101 Climate Change Action: Mengulik Semua tentang Perhutanan Sosial

Kamu harus tahu soal perhutanan sosial guys!

Jakarta, IDN Times - Swary Utami Dewi, pegiat isu perhutanan sosial, pemberdayaan masyarakat, hingga perubahan dan krisis iklim, mengungkapkan perjalanannya dalam menempatkan masyarakat serta masyarakat adat di sekitar hutan, sebagai pelaku utama pelestarian hutan.

Hal itu disampaikan Utami dalam program “101 Climate Change Actions” yang diselenggarakan IDN Times pada 22 Desember 2021. IDN Times menjadikan Desember sebagai bulan Peduli Perubahan Iklim. Program tersebut tayang di Instagram @idntimes, setiap Senin-Jumat pukul 16.00 hingga 17.00 WIB.

Berikut hasil wawancara selengkapnya dengan perempuan yang akrab disapa Tami itu.

Baca Juga: Made Janur CNN Heroes 2021, Perlu Orang Gila Biar Bebas Sampah Plastik

Kesibukannya apa sekarang?

Seperti biasa, keliling melihat beberapa hal yang dilakukan masyarakat seperti advokasi. Kita kan lebih banyak advokasi tingkat nasional. Misalnya ada hal-hal yang perlu kita komunikasikan untuk kebijakan khususnya untuk perhutanan sosial, itu yang kita bantu. Jadi bagian dari apa yang disebut sebagai Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial.

Kalau di era Presiden Jokowi itu ada semacam tim khusus. Nah, tim ini sebenarnya embrionya sudah sejak zaman Menteri MS Kaban. Saat itu, membentuk yang disebut Working Group Pemberdayaan itu khusus untuk beberapa temuan LSM yang dulu memang punya concern, penggiat, dan kita kemudian diajak untuk bagaimana memikirkan kebijakan yang lebih baik.

Mulai hadir kemudian 2007 itu beberapa peraturan menteri misalnya Permen LHK soal Hutan Desa, kemudian ada HKM dan segala macam. Di zaman periode Pak Jokowi, 2015, semua yang kita sebut salam lima jari, lima skema itu, tergabung yang disebut Perhutanan Sosial,” jelas Tami.

Apa yang membuat menekuni isu perhutanan sosial yang notabene salah satu isu sentral dalam perubahan iklim?

Dulu waktu kecil kebetulan pernah tinggal di Kalimantan Tengah, terus punya keluarga kan Dayak Ngaju ya, Dayak itu kan biasanya lekat sama hutan. Jadi, meskipun aku bukan dari petani atau apa tapi aku punya keluarga yang mereka petani hutan. Lalu hidup dengan cerita-cerita sekitar empat atau lima tahun waktu kecil itu dengan dongeng dari nenek buyut dari mamaku karena mamaku kan ibunya wafat waktu kecil.

Dengan cerita-cerita tentang hutan, tentang bagaimana hubungan antara manusia Dayak dengan hutan, jadi kalo dulu itu nenek cerita misalnya kalau dia mau bertanam kan bergilir ya dari satu tempat ke tempat lain, kalau mau melakukan itu dia melihat tanda-tanda ada Burung Tingang atau tidak.

Burung Tingang itu semacam Burung Rangkong. Dia melihat ke arah mana, maka mulainya dari titik situ. Misalnya mau buka hutan itu, ada tata caranya. Tidak bisa asal. Kemudian bagaimana hutan bagi orang Dayak Ngaju. Misalnya di situ mereka mempercayai ada tempat roh nenek moyang, ada semacam beberapa spirit dan segala macam,” ucap dia.

Kalau aku mikir sebenarnya dulu saat aku pergi, ada orang Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, kita misalnya tidak bisa masuk ke daerah situ karena kata mereka ada jin yang menjaga bagi orang Dayak di sana. Tapi kemudian aku sadar ternyata itu adalah cara mereka untuk menjaga kawasan lindung supaya manusia tidak merambah ke sana.

