Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pria Realistis vs Pria Idealistis: Mana yang Lebih Cepat Capek?

ilustrasi pria memakai cardigan
ilustrasi pria memakai cardigan (pexels.com/August de Richelieu)
Intinya sih...
  • Pria realistis menimbang sesuatu berdasarkan data dan pengalaman, jarang berharap terlalu tinggi.
  • Pria idealistis memandang dunia dari kacamata kemungkinan besar, percaya hidup bisa lebih baik kalau diperjuangkan.
  • Pria realistis menghadapi tekanan dengan logika dan rencana cadangan, jarang emosional tapi sering memendam kecemasan sendirian.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Perdebatan antara pria realistis dan pria idealistis sering terdengar seperti dua dunia yang gak pernah benar-benar bertemu. Yang satu berpijak pada fakta, yang lain hidup dari harapan. Keduanya sama-sama terlihat kuat, tapi diam-diam punya titik lelah masing-masing.

Dalam keseharian, perbedaan ini muncul dari cara mengambil keputusan sampai bagaimana memandang masa depan. Ada yang lebih memilih aman, ada yang berani ambil risiko demi mimpi. Tapi pertanyaannya, siapa sebenarnya yang lebih cepat capek secara mental?

1. Cara melihat kenyataan

ilustrasi pria dan wanita
ilustrasi pria dan wanita (pexels.com/Kentut Subiyanto)

Pria realistis terbiasa menimbang sesuatu berdasarkan data dan pengalaman. Dia jarang berharap terlalu tinggi karena lebih fokus pada apa yang mungkin terjadi. Hal ini bikin dia tampak tenang, tapi sebenarnya pikirannya terus bekerja keras.

Di sisi lain, pria idealistis memandang dunia dari kacamata kemungkinan besar. Dia percaya bahwa hidup bisa lebih baik kalau diperjuangkan. Optimisme inilah yang bikin semangatnya menyala, meski kadang berujung kecewa.

2. Sikap terhadap kegagalan

ilustrasi sabar terhadap keadaan (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi sabar terhadap keadaan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Bagi pria realistis, gagal adalah bagian yang sudah diperhitungkan. Dia cepat bangkit karena dari awal tidak menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Tapi terlalu sering bersiap untuk gagal juga bisa melelahkan.

Pria idealistis justru sering jatuh dari ketinggian harapan. Ketika gagal, rasa sakitnya bisa terasa berkali lipat. Meski begitu, justru dari situ sering lahir tekad baru.

3. Cara menghadapi tekanan

ilustrasi laki-laki terkena tekanan sosial (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi laki-laki terkena tekanan sosial (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Pria realistis menghadapi tekanan dengan logika dan rencana cadangan. Dia jarang emosional, tapi sering memendam kecemasan sendirian. Tampak tenang di luar, tapi pikirannya penuh perhitungan.

Sementara pria idealistis lebih mengandalkan keyakinan pribadi. Tekanan sering dia lawan dengan sugesti positif. Meski tampak ringan, batinnya bisa sangat rapuh saat keyakinan itu runtuh.

4. Hubungan dengan orang lain

ilustrasi orang nongkrong di cafe (pexels.com/Henri Mathieu-Saint-Laurent)
ilustrasi orang nongkrong di cafe (pexels.com/Henri Mathieu-Saint-Laurent)

Pria realistis biasanya tidak mudah berharap pada manusia. Dia menjaga jarak agar tidak terlalu kecewa. Akibatnya, hubungan terasa aman tapi cenderung dingin.

Sebaliknya, pria idealistis lebih total dalam memberi dan percaya. Hubungannya sering lebih hangat, tapi juga rawan terluka. Semakin besar harapan, semakin besar pula energi emosional yang terkuras.

5. Pandangan soal masa depan

ilustrasi pria berjalan sambil mendengarkan lagu (pexels.com/grzegorz)
ilustrasi pria berjalan sambil mendengarkan lagu (pexels.com/grzegorz)

Masa depan bagi pria realistis adalah sesuatu yang harus disiapkan sejak sekarang. Dia jarang bermimpi terlalu jauh tanpa perhitungan. Tapi hidup yang terlalu penuh rencana juga bisa melelahkan.

Pria idealistis memandang masa depan sebagai ladang mimpi. Dia hidup dari harapan akan hari esok yang lebih baik. Meski penuh semangat, menunggu mimpi terwujud bisa jadi perjalanan yang menguras tenaga.

Realistis membuat pria cepat lelah karena terus waspada dan berjaga. Idealistis bikin pria capek karena berharap tanpa henti. Keduanya bukan tentang benar atau salah, tapi tentang bagaimana seseorang bertahan.

Pada akhirnya, yang paling capek adalah mereka yang tak bisa berdamai dengan pilihannya sendiri. Entah realistis atau idealistis, hidup tetap butuh jeda. Karena lelah bukan soal cara berpikir, tapi soal seberapa lama hati dipaksa kuat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Wahyu Kurniawan
EditorWahyu Kurniawan
Follow Us

Latest in Men

See More

7 Pesona Melliza Xaviera di Miss International 2025, Anggun dan Berkelas!

28 Nov 2025, 23:11 WIBMen