Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi toleransi beragama. (IDN Times/Sukma Shakti)
Ilustrasi toleransi beragama. (IDN Times/Sukma Shakti)

Intinya sih...

  • Pemerintah dianggap belum bisa menjawab ketahanan terhadap kebenaran dan toleransi

  • MUI nilai ada hal positif dalam gerakan moderasi beragama di masyarakat

  • Peran Pemda sangat penting dalam menjaga kerukunan umat beragama

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi momen refleksi bagi banyak kalangan. Salah satunya kondisi toleransi umat beragama di Indonesia.

Dua tokoh dari latar belakang berbeda, yakni Pendeta GPIB dan mantan Kepala Humas PGI, Pdt. Jeirry Sumampow, serta Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Masduki Baidlowi, memberikan pandangan mereka terkait isu ini.

Menurut Pdt. Jeirry, pemerintahan Prabowo-Gibran memang telah mengambil beberapa langkah untuk merespons kasus intoleransi. Ia mencontohkan kunjungan Gibran ke sejumlah daerah seperti Padang, Depok, dan Sukabumi yang pernah menghadapi persoalan kebebasan beragama. Namun, ia menilai langkah-langkah tersebut masih bersifat reaktif.

“Ukurnya itu bukan dari banyak atau sedikitnya kasus, tapi dari kemungkinan kasus ini muncul kembali di tempat yang sama atau di tempat lain,” ujar Jeirry kepada IDN Times, Sabtu (18/10/2025).

1. Pemerintah dianggap belum bisa menjawab ketahanan terhadap kebenaran dan toleransi

Pura Hyang Guru Simbol Toleransi Beragama di Balikpapan. (IDN Times/Hilmansyah)

Ia menilai, kualitas toleransi di Indonesia masih rapuh dan mudah dipicu oleh isu-isu non-agama seperti politik, ekonomi, atau bahkan ketidaksukaan individu tertentu yang kemudian memprovokasi kelompoknya. Jeirry mengatakan, belum ada perubahan yang signifikan dalam memperkuat ketahanan masyarakat terhadap provokasi berbasis agama.

“Langkah-langkah pemerintah belum menjawab persoalan bagaimana membangun ketahanan terhadap kebenaran dan toleransi itu sendiri,” ucap dia.

Jeirry menuturkan, upaya memperkuat ketahanan sosial penting agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu agama yang kerap dibalut kepentingan lain. Ia menyoroti masih lemahnya terobosan konkret dalam menangani akar persoalan intoleransi.

“Yang terjadi sekarang, langkah pemerintah cenderung seperti pemadam kebakaran. Setelah gejolak mereda, persoalan yang sama bisa muncul lagi karena ketahanan masyarakat tidak dibangun,” kata dia.

Lebih lanjut, Jeirry menilai pemerintah sering terjebak dalam pencitraan seremonial dalam menunjukkan toleransi. Ia mencontohkan kegiatan lintas agama yang digelar secara simbolik, namun tidak menyentuh akar persoalan di tingkat masyarakat bawah.

“Sekarang ini terlalu banyak bahasa simbolik. Kita ini rukun, kita ini toleran, tapi di akar rumput masih banyak kerawanan yang tidak tersentuh,” jelasnya.

Dalam pandangannya, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) juga perlu direformulasi. Ia menilai FKUB sering kali terjebak dalam formalitas yang justru menimbulkan masalah baru.

“FKUB mestinya memfasilitasi agar rumah ibadah bisa berdiri tanpa masalah. Tapi sekarang malah jadi lembaga yang menentukan boleh atau tidak boleh berdiri rumah ibadah di suatu tempat. Itu keliru,” tegas Jeirry.

Menurutnya, tugas utama FKUB adalah menjadi jembatan antarumat beragama ketika muncul resistensi di masyarakat. “Kalau ada keberatan, FKUB harus turun untuk mendekati komunitas masing-masing dan mencari solusi, bukan justru melarang,” tambahnya.

2. MUI nilai ada hal positif

Ketua MUI Masduki Baidlowi (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Sementara itu, Ketua MUI Masduki Baidlowi, menilai dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, terdapat hal positif yang patut diapresiasi. Ia menyebut Kementerian Agama telah aktif mendorong gerakan moderasi beragama di berbagai lapisan masyarakat.

“Gerakan moderasi beragama di kampus-kampus dan masyarakat berjalan cukup baik. Respons publik pun positif, dan ini layak diapresiasi,” ujar Masduki.

Menurutnya, inisiatif ini menjadi salah satu indikator yang menunjukkan perhatian pemerintah terhadap toleransi. Meski demikian, Masduki mengingatkan upaya tersebut belum bisa menjadi satu-satunya ukuran.

Masih ada tantangan besar dalam perizinan rumah ibadah, terutama di daerah-daerah di mana kelompok agama tertentu menjadi minoritas.

“Masih ada kasus umat Kristen yang kesulitan mendirikan gereja, terutama di daerah minoritas. Tapi hal seperti ini bisa diatasi kalau pemerintah daerah memiliki pendekatan yang baik,” kata dia.

3. Peran Pemda sangat penting

Ketua MUI Masduki Baidlowi. (ANTARA FOTO/Anom Prihantoro)

Masduki menekankan pentingnya peran pemerintah daerah (Pemda) dalam menjaga kerukunan umat beragama. Ia mengingatkan dulu Kementerian Dalam Negeri pernah memiliki indikator akurat untuk menilai tingkat toleransi suatu daerah.

“Toleransi itu sangat bergantung pada bagaimana Pemda memberikan dukungan terhadap kehidupan antarumat beragama, termasuk lewat pendanaan dan fasilitasi kegiatan kerukunan,” jelasnya.

Masduki menyampaikan, daerah yang mengalokasikan anggaran dan mendukung forum-forum kerukunan biasanya memiliki tingkat toleransi yang lebih baik.

“Kalau forum-forum seperti itu tidak diurus atau tidak diberi dana, biasanya yang terjadi justru miskomunikasi dan potensi konflik,” ujarnya.

Terkait kasus-kasus pendirian rumah ibadah, Masduki menegaskan konstitusi menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga negara. “Pasal 29 UUD 1945 menjamin setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadahnya. Jadi melarang pendirian tempat ibadah jelas melanggar konstitusi,” imbuhnya.

Editorial Team