Kawasan lindung di sana untuk mata air, daerah resapan, dan segala macam, kalau dirambah pasti akan rusak. Nah, cara bijak mereka itu adalah dengan membuat tata cara adat sendiri untuk menghormati itu dengan mitologi-mitologi.

Kenapa kemudian tertarik dengan perhutanan sosial. Dulu kan sama teman-teman LSM ini kan kita itu kalau melihat sesuatu yang masyarakat di situ ada belasan mungkin puluhan juta orang, walaupun tidak ada data yang jelas, tetapi paling tidak itu kalau misalnya ada data dari C4 dan segala macam yang masih kita pegang, sepertiga dari orang miskin di Indonesia itu kan tinggal di kawasan hutan negara nih, kalau sekarang, irisan dari desa yang masuk kawasan hutan itu sekitar 35.000 desa.

Kalau data yang punya BPS, meskipun agak berbeda dengan yang punya kementerian desa dan beberapa kementerian lain, kita bisa melihat paling tidak sekitar 50 persen desa-desa itu ada di desa kawasan hutan. Nah, di situ kan tinggal orang yang seperti keluarga saya kan sudah turun-temurun, atau misalnya ada banyak sekali komunitas yang memang sudah tahu bagaimana cara menjaga hutan karena itu sudah menjadi bagian dari hidup mereka, tidak perlu diajarin mereka sudah pintar.

Namun, sayangnya kebijakan masa lalu, yang dibuat kaya siapa? Orang yang punya HPH dan HTI yang mereka tinggalnya di mana, kemudian dengan modal yang besar, kemampuan negosiasi, dan segala macam, mereka menguasai hutan. Nah, nanti kalau banjir yang kena pasti masyarakat di situ.

Sementara mereka yang misalnya kaya kemudian bisa meneteskan kekayaan ke bawah, ternyata tidak juga. Nah, itu jadi cita-cita untuk melihat bahwa ini lho, orang-orang yang tinggal di situ, sudah turun temurun, maupun masyarakat yang lokal, saya tahu ada yang transmigran yang sudah dua atau tiga generasi, yang memang menggantungkan kehidupan dari kawasan hutan, itu kok mereka tidak terwadahi?

Nah, kebijakan perhutanan sosial ini yang kemudian kita coba untuk advokasi. Kalau dulu ya garis keras. Demo, demo, dan demo terus. Ya, gak apa-apa sih. Cuman ternyata ada juga cara yang soft advocacy yang pada saat masuk ke situ, saling memengaruhi dengan pengambil kebijakan bagaimana cara melihat kita dan juga bagaimana cara memahami mereka dan syukurnya sekarang klop. Itulah perhutanan sosial tadi.

Apa sih perhutanan sosial itu?

101 Climate Change Action: Mengulik Semua tentang Perhutanan SosialIlustrasi hutan (IDN Times/Sunariyah)

Perhutanan sosial itu secara sederhana kalau dilihat dari aturannya, kalau dari dulu itu kan kita punya beberapa aturan, cuma kalau sekarang ini, dengan segala hormat, kan orang banyak yang mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja/UU CK).

Nah, tapi kalau misalnya khusus untuk perhutanan sosial, ada respek yang memang harus mau tidak mau diberikan kepada pemerintah karena dulu itu perhutanan sosial, terwadahinya hanya di Peraturan Menteri dengan berbagai macam penamaannya.

Nah, sejak ada UU CK ini, yang Nomor 11 Tahun 2020, itu ada satu pasal khusus Pasal 29 A dan B yang menjelaskan dan men-declare tentang perhutanan sosial. Kalau sesuatu itu di-declare, yang benar-benar dibunyikan dalam satu pasal, itu kan ada pengakuan dari negara.

Nah, pengakuan itu kemudian yang dalam undang-undang itu yang mengubah peraturan pemerintah (PP) yang lebih mendukung, ada PP Nomor 23 yang di situ juga khusus bagaimana penyelenggaraan kehutanan. Ada satu bab khusus tentang perhutanan sosial.

