Pura Hyang Guru Simbol Toleransi Beragama di Balikpapan. (IDN Times/Hilmansyah)
Ia menilai, kualitas toleransi di Indonesia masih rapuh dan mudah dipicu oleh isu-isu non-agama seperti politik, ekonomi, atau bahkan ketidaksukaan individu tertentu yang kemudian memprovokasi kelompoknya. Jeirry mengatakan, belum ada perubahan yang signifikan dalam memperkuat ketahanan masyarakat terhadap provokasi berbasis agama.
“Langkah-langkah pemerintah belum menjawab persoalan bagaimana membangun ketahanan terhadap kebenaran dan toleransi itu sendiri,” ucap dia.
Jeirry menuturkan, upaya memperkuat ketahanan sosial penting agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu agama yang kerap dibalut kepentingan lain. Ia menyoroti masih lemahnya terobosan konkret dalam menangani akar persoalan intoleransi.
“Yang terjadi sekarang, langkah pemerintah cenderung seperti pemadam kebakaran. Setelah gejolak mereda, persoalan yang sama bisa muncul lagi karena ketahanan masyarakat tidak dibangun,” kata dia.
Lebih lanjut, Jeirry menilai pemerintah sering terjebak dalam pencitraan seremonial dalam menunjukkan toleransi. Ia mencontohkan kegiatan lintas agama yang digelar secara simbolik, namun tidak menyentuh akar persoalan di tingkat masyarakat bawah.
“Sekarang ini terlalu banyak bahasa simbolik. Kita ini rukun, kita ini toleran, tapi di akar rumput masih banyak kerawanan yang tidak tersentuh,” jelasnya.
Dalam pandangannya, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) juga perlu direformulasi. Ia menilai FKUB sering kali terjebak dalam formalitas yang justru menimbulkan masalah baru.
“FKUB mestinya memfasilitasi agar rumah ibadah bisa berdiri tanpa masalah. Tapi sekarang malah jadi lembaga yang menentukan boleh atau tidak boleh berdiri rumah ibadah di suatu tempat. Itu keliru,” tegas Jeirry.
Menurutnya, tugas utama FKUB adalah menjadi jembatan antarumat beragama ketika muncul resistensi di masyarakat. “Kalau ada keberatan, FKUB harus turun untuk mendekati komunitas masing-masing dan mencari solusi, bukan justru melarang,” tambahnya.