Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat Tolak Tapera: Kebijakan Otoriter!

Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menolak keras wacana diberlakukannya Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Aliansi yang terdiri atas buruh, mahasiswa, bersama sejumlah elemen masyarakat itu menilai kebijakan Tapera otoriter.

"Aliansi Gebrak mengecam dan menolak keras kebijakan Tapera yang otoriter sebagai solusi rakyat yang tidak memiliki rumah," kata Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, mewakili aliansi Gebrak dalam keterangannya, Selasa (4/6/2024).

1. Kebijakan Jokowi dianggap bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat

Demo buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan mahasiswa di Patung Kuda, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Gebrak menilai rezim pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo tidak henti-hentinya memberikan kebijakan yang bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat. Lebih tepatnya di masa akhir periode Jokowi dan Ma’aruf Amin, rakyat kembali diberikan kebijakan yang buruk melalui agenda Tapera. Sebab, rakyat dipaksa memberikan uangnya untuk menjadi peserta Tapera dengan dalih agar rakyat memiliki rumah. 

"Tentu kebutuhan mendasar atas perumahan memang menjadi agenda penting kaum buruh dan rakyat. Namun konsepsi yang dibangun dan ditetapkan oleh negara dan rezim Jokowi melalui program yang dibuat menurut kami memiliki haluan yang berbeda dengan apa yang diharapkan oleh kaum buruh dan rakyat Indonesia," tutur Sunarno. 

2. Banyak kebijakan pengelolaan uang rakyat dikorupsi

Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Gebrak mengingatkan bahwa beberapa kebijakan penghimpunan dan pengelolaan uang rakyat oleh lembaga pemerintah justru terjadi dugaan praktik korupsi. Di antaranya seperti Taspen, Asabri, Jiwasraya dan Dapen BUMN serta BPJS Ketenagakerjaan. Sunarno menilai, hal tersebut seharusnya menjadi pelajaran penting bagi buruh dan rakyat bahwa agenda penghimpunan atau pengelolaan uang rakyat justru dirampas oligarki.

Menurutnya, agenda Tapera yang dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 dan dilegitimasi oleh PP 25 tahun 2020 dan direvisi kembali menjadi PP Nomor 21 tahun 2024 tidak demokratis, partisipatif, inklusif dan transparan. Karena dalam proses rancangan Peraturan Pemerintahnya (RPP) tidak melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil. 

Sunarno secara khusus menyoroti kewajiban menjadi peserta iuran yang harus dibayarkan setiap bulannya dari buruh dan rakyat akan menambah beban baru. Selain itu juga memperbesar garis kemiskinan yang akan terjadi di Indonesia.

"Tentu hal tersebut berkontradiksi dengan realitas yang terjadi hari ini yang dialami oleh kaum buruh dan rakyat seperti; lapangan pekerjaan yang sulit, hubungan kerja fleksibel yang mengakibatkan bekerja menjadi tidak pasti (kontrak/outsourcing), upah yang murah dan kenaikan setiap tahunnya sangat kecil (maksimal hanya 0,3 persen per tahun), kebutuhan sembako dan energi (BBM, listrik dan lainnya) yang harganya semakin melambung tinggi, serta jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah justru tidak maksimal kepada rakyatnya," ungkap dia.

3. Tapera justru semakin memperdalam penderitaan

Demo buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) di Patung Kuda, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut, Sunarno mengungkapkan penyebab kaum buruh dan rakyat sulit memiliki rumah utamanya adalah karena biaya hidup yang tinggi, namun upahnya yang rendah sehingga tidak mampu membeli rumah.

Di samping itu, saat ini tidak ada kepastian terhadap pekerjaan (status kerja kontrak/outsourcing/mitra/freelancer) yang menjadi salah satu hal tersulit dalam mengajukan Kredit Pembiayaan Rumah (KPR).

"Selain itu kaum buruh dan rakyat setiap hari dan setiap bulannya pun sudah memikul beban-beban yang begitu berat seperti membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan (2 persen) dan kesehatan (1 persen), pajak penghasilan PPH 21 sebesar 5 sampai 10 persen dari PTKP, dan pajak-pajak lainnya dari barang atau jasa yang wajib ditanggung kaum buruh dan rakyat," imbuhnya.

Artinya penambahan agenda Tapera justru semakin memperdalam penderitaan rakyat karena pemaksaan yang dilakukan dan besaran iuran yang wajib dibayarkan. 

Selain itu, agenda Tapera sendiri justru menimbulkan tumpang tindih kebijakan dengan program yang sudah berjalan, seperti BPJS Ketenagakerjaan tentang Perumahan Pekerja/Buruh. Serta program-program lainnya yang ada di setiap Pemerintah Provinsi, Kota dan Daerah tentang perumahan rakyat. 

"Selain itu proses pengadaan tanah atau pembukaan lahan yang menggusur dan merampas hak-hak masyarakat kecil, akan berpotensi menimbulkan konflik baru di sektor Agraria serta berdampak luas pada lingkungan hidup dan kerusakan ekologis," tandas Sunarno.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us