Kalau sekarang, meskipun sebelumnya sudah ada Peraturan Menteri soal Perhutanan Sosial Nomor 83, kalau sekarang khusus turunan dari UU CK ke PP Nomor 23, sekarang ada lagi yang ke bawah Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2021 itu khusus tentang Perhutanan Sosial. Jadi, pada saat dia dibunyikan di undang-undang, kemudian yang kita lakukan dalam perhutanan sosial sudah banyak kemajuan.

Perhutanan sosial itu adalah satu kesempatan, privilege, akses, yang khusus diberikan kepada masyarakat yang memang sudah lama menggantungkan hidupnya kepada hutan. Jadi kalau kita bilang menggantungkan hidup itu bukan orang kaya menjadi semakin kaya. Bukan seperti investor besar yang dia datang, bukan.

Tapi betul-betul kalau kita ingat, data terakhir masih mencatat sepertiga orang miskin di Indonesia masih tinggal di kawasan hutan. Jadi bayangkan, mereka menggantungkan diri dalam artian kalau misalnya mereka tidak mengakses hutan untuk hasil hutan bukan kayu, misalnya untuk madu, jual rotan, dan segala macam, mereka sudah tidak ada lagi pegangan hidup.

Inilah yang diberikan, akses melalui perhutanan sosial. Perhutanan sosial ini sekarang memberikan akses 12,7 juta hektare yang dicanangkan untuk masyarakat. Sekarang yang sudah keluar persetujuan untuk memberikan kesempatan hak kelola buat masyarakat selama 35 tahun dan itu bisa diperpanjang kepada kelompok masyarakat maupun desa.

Jadi nanti ada cara verifikasi dan segala macam dan saya serta teman-teman sering kali terlibat di situ. Nah, bedanya perhutanan sosial adalah, penguatan ekonomi yang diberikan kepada masyarakat itu tidak hanya ekonomi karena kalau ekonomi semata itu pasti orang menjadi kaya gitu kan, kita dulu banyak belajar, tapi ekologinya rusak.

Tapi kemudian secara sosial itu tidak kuat. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Pilar perhutanan sosial itu yang unik ada tiga; pilar ekonomi, berharap bahwa dengan segala macam upaya usaha kelola yang dilakukan maka masyarakat miskin yang sepertiga tadi bisa meningkat.

Kemudian secara ekologi, karena di kawasan hutan, adalah keharusan bahwa dikelola usaha tersebut dan penghidupan mereka secara lestari. Mereka biasanya sudah sangat pintar tapi perlu difasilitasi dan dikuatkan misalnya dihubungkan dengan pasar dan segala macam. Yang ketiga adalah pilar sosial. Karena mereka dalam bentuk kelompok baik dari lembaga desa dan kelompok masyarakat. Jadi ibaratnya ‘guyub’. Konteks perhutanan sosial yang luar biasa seperti itu dan membuat saya selalu cinta sama perhutanan sosial.

Bagaimana melihat program perhutanan sosial ini sudah secara signifikan berkontribusi untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan?

Ini fakta yang saya temui. Fakta itu kan bukan cuma angka. Kalau misalnya saya turun evaluasi ke masyarakat. Untuk tahu misalnya bahwa kehidupan mereka jadi lebih baik, saya nanya nya begini ‘Bu, kalau dulu ingin menyekolahkan anak? Ibu pakai jual kambing atau gak?’

Kalau di Jawa misalnya ‘Ibu utang sama tengkulak atau gak sebelum ada perhutanan sosial yang Ibu pegang beberapa tahun lalu?’ Jawabannya rata-rata begitu, ada jeratan utang tengkulak dan segala macam. Mereka misalnya harus mengutang ke tetangga dan jualan kambing padahal kambingnya tidak banyak untuk menyekolahkan anak paling tidak sampai SMP dan SMA.

Nah, semenjak ada perhutanan sosial, sudah tidak sekarang. ‘Kok sudah gak, bu?’ ‘Sekarang saya sudah punya ini jadi saya bisa menabung dan segala macam.’ Jadi cara mereka itu seperti itu. Kalau dulu mereka makannya sehari sekali, sekarang setelah ada perhutanan sosial ada tiga kali sehari.

Mereka bukan gaya kita yang pada saat pandemik kebingungan mencari sumber pangan, kalau mereka tidak. Nah, kebetulannya itu ada dari Kata Data. Jadi mereka itu membuat survei kalau tidak salah pada November 2020. Di situ menegaskan bahwa hadirnya HKm (Huan Kemasyarakatan) hutan desa bisa memberikan dampak signifikan untuk peningkatan pendapatan.

Jadi rata-rata itu sekitar 40 hingga 50 persen mengatakan mereka dua sampai tiga kali lipat. Dampak ekonomi: meningkatnya produksi, pendapatan, dan penyerapan. Dari Prof. Mudrajat Maruf, 2018, membuktikan dampak ekonomi program adalah meningkatnya produksi pendapatan, kemudian penyerapan tenaga kerja, terlepasnya petani dari jerat kemiskinan, kemudian mereka bisa punya rumah sendiri, punya beberapa hal, kepemilikan sepeda motor dan lain-lain.

Kalau khusus Kata Data 2020, dulunya itu kebun dan ladang di kawasan hutan merupakan sumber penghasilan sampingan, kini menjadi sumber penghasilan utama. Peningkatan pendapatan mengaku itu sebesar 98,4 persen. Pendapatan naik dua kali lipat 46 persen, pendapatan naik antara dua sampai tiga kali lipat 25,8 persen. Nah itu dari profesor peneliti UGM sama satu lagi itu survei dari Kata Data yang independen.

Itu kira-kira dan saya pikir mungkin akan terjadi hal yang sama juga untuk tahun ini. Mudah-mudahan ada survei dan penelitian yang membuktikan bahwa signifikasi penelitian sosial itu memang sangat nyata.

Di Gorontalo saya melihat bagaimana kelompok masyarakat menanam mangrove. Sedikit banyak masih ada kaitannya dengan perhutanan sosial. Misalnya melihat bagaimana kelompok-kelompok masyarakat punya daya untuk menanam mangrove dalam rehabilitasi. Di banyak tempat saya temui kebetulan untuk program pemulihan ekonomi nasional, PEN Mangrove.

Saya pikir teman-teman KLHK dan BRGM sangat cerdas. Karena gini, PEN itu secara sederhana seperti BLT. Kalau BLT biasa, itu ditaruh di kardus, ada sembako, ditaruh uang, itu kan habis ya, konsumtif. Nah, saat aku turun ke lapangan melihat program PEN Mangrove ini, itu ternyata dengan memberikan stimulus berupa bibit kepada masyarakat yang memang sudah terbiasa di mangrove itu, baik kelompok nelayan maupun wisata, dan segala macam.

Mereka mendatangkan bibit sendiri dari sekitar. Jadi per bibit mereka dihargai berapa. Di masa pandemik ini, sudah selama dua tahun. Kemudian misalnya nanti ada Hari Orang Kerja, seperti semacam kita membayar apa gitu dan itu dikeluarkan uang oleh negara. Nah, ternyata yang terjadi itu bukan konsumtif. Aku sebut produktif karena mereka mendapat ‘uang’ selama pandemik seperti halnya BLT.

Nah, uang ini kemudian bisa mereka pakai sehari-hari. Tapi, stimulusnya kan lewat mangrove ya. Menanam mangrove ini bukan menanam belaka. Ini semacam lokomotif yang karena masyarakat di sana sangat bergantung pada mangrove, kan banyak nelayan pesisir dan kelompok masyarakat yang lain, kalau tidak ada mangrove, mereka harus melaju lebih jauh ke laut untuk cari ikan.

Kalau mangrove nya bagus, tempat berpijaknya bagus, mereka lebih dekat ke laut. Selain itu, ekowisatanya juga berkembang. Kalau mangrove nya bagus, ada berbagai macam hasil turunan dari situ. Ada juga sirup mangrove yang bisa diusahakan oleh ibu-ibu. Nah, bibit mangrove inilah yang kemudian menjadi stimulus dan oleh masyarakat karena kelembagaannya lebih kuat, itu diteruskan.

Jadi sebenarnya tidak usah terlalu bayar biaya perawatan pasti mereka bayar. Nah, PEN Mangrove ini pintar karena tidak sekadar tanam bibit, tetapi terusan-terusannya, dampaknya itu bibit dipelihara oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat selain di Papua dan di banyak tempat saling bertukar ilmu. Penguatan gender perempuan ada di situ dan di banyak tempat.

Kemudian secara sosial juga mereka lebih kompak. Misalnya tercatat yang ikut PEN Mangrove itu 50 kepala keluarga. Tapi, ternyata di banyak tempat, sekampung yang ikutan, bahkan ada yang pakai upacara adat. Sesudahnya mangrove itu diharapkan mereka pelihara dan berdampak ekologis, sosial, dan ekonomi. Jadi cerdasnya di situ. PEN Mangrove mendorong banyak aspek.

Pernah tidak punya pengalaman mencoba untuk mengadvokasi atau meyakinkan masyarakat adat atau masyarakat sekitar hutan untuk bergabung dengan program perhutanan sosial ini?

101 Climate Change Action: Mengulik Semua tentang Perhutanan SosialSwary Utami Dewi, narasumber program "101 Climate Change Actions". (Tangkapan Layar instagram.com/idntimes)

Yang pertama itu adalah keputusan untuk bergabung atau tidak dan memilih apa yang cocok bagi skema masyarakat karena ada lima; hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Itu adalah pilihan mereka. Jadi kita ini, teman-teman pendamping bukan orang yang mengatur.

Tapi memang yang diperlukan itu adalah masyarakat itu kadang kalau saat kita datang merasa sedang terancam misalnya infiltrasi sawit, tambang, tambak di pesisir. Ini kan daerah kita kok orang luar yang menguasai. Jadi bagaimana caranya supaya mereka bisa mempertahankan kawasan kelola nya.

Kadang-kadang itu mereka tidak tahu bukan karena mereka tidak tahu, tapi karena informasi itu belum masuk ke mereka. Nah, pada saat diinformasikan bahwa ada skema perhutanan sosial yang memang memberikan privilege, respek, dan pengakuan kepada masyarakat dengan prosedur dan tata cara tertentu, maka ini bisa membuat masyarakat lebih aman.

Karena 35 tahun dan bisa diperpanjang kembali maka misalnya tambang tidak boleh masuk dan segala macam. Jadi itu cara mereka untuk tetap mengamankan wilayah kelola mereka dan negara mengakui. Nah, kenapa kemudian diberikan lima skema yang bervariasi. Jadi HKM variasinya juga banyak.

Hutan kemasyarakatan itu ada yang kayu dan nonkayu. Kemudian ada ekowisata, pola-pola kemitraan juga seperti itu karena di situ adalah mengakui keberagaman yang ada di masyarakat. Pada saat ada wadah untuk mengakui keberagaman masyarakat itu, tugas kita sebenarnya itu adalah memberikan penyadaran dan pemberian informasi bahwa masyarakat itu bisa.

Negara itu sekarang punya wadah untuk mengakui secara legalitas. Bukan hanya itu. Legalitas itu keluar kemudian ada berbagai macam fasilitas, pendampingan, yang memang hak mereka untuk bisa lebih berkembang hingga bisa sama. Misalnya, usaha bisa mereka lakukan. Kemudian yang Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) bisa menjadi koperasi.

Nah, variasi itu diberikan oleh negara karena kita mengakui perbedaan praktik-praktik pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan masyarakat. Dan itu tidak boleh maksa. Tapi harus sesuai dengan apa yang mereka pikir cocok, tepat, dan sesuai dengan kondisi di lingkungannya. Misalnya di sini adatnya kuat, kita kejar.

Misalnya kalau hutan adat mungkin karena prosedurnya beda, harus pakai Perda segala macam, di banyak tempat hutan desa dikelola secara adat. Tapi di tempat lain hutan desa bisa lebih dikelola secara modern tidak pakai adat, tidak apa-apa.

Atau di banyak tempat karena ternyata kelompok masyarakatnya lebih heterogen, ada pendatang yang sudah transmigrasi dan sudah berbaur dengan orang lokal, mereka merasa lebih cocok menggunakan hutan kemasyarakatan, tidak apa-apa juga.

Ada juga misalnya kalau sudah ada satu perusahaan, misalnya mereka mau kerja sama dengan masyarakat dan mereka bilang harus lebih dikuatkan melalui pola kemitraan, bisa juga. Tugas kita adalah menguatkan bahwa pilihan mereka itu tepat dan menguatkan kapasitas sehingga mereka bisa lebih berdaya.

Karena sering kali masalahnya itu bukan karena masyarakatnya tidak bisa, tapi karena mereka punya budaya yang berbeda. Pada saat dimasukan ke legalitas, budaya ini kan ada peralihan, nah ini yang harus dibantu untuk penguatan.

Dan juga kita tetap harus mencoba memastikan dan bergandengan tangan bahwa saat mereka menggunakan peningkatan kapasitas itu, itu yang tepat bagi mereka. Tidak hanya itu, ada perluasan jaringan dan pengembangan pasar dan segala macam. Itu kira-kira konteks perhutanan sosial.

Bagaimana menjelaskan signifikansi dari pentingnya kesuksesan perhutanan sosial untuk mitigasi perubahan iklim dan juga mengatasi krisis iklim?

101 Climate Change Action: Mengulik Semua tentang Perhutanan SosialIDN Times/Dhana Kencana

Ini contoh kasus ya. Pada saat kita menyebutkan tiga aspek perhutanan sosial yang sudah terberikan. Aspek ekonomi bukan ekonomi semata tapi ada aspek ekologis yang dikelola secara sosial. Aspek ekologisnya itu sangat kuat. Itu karena kita tahu bahwa di banyak tempat masyarakat misalnya mereka menjaga hutannya karena mereka tahu bahwa hutan itu membuat lebih adem. Kemudian, cara-cara orang Dayak melindungi kawasan lindung dengan berbagai mitologi.

Lalu pola-pola agroforestri yang misalnya di banyak tempat memadukan kayu dengan buah-buahan dan ternyata semua terbukti bahwa secara ilmiah sosial, semakin banyak kayu, semakin banyak itu diupayakan masyarakat, maka penyerapan emisi karbon akan dilakukan. Kemudian, masyarakat itu kalau mereka dapat persetujuan perhutanan sosial, salah satu yang harus dilakukan dalam rangka kawasan kelola adalah menjaga supaya tidak longsor misalnya.

Mereka tahu caranya, tanam pohon. Kalau mereka melakukan itu, itu berfungsi untuk mitigasi. Mereka juga harus memastikan tidak ada pencurian kayu. Banyak ibu-ibu misalnya di Aceh, bahkan ikutan patroli supaya aman. Terus yang menarik adalah aman dari kebakaran hutan. Tahu sendiri kan kalau kebakaran hutan itu emisi karbonnya luar biasa.

Nah, itu contohnya. Kemudian ada juga di kawasan mangrove di pesisir itu kan ada yang dikelola perhutanan sosial. Kita tahu di dalam mangrove tidak hanya ada bakau, tetapi ada juga lamun, padang lamun, dan segala macam. Mangrove itu kan punya kemampuan menyerap emisi karbon sebanyak dua sampai tiga kali lipat. Kebayang kan bagaimana kalau ekosistem mangrove itu terus dijaga. Dengan semua ini, maka sumbangan mereka terhadap emisi karbon itu sangat terasa sekali.

