ilustrasi seks (pixabay.com/niekverlaan)
Kiai Aminudin Yaqub menjelaskan, pendapat tersebut juga sesuai dalam firman Allah QS Al-Baqarah ayat 222, yang artinya berbunyi:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: 'Haidh adalah suatu kotoran.' Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.’’
Dalam ayat ini, Kiai Aminudin menuturkan, mahidh itu bisa berarti perempuan yang haid atau tempat keluarnya haid pada perempuan. Jadi sebelum Islam hadir, ada tradisi-tradisi di mana perempuan yang sedang haid harus dijauhi bahkan diasingkan.
Pada waktu itu, lanjut kiai Aminudin, jangankan satu kamar dengan perempuan haid, untuk satu rumah pun tidak boleh. Kehadiran Islam dengan ayat ini meluruskan tradisi yang salah itu. Pada saat haid, yang dijauhi bukan perempuannya, melainkan tempat keluarnya haid dari perempuan.
Berdasarkan penjelasan di atas, hukum asal hubungan seksual suami istri saat istri sedang haid, dalam arti bertemunya alat vital suami istri, adalah haram. Namun, masih diperbolehkan melakukan hubungan, asalkan tidak bertemu kedua alat vital.