TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Penyintas KDRT, Poppy Dihardjo Perjuangkan Keadilan Korban Kekerasan

#IDNTimesLife Terutama kekerasan seksual dan KDRT

dok. Poppy Dihardjo

Kekerasan pada perempuan masih menjadi masalah yang sering terjadi hingga saat ini. Sayangnya, perempuan korban kekerasan ini sering merasa kesulitan untuk meminta bantuan. Mirisnya lagi, beberapa perempuan pun gak menyadari bahwa dirinya korban.

Seorang aktivis kekerasan perempuan, Poppy Dihardjo, pun pernah berada di posisi korban ini. Namun, ia berhasil menjadi penyintas, dan bahkan kini berjuang untuk membantu korban kekerasan lainnya.

Lewat wawancara khusus dengan IDN Times, Poppy Dihardjo menceritakan pengalamannya memperjuangkan keadilan untuk korban kekerasan perempuan. Berikut pemaparannya!

1. Sebelum menjadi aktivis, Poppy sempat mengalami toxic marriage. Ia ditinggalkan suaminya dan mengalami KDRT

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Kini aktif menggaungkan isu kekerasan perempuan, Poppy ternyata sempat mengalami toxic marriage. Sang suami meninggalkannya dan anaknya karena perempuan lain. Ia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama kurang lebih dua tahun. 

Walau mengalami ketidakadilan ini, Poppy sempat berusaha bertahan. Terutama, karena keluarganya pun gak mendukungnya untuk melakukan perceraian. Namun, pada akhirnya ia mantap melayangkan perceraian untuk melindungi dirinya dan anaknya.

"Jadi aku tanya ke diriku sendiri. Lalu apa. Lho kok terus-terusan kaya gini? Meratapi nasib lo sebagai korban, atau lo bisa ubah. Lo bisa ubah semua ini dan membuat diri lo sendiri bahagia. Jadi dari titik balik itu. Aku mikir, oh aku bisa lakukan itu," cerita Poppy saat diwawancara via whatsapp call, Selasa (2/3/21).

2. Setelah bercerai, ia pun tergerak untuk membantu perempuan yang mengalami hal yang sama dengannya

Poppy saat menjadi pembicara di acara tv nasional. dok. Poppy Dihardjo

Saat mengalami toxic marriage, Poppy tidak paham bahwa dirinya adalah korban. Ketika akhirnya berhasil bercerai, ia pun sadar bahwa banyak perempuan yang pasti juga mengalami apa yang dia rasakan. Hal inilah yang akhirnya memotivasinya untuk menjadi aktivis.

"Jadi mulainya itu dulu, aku pikir 'gila ada berapa banyak ya perempuan yang kaya aku, yang ngerti kalau mereka adalah korban? Seperti apa ya mereka? Minta tolongnya ini ke siapa ya?' Gitu," cerita perempuan berusia 45 tahun ini.

Ia pun mulai aktif memberikan konten-konten edukasi di instagramnya untuk menyadarkan perempuan akan tindak kekerasan. Namanya pun semakin dikenal saat diundang salah satu stasiun tv nasional untuk membahas kasus perebut laki orang (pelakor) yang saat itu sedang viral.

Tak tanggung-tanggung, Poppy pun juga bergabung dengan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS), terlibat dalam komunitas Perempuan Berkisah dan membuat komunitas Perempuan Tanpa Stigma (PENTAS). Lewat komunitasnya, Poppy bertugas sebagai pendamping yang tak hanya membantu korban mendapat keadilan, namun juga mengedukasi korban kekerasan.

Baca Juga: Acne Fighter, Valencia Nathania Bangun Rahasia Gadis & Usaha Skincare

3. Sering mendampingi korban KDRT, ia melihat banyak perempuan yang tetap bertahan pada pernikahannya

Poppy dan teman-teman PENTAS saat menghadiri IWF 2019. dok. Poppy Dihardjo

Sebagai seseorang yang pernah berada dalam toxic marriage, Poppy banyak mendampingi korban KDRT. Sayangnya, ia melihat banyak perempuan yang masih terus bertahan dalam pernikahannya meski mengalami kekerasan.

"Ada perempuan yang sudah sampai nangis-nangis, kasih kirim foto ke kita gambar punggungnya berdarah-darah gitu ya, tapi ternyata dia kembali ke suaminya. It's really breaks my heart.  Ini nggak sekali dua kali ya. Ini sering kali terjadi yang kasus KDRT," ceritanya.

Ketika mengalami momen ini, Poppy sempat stres karena merasa tak bisa berbuat apa-apa. Meskipun begitu, ia sadar bahwa dia hanya bisa mendampingi. Korban memiliki pilihannya sendiri untuk bertahan atau pun keluar dari hubungan toksik itu.

"This isn’t about what I want, this is what they need. Nah itu yang kita turunkan ke teman-teman yang jadi konselor atau yang jadi pendamping juga nih sekarang. Kalau misalnya mereka tidak mau didampingi, as much as it breaks our heart, tapi it’s not our life. " ungkap perempuan yang bekerja di bidang advertising ini.

4. Memperjuangkan keadilan untuk korban kekerasan seksual masih sulit. Hukum kurang kuat, korban pun memilih diam

dok. Poppy Dihardjo

Tak hanya tentang KDRT, perempuan korban kekerasan seksual pun juga sulit menerima keadilan. Selama menjadi pendamping, ia melihat bahwa landasan hukum di Indonesia masih kurang kuat, terutama berkaitan dengan bukti-bukti. 

"Sering kali kita udah lapor apa segala macam kendalanya, lagi-lagi di urusan bukti. Polisi melakukan penyelidikan berbulan-bulan, pada akhirnya kita dikasih tau buktinya kurang. Padahal CCTV-nya ada. Terlihat bagaimana orang ini membawa korban ke hotel gitu dalam kondisi setengah sadar. Ada ini itu, kok buktinya kurang?" ungkap Poppy berapi-api.

Landasan hukum yang kurang kuat ini lantas membuat korban memilih diam atau mundur saat memperjuangkan keadilan mereka. Ketika korban ingin berjuang pun, butuh waktu yang cukup lama dan penuh perjuangan agar bisa mendapatkan keadilan.

Poppy mencontohkan salah satu kasus pelecehan seksual yang pernah ia dampingi, yang akhirnya berhasil mendapat keadilan setelah berjuang selama tiga tahun. Mirisnya, pelaku melakukan pelecehan terhadap rekan kerjanya sendiri, dan telah memakan banyak korban selama bertahun-tahun.  

"Akhirnya dia dipecat dari kantornya. Waktu aku kasih kabar ini, mereka (para korban) nangis bilang makasih banget, sampai teriak-teriak sendiri gitu di telepon. Akhirnya kita mendapat keadilan yang membuat kita berpikir kalau yang kita lakukan tuh nggak sia-sia," ceritanya.

5. Terkait kontroversi RUU PKS, Poppy melihat masih banyak multitafsir yang perlu disempurnakan

IDN Times/Aldzah Fatimah Aditya

Berbicara tentang kekerasan seksual tentu tak lepas dengan RUU PKS, yang bisa menjadi payung hukum untuk kasus kekerasan seksual. Rancangan ini telah diusulkan sejak 2016 lalu, namun belum disahkan hingga saat ini. Proses yang terus mengulur waktu, pun isinya yang cukup multitafsir akhirnya menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. 

Sebagai seorang aktivis kekerasan seksual, Poppy pun mendukung pengesahan RUU PKS ini, namun masih banyak hal yang perlu disempurnakan. Masyarakat pun juga harus diedukasi agar tidak salah tafsir akan isi rancangan undang-undang ini.

"Selama ini, menurutku, yang absurbd adalah pada saat ada yang menolak, terus menolaknya pun tanpa alasan yang jelas gitu. Misalnya pro zina, bagian mana yang pro zina? Pro aborsi, bagian mana yang pro aborsi? Pro ini lah apalah segala macam. Mohon maaf itu beda undang-undangnya," tutur Poppy.

Poppy pun juga cukup geram dengan proses pengesahan yang cukup lama, padahal Indonesia darurat kekerasan seksual. Komnas Perempuan telah memperjuangkan payung hukum ini sejak lama.

"Buruan deh diajak ngobrol kita-kita nih yang emang di lapangan. Kita beneran melihat kaya apa sih KDRT, kaya apa sih anak yang jadi korban perkosa bapaknya sendiri. Supaya mereka paham sedarurat apa. Masa sih info atau semua yang dilakukan sama Komnas Perempuan bertahun-tahun dan kasih liat datanya ke pemerintah itu tidak cukup?" serunya.

Baca Juga: Dian Es Anggraeni, Berani Sapu Bersih Ranjau Paku di Jalan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya