Buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Kisah Perempuan dan Tambang

dampak negatif dari aktivitas pertambangan bagi perempuan

Aktivitas galian untuk mengeruk sumber daya alam, ternyata memiliki berbagai dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Aspek ekonomi hingga sosial turut terpengaruh oleh kegiatan tambang menggunakan alat berat demi mengeruk hasil bumi.

Oleh karenanya, banyak warga menolak izin tambang di beberapa daerah di Indonesia. Penolakan aktivitas pertambangan dilakukan oleh perempuan melalui berbagai cara, salah satunya narasi yang dituliskan dalam buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan'.

Dalam buku yang diluncurkan pada Senin (6/3/23), tertuang kisah penolakan tambang dari beberapa pulau di Indonesia melalui sudut pandang perempuan. Ketahui lebih lanjut mengenai kasus tambang melalui artikel di bawah ini! 

1. 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan' mengisahkan perjuangan masyarakat kepulauan menolak aktivitas pertambangan

Buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Kisah Perempuan dan TambangDiskusi dan peluncuran buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Senin (6/3/23) (IDNTimes/Dina Fadillah Salma)

Buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan' mengangkat cerita warga kepulauan yang menolak aktivitas pertambangan sebab menyengsarakan hidup mereka. Cerita-cerita yang dituliskan diangkat dari sudut pandang perempuan. 

Untuk diketahui, dalam buku tersebut, diangkat kisah dari Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara yang menolak tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Ada pula kisah penolakan tambang seng dan timbal di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Penolakan tambang andesit juga terjadi di Desa Wadas, Kabupate Purworejo. Terakhir, ada kisah penolakan penambangan panas bumi di Wae Sano, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Salah satu penulis dalam buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan' adalah Dian Purnomo yang menulis cerita perempuan Sangihe setelah datang dan menetap selama beberapa bulan di Sulawesi Utara. Pada kesempatan yang sama, Dian membagikan pengalamannya melihat langsung penolakan warga terhadap tambang serta kesusahan yang dialami masyarakat Sangihe. 

"Jadi ketika perempuan berjuang, ketika perempuan disengsarakan, yang sengsara gak cuman perempuan sendiri, dia selalu membawa anak-anaknya." cerita Dian Purnomo, mengenang pengalamannya tinggal di Sangihe dan berjuang menolak pertambangan. 

2. Perempuan mengalami berbagai diskriminiasi dan dapat menjadi korban dari aktivitas tambang

Buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Kisah Perempuan dan TambangDiskusi dan peluncuran buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Senin (6/3/23) (IDNTimes/Dina Fadillah Salma)

Penolakan warga terhadap izin tambang di berbagai wilayah di Indonesia, turut memberi dampak terhadap kehidupan perempuan. Dari segi kesehatan, sosial, dan budaya, perempuan rentan menjadi korban atas diskriminasi yang terjadi. 

"Dari kasus sumber daya alam dan tata ruang yang kami pantau, itu memang dampak terbesar atau kelompok yang paling rentan dan paling dikorbankan, bisa dikatakan seperti itu, adalah perempuan," ujar Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan.

Siti Aminah atau Ami, turut menjelaskan bahwa perempuan menghadapi beberapa lapisan diskriminasi. Menurutnya, pertama, perempuan menghadapi diskriminasi di level keluarga. Kemudian yang kedua, perempuan juga menghadapi diskriminasi di level komunitas.

Terakhir, perempuan juga mengalami diskriminasi di level negara, di mana negara masih menggunakan pendekatan kepala keluarga dengan anggapan kepala keluarga bisa memberikan pandangan tanpa melibatkan perempuan. Hal tersebut membuat perempuan mengalami subordinasi, yang membuat pendapatnya diabaikan. 

3. Aktivitas tambang yang merusak alam, dapat membuat kehidupan perempuan sengsara

dm-player
Buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Kisah Perempuan dan TambangDiskusi dan peluncuran buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Senin (6/3/23) (IDNTimes/Dina Fadillah Salma)

Alam yang dirusak akibat pertambangan, dapat menghambat berbagai aktivitas manusia sebab sumber daya alam yang melimpah telah dihancurkan untuk kepentingan tertentu. Terutama, bagi perempuan. Menurut Ami, perempuan memiliki kedekatan dengan alam dan lingkungan yang sulit dipisahkan

"Dampak lingkungan itu berdampak terhadap kehidupan perempuan. Kehidupan perempuan otomatis kehidupan kita semua. Mengapa? Yang kadang kita tidak berhitung atau negara tidak melakukan adalah perempuan itu lebih lekat dengan alam. Misalnya, perempuan lebih lekat dengan tanah karena ia yang mengolah tanah. Perempuan lebih lekat dengan hutan karena ke hutanlah perempuan mendapatkan obat-obatan, di hutan lah perempuan mendapatkan bahan baku untuk kerajinan, untuk bertahan hidup. Kemudian air, perempuan membutuhkan lebih banyak air untuk menunjang kehidupan. Jadi ketika sumber daya alam rusak, kehidupan perempuan itu akan hancur, lebih rusak dibandingkan, misalnya laki-laki," tegas Ami.

Konflik alam yang dirusak akibat aktivitas pertambangan juga menjadikan perempuan lebih rentan untuk mendapatkan kekerasan berbasis gender, ungkap Ami. Sebab, kehidupan manusia sangat bergantung pada kondisi alamnya. 

Baca Juga: Endometriosis Menyerang 190 Juta Perempuan di Dunia

4. Dampak sosial akibat pertambangan adalah perkawinan anak hingga perdagangan manusia

Buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Kisah Perempuan dan TambangDiskusi dan peluncuran buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Senin (6/3/23) (IDNTimes/Dina Fadillah Salma)

Tak hanya aktivitas alam, kerusakan alam dan lingkungan hidup di area tambang akan menciptakan dampak sosial yang lebih luas. Salah satunya disebutkan Ami, yakni perkawinan anak yang semakin marak. 

"Bentuk kekerasan berbasis gender lainnya akibat pola-pola pembangunan yang merusak ini adalah perkawinan anak," kata Ami. 

Ketika alam rusak, tak dapat dipungkiri kerap terjadi perkawinan anak demi menunjang keberlangsungan ekonomi keluarga. Lebih jauh, Ami menegaskan dampak yang lebih luas yaitu terjadinya tindak pidana perdagangan orang. 

"Karena memang betul, konflik sumber daya alam dan tata ruang memang pihak yang paling dirugikan adalah perempuan," tambah Ami. 

5. Pelanggaran sumber daya alam setara dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia

Buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Kisah Perempuan dan TambangDiskusi dan peluncuran buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan', Senin (6/3/23) (IDNTimes/Dina Fadillah Salma)

Konflik sumber daya ini diakui Ami sangat merugikan orang-orang yang terlibat di dalamnya, terutama perempuan dan anak. Aspek ekonomi, sosial, dan budaya dapat turut terpengaruh sebagai akibat dari perselisihan terkait sumber daya alam dan tata ruang.

"Intinya kami mau menyatakan, pelanggaran sumber daya alam ini setara dengan pelanggaran HAM berat. Entah dikategorikan atau tidak, tapi ini menghancurkan dan membunuh secara perlahan tokoh masyarakat," tutup Ami. 

Buku 'Berontak Sebagai Syarat Kehidupan' banyak menyoroti konflik sumber daya alam yang memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat. Informasi di atas semoga dapat membantumu, ya!

Baca Juga: 10 Film Terbaik dari Sutradara Perempuan, Borong Piala Oscar!

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya