi bahwa gerakan kecil bisa memberikan dampak besar.
Menurut Eri sendiri, “Kami sempat pesimis. Tapi begitu melihat antusiasme masyarakat, kami sadar bahwa pasar gak hilang. Hanya caranya saja yang harus berubah.”
Dari empati itulah YukTukoni menemukan makna sejatinya yang bukan sekadar membantu orang berjualan, tapi menyalakan kembali harapan yang sempat padam.


















