Pidato Jokowi di COP28 Dinilai Penuh Kontradiksi

Tekad Jokowi mencapai Net Zero Emission 2060 belum realistis

Jakarta, IDN Times - Pidato Presiden Joko "Jokowi" Widodo di Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2023 atau Conference of the Parties 28 (COP28) di Dubai, Uni Arab Emirat, pada Jumat (1/12/2023), dinilai penuh kontradiksi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Dalam pidatonya Jokowi menyampaikan Indonesia akan mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060, serta mengangkat keberhasilan negara dalam pengurangan emisi sebesar 42 persen, pengurangan angka deforestasi, hingga transisi ekonomi berkelanjutan.

Dalam siaran pers yang dikutip pada Selasa (5/12/2023), WALHI menilai klaim-klaim tersebut dilebih-lebihkan dan kontradiktif dengan kebijakan dan aksi iklim yang sedang dijalankan pemerintah.

 

1. Model ekonomi ekstraktif Indonesia bertolak belakang dengan target NZE 2060

Pidato Jokowi di COP28 Dinilai Penuh KontradiksiPresiden RI Joko Widodo di COP28. (dok. BPMI RI)

WALHI menilai target NZE pada 2060 tidak akan terwujud dengan model ekonomi ekstraktif tinggi emisi yang selama ini dijalankan sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sebab, model ini telah menyebabkan krisis iklim, konflik sosial, perampasan ruang hidup rakyat dan melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat.

Salah satu contohnya adalah bagaimana model ekonomi ini menghilirisasi pertambangan nikel yang masih dilanjutkan seperti yang terlihat dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

Ekstraksi pertambangan nikel menyebabkan deforestasi hingga 25 ribu hektare dalam 20 tahun terakhir. Mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765 ribu hektare, emisi CO2 juga diperkirakan akan bertambah 83 juta ton.

Baca Juga: 5 Negara Maju Tebar Duit buat Negara Berkembang Lewat COP28

2. Penurunan emisi sebesar 42 persen pada tahun 2020-2022 disebut manipulasi angka

Pidato Jokowi di COP28 Dinilai Penuh KontradiksiPresiden RI Joko Widodo di COP28. (dok. BPMI RI)

Menurut WALHI, klaim Jokowi yang menyatakan Indonesia berhasil menurunkan emisi sebesar 42 persen di periode 2020-2022 dibandingkan Business as Usual (BAU) 2015 dibangun melalui teknik cherry picking (strategi menyampaikan potongan-potongan fakta tertentu yang dapat mendukung klaim atau opini, dengan mengabaikan fakta lainnya).

WALHI memaparkan, laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut emisi pada 2015 mencapai sekitar 2.3 juta gigaton CO2e. Sumber emisi tertinggi merupakan kebakaran hutan dan lahan, terutama pada ekosistem gambut. Tahun-tahun selanjutnya, kecuali 2019, menunjukan jumlah emisi di bawah 1,5 juta gigaton.

Meskipun menurun,  WALHI menjelaskan bahwa seharusnya klaim penurunan emisi didasarkan pada BAU tahun dengan mengecualikan kebakaran hutan dan lahan terutama di ekosistem gambut. Hal ini juga terdampak oleh pandemik pada 2020-2022 yang menurunkan emisi di beberapa sektor dengan cukup signifikan.

Jadi, angka keberhasilan penurunan emisi yang seharusnya dicapai pemerintah sesuai dengan dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) sebesar 31 persen BAU dan 43 persen dengan dukungan internasional dalam jumlah emisi tahunan harus menjadi 890 ribu gigaton CO2e dan 741 ribu gigaton CO2e.

 

3. Pengurangan kemiskinan dan ketimpangan dihambat oleh eksploitasi sumber daya alam

Pidato Jokowi di COP28 Dinilai Penuh KontradiksiPresiden RI Joko Widodo di COP28. (dok. BPMI RI)

WALHI menyebut, kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia justru memperburuk kehidupan masyarakat, terutama kehidupan kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, nelayan, dan lainnya.

Hal ini bisa dilihat dari kemiskinan nelayan desa-desa pesisir Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia mencapai 17,74 juta jiwa pada tahun 2022, dengan 3,9 juta jiwa masuk kategori miskin ekstrim. Data September 2022 menunjukan total penduduk miskin di Indonesia adalah 26 juta jiwa, sehingga kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka itu. 

WALHI juga melansir Penelitian Litbang Kompas pada 2023 yang menyatakan, tahun 2030 jumlah nelayan dan petani sejumlah 920 ribu orang akan meninggalkan pekerjaannya akibat krisis iklim maupun proyek-proyek iklim.

Percepatan penggunaan energi terbarukan dan penurunan penggunaan batubara di Indonesia tidak realistis.

Menurut WALHI, klaim presiden Jokowi mengenai percepatan penggunaan energi terbarukan dan penurunan penggunaan batubara juga tidak realistis. Sebab, penggunaan energi terbarukan di Indonesia masih tidak melebih angka 12 persen, jauh dari target pemerintah yang tercatat sebagai 23 persen pada 2025.

Terkait dengan penggunaan batubara di Indonesia, WALHI juga menyatakan bahwa hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut kontrak panjang penggunaan batubara dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru akan mencapai puncaknya hingga tahun 2035.

WALHI mengatakan, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2022 melarang pengembangan PLTU baru, namun PLTU-PLTU Captive (pembangkit listrik batubara yang dioperasikan di luar jaringan listrik pemerintah) terus meningkat.

Hal ini bisa dilihat dari laporan Center for Research of Energy and Clean Air (CREA) dan Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2023, yang menunjukan bahwa pada sepuluh tahun terakhir, kapasitas PLTU Captive meningkat hampir dua kali lipat dari 1,4 gigawatt pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023.

 

4. Platform pembiayaan untuk mengatasi krisis iklim membebani pemerintah dengan utang

Pidato Jokowi di COP28 Dinilai Penuh KontradiksiPresiden Jokowi hadir di pembukaan WCAS COP28 di Dubai (Youtube.com/COP28)

Jokowi menyatakan bahwa sebagai upaya mengatasi krisis iklim, pemerintah Indonesia telah menyiapkan platform pembiayaan, bursa karbon, mekanisme transisi, dan dana lingkungan hidup dari result based payment. Namun, WALHI menjelaskan bahwa hal ini menunjukkan kelemahan diplomasi iklim Indonesia.

Sebab, Indonesia menjadi dipenuhi dengan utang baru, seperti dana yang diterima melalui komitmen energi transisi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang, dengan jumlah 20 miliar dolar AS (sekitar 300 triliun rupiah). Pemerintah juga harus menerima investasi untuk membangun infrastruktur energi fosil dan disodori skema transisi yang penuh utang baru.

Intinya, skema pendanaan yang dipenuhi dengan utang hanya akan memberi beban berlapis kepada pemerintah.

Baca Juga: Hadiri COP28, Jokowi Bertekad RI Capai Nol Emisi sebelum 2060

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya