Untuk Ayah dan Ibu: Suatu Saat, Aku Akan Membalas Kasih Sayang dan Membayar Biaya Hidup Kalian

Ayah dan Ibu,
Salam hangatku dari perantauan. Kabarku baik-baik saja. Aku sehat dan tidak kurang apapun. Kalian tak usah mengkhawatirkanku. Percayalah, Ayah dan Ibu.
Ayah dan Ibu, aku masih ingat semasa kuliah. Aku kerap terkena murka karena pulang larut malam. Tapi Ayah dan Ibu, percayalah aku sedang merajut masa depanku.

Sewaktu menuntut ilmu di perguruan tinggi, aku berkomitmen mengikuti macam-macam organisasi. Aku berharap memiliki banyak ketrampilan untuk masa depan. Sebab kata orang, pengalaman berorganisasi sangat baik untuk mengisi CV. Para HRD perusahaan akan menilaiku lewat selembar kertas tersebut.
Benar saja. Tak hanya memperoleh teman baru, banyak ilmu dan pengalaman yang belum pernah kudapat. Aku juga memperoleh kepercayaan dari kawan-kawan untuk menjabat sebuah posisi. Aku sangat bahagia dan berharap Ayah serta Ibu turut merasakannya.
Namun, amanah yang diberikan padaku memang tak mudah. Aku merelakan absen kuliah bolong di sana-sini karena mengatur ini dan itu. Sesekali, kawan baik kuandalkan untuk menitip absen. Aku bisa seharian penuh berada di kampus. Bukan untuk kuliah, melainkan untuk macam-macam rapat.
Buahnya, Ayah Ibu memarahiku karena pulang larut malam. “Gak enak sama tetangga,” itu kata Ibu. Ya, aku tahu. Mungkin orang mengira aku pulang dugem. Tapi, ini konsekuensi dari tanggung jawabku. Aku selalu menekankan pada Ayah dan Ibu, ini untuk masa depan.
Tugas akhir tiba, aku semakin gerah karena bagianku tak kunjung usai. Sedangkan kalian sudah memburuku untuk memakai toga.

Akhirnya, julukan “mahasiswa tingkat akhir” disematkan padaku. Ini bukan hal yang membanggakan, apalagi kalau kelamaan. Saat teman-teman sudah menambahkan gelar di akhir nama, aku masih sibuk mengejar-ngejar dosen. Salah di sana, salah di sini. Aku menguras banyak waktu untuk bergaul dengan perpustakaan.
Ayah dan Ibu kerap menanyai hal yang membuatku bosan. “Kapan wisuda?” Begitu saja terus. Untungnya, aku punya orangtua yang pengertian. Saat tertidur sewaktu lembur, ibu menyelimutiku. Sebelum beranjak ke kampus, Ayah menawariku untuk diantar.
Ah, Ayah dan Ibu... Aku mulai menitikkan air mata kalau ingat masa prihatin ini.
Hari yang mendebarkan itu tiba juga. Kalian menyaksikan tali togaku disibak ke arah kanan.

Setelah puluhan perjumpaan dengan dosen pembimbing dan lebih banyak revisi, pendadaran tiba. Akhirnya, anakmu ini lulus juga. Ya, aku sekarang sarjana!
Coba diingat, Ayah dan Ibu! Pagi itu, kalian ribeeeettt sekali mempersiapkan kedatangan di wisudaku. Bahkan lebih ribet daripada aku yang harus bangun pagi, berdandan di salon, dan mengenakan pakaian tradisional.
Saat itulah, aku melihat binar-binar bahagia di mata kalian. Mungkin kalian bangga, bisa menunjukkan kepada semua orang kalau berhasil membesarkan anaknya. Anaknya sarjana dan siap jadi sukses.
Bagiku, bukan ijazah dan jubah wisuda yang kubanggakan. Bukan juga gelar baru di akhir nama. Tapi, kebahagiaan kalian yang terpenting!
Kalian memang orang tua yang bawel. Waktu tak kunjung mendapat pekerjaan, seribu nasehat disampaikan.

Pasca wisuda adalah masa tergalau dibandingkan masa skripsi. Ya. Aku mengamininya. Bertahun-tahun, pekerjaanku hanya belajar dan bermain. Sekarang?
Dan mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Ada persaingan, ada idealisme ingin bekerja di tempat seperti apa, ada ketidakcocokan. Semua sempat kualami. Tapi berbekal nasehat yang kalian beri, berlembar-lembar CV dan surat lamaran yang kucetak, tak sia-sia lagi.
Kini, aku telah menerima pekerjaan pertamaku. Sulit rasanya harus berpisah dari Ayah dan Ibu di perantauan.

Bertahun-tahun, aku selalu hidup dalam hangatnya kasih sayang kalian. Bertahun-tahun itu pula, aku merasa kalau tidak ada yang setulus cinta kalian. Banyak betul yang kalian korbankan. Mulai dari waktu, tenaga, uang, dan pikiran.
Kini aku harus berjibaku sendiri. Hidup mandiri seperti ini, mungkin tak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Tapi aku percaya, kasih sayang kalian tak akan terputus meski bermil-mil jaraknya. Aku tahu itu setiap menerima teleponmu, Ayah dan Ibu...
Aku tahu, gajiku memang tak seberapa. Tapi lewat teladan kalian, suatu hari nanti aku sukses dan membayar biaya hidup kalian. Yang penting, kalian janji selalu sehat ya!

Ayah dan Ibu, aku sekarang sudah merasakan susahnya bekerja. Aku juga mencicipi jerih payahku lewat gaji. Meski masih pemula, aku yakin sukses dengan meniru sikap kerja keras kalian.
Lewat perjuanganku yang belum habis pula, aku berjanji suatu saat nanti akan membayar biaya hidupmu. Anggaplah ini untuk membalas kasih sayang kalian yang tak ada celanya. Meskipun ini tak sama dengan perjuangan yang kalian tempuh untuk membesarkanku, percayalah aku sangat mencintaimu.
Dari aku,
Anakmu yang paling bandel
tapi tetap kalian sayang