Mungkin tujuan Polri baik, yaitu, untuk menjaga ketertiban selama Pilkada dengan mengarahkan masyarakat untuk lebih fokus pada pesan-pesan positif dan kritik terhadap kebijakan kandidat. Tapi, 3 hal ini bersifat krusial dalam implementasi patroli siber agar pihak berwenang tidak melanggar hak berpendapat dari pengguna media sosial.
Pertama, penggunaan definisi hate speech dan pesan negatif bernuansa SARA yang tegas dan jelas sehingga tidak membuat masyarakat bingung atau merasa terancam akan dipidana ketika berinteraksi di media sosial. Batasan-batasannya juga perlu diperjelas, misalnya, apakah patroli siber ini hanya berlaku untuk pesan yang secara eksplisit menyebutkan nama kandidat dan atribut-atribut yang menyertainya (SARA).
Kedua, transparansi proses. Hal ini penting untuk meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada pelanggaran privasi dalam proses mencari hate speech di media sosial seperti yang dimaksud. Tentu saja masyarakat tidak ingin informasi-informasi bersifat pribadi bisa diakses negara dengan argumen menertibkan Pilkada.
Ketiga, ukuran kesuksesan. Polri dan pihak-pihak terkait harus memiliki ukuran-ukuran kesuksesan atau efektivitas dari patroli siber ini. Jika yang dilakukan kemudian hanya tindakan pidana, kemungkinannya adalah tidak akan perubahan mindset yang signifikan dari masyarakat mengenai bahayanya hate speech. Seperti pengguna narkoba yang hanya dipenjara, tanpa direhabilitasi.
Pada dasarnya, Polri perlu meyakinkan pengguna media sosial di Indonesia bahwa tidak ada tindakan-tindakan yang dilakukan Polri yang akan mencederai kebebasan berpendapat dimana ini adalah hak yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945. Lebih jauh lagi, harapannya tidak akan ada kejadian salah tangkap yang disebabkan patroli siber ini.