7 Dampak Negatif Pick Me Syndrome pada Pria, Pahami!

- Pria dengan pick me syndrome sering menjatuhkan pria lain demi merasa lebih unggul, menciptakan persaingan tidak sehat.
- Sindrom ini membuat pria menyembunyikan diri dan kehilangan jati diri, berujung pada krisis identitas yang sulit diatasi.
- Penekanan emosi untuk tampil 'ideal' bisa menimbulkan masalah psikologis dan mempengaruhi kesehatan mental secara keseluruhan.
Pick me syndrome sering kali dianggap hanya terjadi pada perempuan, padahal pria juga bisa mengalaminya. Dalam banyak kasus, sindrom ini membuat seseorang berusaha keras agar disukai dengan cara merendahkan kelompoknya sendiri. Hal ini berdampak pada harga diri, relasi, bahkan kesehatan mental secara keseluruhan.
Pada pria, efeknya bisa lebih kompleks karena menyangkut konstruksi maskulinitas yang selama ini dianggap ideal. Sering kali, pengidapnya tidak sadar bahwa tindakannya justru melemahkan dirinya sendiri. Artikel ini akan mengulas tujuh dampak negatif dari pick me syndrome pada pria agar kamu bisa lebih waspada dan mulai berbenah.
1. Merendahkan sesama pria demi validasi

Pria dengan pick me syndrome cenderung menjatuhkan pria lain agar tampak lebih unggul di mata orang lain, terutama perempuan. Mereka mungkin mengkritik maskulinitas umum dengan cara sinis, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya berbeda dan lebih baik. Sayangnya, tindakan ini justru memperkuat stereotip negatif dan menciptakan jurang antar pria.
Kebiasaan ini bisa menciptakan rasa tidak percaya dalam komunitas pria itu sendiri. Alih-alih membangun solidaritas, mereka justru menciptakan persaingan tidak sehat. Dalam jangka panjang, ini bisa memengaruhi hubungan sosial dan memperburuk kesehatan mental.
2. Mengorbankan jati diri demi disukai

Pick me syndrome mendorong pria untuk menyembunyikan kepribadiannya agar sesuai dengan ekspektasi tertentu. Demi mendapatkan validasi, mereka bisa mengubah gaya bicara, preferensi, atau bahkan nilai hidupnya. Tindakan ini perlahan mengikis rasa percaya diri dan keaslian dirinya.
Ketika seseorang terlalu sering menyesuaikan diri, ia bisa kehilangan arah dan merasa hampa. Kehidupan yang dijalani menjadi penuh kepura-puraan, membuatnya merasa tidak pernah cukup. Hal ini bisa berujung pada krisis identitas yang sulit diatasi.
3. Menekan emosi demi tampil ‘ideal’

Pria sering kali didorong untuk tidak menunjukkan emosi karena dianggap tidak maskulin. Dalam konteks pick me syndrome, tekanan ini menjadi lebih besar karena mereka ingin tampil kuat dan tidak 'cengeng'. Akibatnya, emosi negatif seperti marah atau sedih disimpan sendiri.
Penekanan emosi ini bisa menimbulkan berbagai masalah psikologis, seperti stres berkepanjangan dan kecemasan. Lama-lama, tubuh pun ikut terpengaruh dan bisa memunculkan gejala psikosomatis. Menjadi 'kuat' secara sosial tidak berarti harus mengabaikan kesehatan mental.
4. Membenarkan perlakuan tidak adil

Demi mempertahankan citra 'pria baik', pengidap pick me syndrome kerap membenarkan perlakuan yang sebenarnya tidak adil terhadap dirinya. Mereka bisa saja menerima perlakuan buruk dari pasangan atau rekan kerja dengan alasan tidak ingin terlihat lemah. Padahal, ini justru memperburuk situasi dan melemahkan harga diri.
Kebiasaan membenarkan ketidakadilan bisa membuat seseorang tidak tahu kapan harus berkata tidak. Dalam jangka panjang, ia rentan menjadi korban manipulasi atau relasi yang toxic. Menjadi baik tidak berarti harus selalu mengalah.
5. Mengalami burnout karena terlalu berusaha

Dalam upaya menjadi ‘pria ideal’, pengidap pick me syndrome bisa terlalu memaksakan diri untuk menyenangkan semua orang. Mereka mengambil terlalu banyak tanggung jawab dan lupa mengurus dirinya sendiri. Lama-kelamaan, ini bisa menyebabkan kelelahan mental yang serius.
Burnout tidak hanya mengganggu produktivitas, tapi juga berdampak pada kualitas hidup. Pria yang terus-menerus merasa harus membuktikan diri akan sulit merasa puas atau bahagia. Keseimbangan antara memberi dan menjaga diri sendiri sangat penting untuk mencegah hal ini.
6. Terjebak dalam hubungan yang tidak sehat

Pria dengan pick me syndrome sering kali takut kehilangan validasi, sehingga cenderung bertahan dalam hubungan yang tidak sehat. Mereka merasa tidak layak mendapatkan yang lebih baik dan terus memaafkan perilaku pasangan yang menyakitkan. Ini bisa memperparah luka batin dan memperburuk kondisi psikologis.
Hubungan semacam ini bukan hanya melelahkan, tapi juga bisa menghancurkan harga diri. Ketika seseorang terus bertahan hanya karena takut ditinggalkan, ia kehilangan kendali atas hidupnya. Hubungan yang sehat seharusnya saling menguatkan, bukan menguras.
7. Menghambat pertumbuhan pribadi

Pick me syndrome bisa membuat pria lebih fokus pada citra diri dibandingkan pengembangan diri yang sesungguhnya. Mereka lebih sibuk mencari pengakuan dari luar daripada menggali potensi dan memperbaiki kelemahan diri. Ini bisa menghambat kemajuan dalam karier maupun kehidupan personal.
Pertumbuhan pribadi membutuhkan kejujuran, refleksi, dan keberanian untuk berubah. Jika seseorang terlalu sibuk menjadi ‘pria yang disukai semua orang’, ia akan sulit mencapai versi terbaik dari dirinya. Kebebasan sejati datang ketika kamu bisa menjadi diri sendiri tanpa harus terus-menerus mencari pengakuan.
Penutupnya, pick me syndrome bukan sekadar masalah sepele, tapi bisa memberi dampak besar bagi hidup pria. Dengan menyadari gejalanya sejak dini, kamu bisa mulai membangun hubungan yang lebih sehat dengan dirimu sendiri dan orang lain. Ingat, menjadi autentik jauh lebih berharga daripada menjadi sempurna di mata orang lain.