Ilustrasi perhiasan emas (pexels.com/axecop)
Dalam ilmu fikih, mahar memiliki makna yang mendalam sebagai pemberian yang menjadi sebab terjadinya hubungan seksual atau hilangnya keperawanan seorang perempuan dalam perkawinan. Mengutip dari buku berjudul Fiqih Mahar karya Isnan Ansory, disebutkan bahwa hukum pemberian mahar adalah wajib, sebagaimana sabda Rasulullah dalam hadis berikut, yang artinya :
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha Rasulullah SAW bersabda: "Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali." (HR. Tirmizi)
Umumnya mahar yang diberikan bisa berupa uang, seperangkat alat salat, Al-Qur'an, emas, atau barang-barang berharga sesuai dengan kesepakatan bersama. Tentunya, tanpa memberatkan pihak laki-laki atau merendahkan pihak perempuan.
Menurut kesepakatan ulama fikih, mahar dibedakan menjadi dua jenis yaitu, mahar musamma dan mahar mitsil. Berikut penjabarannya:
Merupakan jenis mahar yang nilainya telah disepakati antara calon suami dan istri dan disebutkan dalam akad. Para ulama sepakat bahwa membayar mahar itu wajib apabila telah terjadi hubungan suami-istri. Mahar juga tetap harus dibayarkan, meski terjadi perpecahan dalam pernikahan, karena keduanya telah melakukan hubungan badan. Kecuali, terjadi perceraian sebelum berhubungan intim, maka pihak laki-laki hanya akan memberikan mahar setengahnya saja.
Ketetapan ini tertuang dalam surat Al Baqarah ayat 237 yang mengatakan:
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Baqarah : 237)
Mengutip dari buku Fiqih Mahar oleh Isnan Ansory, mahar mitsil merupakan mahar yang belum ditentukan atau disebutkan dalam akad pernikahan dan bisa jadi belum disepakati nilainya, namun sang suami terlanjur meninggal dunia. Di antara sebab disebutkannya mahar mitsil ini merujuk pada sebuah hadis berikut, yang artinya:
"Dari Ibnu Mas'ud ra., bahwa dia ditanya tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita. Lelaki tersebut belum menentukan mahar juga belum menyetubuhinya dan tiba-tiba meninggal dunia. Ibnu Mas'ud menjawab: "Wanita itu berhak mendapatkan mahar yang sama (mahar mitsil) dengan mahar istri lainnya, tanpa harus menjalani masa idah dan dia mendapatkan harta warisan." Lantas Ma'qil bin Sinan al-Asyja'i berdiri sambil berkata: "Rasulullah SAW., telah memberi keputusan hukum mengenai Barwa' binti Wasyiq, salah seorang dari kaum kami seperti yang engkau putuskan. "Mendengar itu, Ibnu Mas'ud merasa senang. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ahmad Ibid)