Untuk adaptasi, di banyak tempat, ombaknya itu semakin tinggi. Tapi masyarakat tahu bagaimana bibit yang kuat. Bibit lokal itu kata mereka biasanya lebih kuat untuk menahan terjangan ombak. Ada juga bibit tertentu yang jika ditanam akan menjadi lebih kuat karena perubahan iklim. Sahabat saya membuktikan bahwa dengan ditanamnya bibit-bibit lokal, itu kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklimnya lebih besar.

Jadi kelihatan sekali sumbangannya itu tidak langsung ada. Challenge-nya itu adalah membuktikan bahwa fakta-fakta yang kita saksikan di lapangan itu ada catatan-catatan yang betul-betul hasil riset. Itu tantangan menarik untuk teman-teman peneliti untuk menjadikan ini sebagai penelitian khusus.

Bagaimana meyakinkan anak-anak millennial dan gen z untuk mau belajar atau ikut serta untuk mengadvokasi perhutanan sosial? Dan apa yang bisa dilakukan?

Sekarang yang seringkali kemudian kita saksikan saat turun ke lapangan, dulu, adalah petani-petani tua. Itu kan karena mereka tahu cara bertani secara tradisional. Sekarang, saat terbuka kesempatan ada ekowisata dan segala macam, maka ketemu tuh misalnya anak petani, cucunya petani.

Kemarin saya ketemu saat di Bengkulu, untuk produk mereka misalnya keripik pakis dan segala macam, yang menjualnya itu anaknya yang usianya masih milenial dan gen z. Mereka menjualnya di digital marketing. Aku juga bertemu di Kalibiru yang ngetop itu di Yogya, itu salah satu perhutanan sosial pertama di Indonesia.

Tahun 2007 mendapat HKm. Salah satu dari kelompok kecil HKm pertama dulu yang dapat. Kenapa Kalibiru ini selama lima tahun, tiba-tiba dari peruntukan sebagai kawasan hutan produksi berubah jadi hutan lindung. Emangnya bisa apa sih di hutan lindung? Karena dulu kan pemikirannya mengolah secara tradisional seperti halnya petani biasa, ternyata, kesempatan ekowisata terbuka lebar.

Kemudian, berbagai hasil hutan non-kayu atau turunan produk-produknya berkembang. Maka kemudian kuncinya adalah bagaimana keindahan Kalibiru itu disebarkan oleh para millennial lewat YouTube dan sebagainya sehingga Kalibiru jadi sangat ngetop luar biasa. Dan Kalibiru ini juga menginspirasi banyak kelompok HKM dan hutan desa di banyak tempat.

Kemudian, yang paham soal ini (teknologi) siapa? Aku saja harus nanya anak karena jarang pakai Instagram. Jadi, para petani tua dan sepuh ini dibantu oleh para millennial dan gen z terkait hal-hal IT ini. Terus ada temanku namanya Rajawali, dia membantu banyak kelompok perhutanan sosial di banyak tempat dimulai di Toraja. Dia mengajarkan untuk menerbangkan drone untuk melihat kawasan hutan apakah aman atau tidak. Kemudian ada juga yang mengajarkan digital marketing.

Nah, jadi ketertarikan itu bermula dari sana. Media sosial juga menjadi kunci untuk kemajuan perhutanan sosial di masa yang akan datang. Aku yakin ini akan selalu ada harapan dan dukungan dari berbagai pihak untuk perhutanan sosial karena kalau konteksnya Indonesia, perhutanan sosial itu bagian dari keberagaman kita. Jadi sayangilah perhutanan sosial karena dia menunjukan keberagaman Indonesia.

Baca Juga: Swary Utami Dewi: Mengadvokasi Masyarakat Lewat Isu Perhutanan Sosial

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya