TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hari Kartini, Saat Perempuan Memperjuangkan Kesetaraan Gender 

Ingin gapai akses yang sama dalam profesi di mata publik

Ilustrasi perempuan muda (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Peringatan Hari Kartini setiap tahunnya selalu menggaungkan kampanye kesetaraan gender di berbagai lini masyarakat. Raden Ajeng Kartini adalah sosok yang telah memperjuangkan emansipasi wanita sejak dulu.

Lantas apakah emansipasi wanita dan kesetaraan gender sudah benar-benar terrealisasi di masyarakat?

Lembaga Pers Dr Soetomo atau LPDS menggelar webinar khusus di Hari Kartini yang  jatuh Rabu (21/4/2021). Webinar mengundang Uni Lubis selaku Pimpinan Redaksi IDN Times dan Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dan Rima Novianti selaku Direktur Komersial PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) untuk membagikan pengalamannya di profesi masing-masing dan memperjuangkan hak yang sama dengan laki-laki.

Baca Juga: Hari Kartini, Sri Mulyani Ajak Perempuan Indonesia Jadi 'Game Changer'

1. Artificial Intelligence tak sensitive gender

logikaextream.blogspot.com

Uni Lubis memaparkan mengenai posisi jurnalis wanita di Indonesia. Ia menyatakan bahwa masalah gender saat ini belum sepenuhnya setara, namun sudah berangsur membaik sejak 20 tahun terakhir.

Meski begitu di masa canggih seperti saat ini, ternyata masih terdeteksi adanya bias terhadap kelompok minoritas dalam konteks ini adalah wanita. Uni Lubis mereferensikan pada satu film dokumenter investigatif yang tayang di netflix berjudul Coded Bias. Film ini menceritakan tentang pengalaman seorang ahli IT yang mengalami masalah dalam teknologi yang tak bisa mendeteksi wajahnya. Kemudian karena penasaran, ia mengenakan topeng putih untuk mencoba apakah hal ini dapat membuat wajahnya dikenali, dan benar saja, berkat topeng putih tersebut wajahnya terdeteksi.

Uni melihat masalah ini cukup relevan dengan kekhawatiran mengenai isu rasis dan ketidaksetaraan gender, karena menurut film tersebut teknologi dan algoritma di sekitar kita ternyata bias atau berat sebelah, rasis dan tidak mengindahkan kesetaraan gender.

"Jadi kalau ternyata tiba-tiba banyak muncul konten yang merugikan perempuan, entah pornografi atau konten yang menunjukkan bahwa perempuan tidak berdaya, boleh jadi (menurut film tersebut) adalah bentuk biased algoritma. Tapi ini merupakan bukti terbaru buat saya bahwa tidak ada yang tak mungkin bagi perempuan, inilah yang membawa saya pada semangat hari Kartini," ujar Uni.

2. Meraih kesempatan dan akses yang sama

Bina Karir

Uni Lubis lalu mengutip pernyataan mantan Ibu Negara Amerika, Michelle Obama, bahwa "Tidak ada negara yang benar-benar dapat berkembang jika menghambat potensi kaum perempuannya dan menghilangkan kontribusi dari separuh warganya".

Kemudian ia kembali mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, bahwa "Investing in women, means investing in a brighter future".

Uni lalu merujuk data sensus penduduk Indonesia 2020 yang menunjukkan populasi sebanyak 270,2 juta, dengan 49,42 persennya perempuan. Bisa dikatakan jumlah perempuan separuh dari populasi. Angka ini tentu saja jauh panggang dari api, sebab proporsi jumlah yang hampir sama tak menjamin terwujudnya kesetaraan gender. 

Kesetaraan gender, menurutnya, bukan masalah menang atau kalah. Kesetaraan gender adalah ketika semua orang, semua warga mendapatkan akses dan perlakuan yang setara, adil dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas jenis kelamin mereka. Dan, kesetaraan gender di Indonesia masih rendah. Bahkan ada di peringkat 103 dari 162 negara. Di ASEAN sendiri, Indonesia berada di peringkat tiga terbawah. 

Direktur Komersial PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Rima Novianti juga menjelaskan sulitnya mendapatkan promosi karir dengan statusnya sebagai wanita. "Memang harus ada breakthrough dulu untuk bisa di posisi top level management," katanya.

Ia menyatakan bahwa komposisi antara pria dan wanita di Pelindo II untuk kesenjangannya saat ini tidak lagi tinggi, hanya saja akomodasi seperti nursery room dan fasilitas daycare belum tersedia, ia berharap mudah-mudahan fasilitas ini dapat segera dipenuhi. 

3. Tak Mustahil bagi Wanita untuk kerja di bidang 'maskulin' tanpa ketakutan akan sexual harrasment

Pexels.com/Andrea Piacquadio

Uni Lubis dalam menjawab salah satu pertanyaan menyatakan bahwa meski saat ini banyak perempuan yang sudah bisa berkarir, ekosistemnya tetap tergantung apa kata bos. Contoh paling kekinian yaitu pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksua (RUU PKS), menunjukkan porsi keberadaan perempuan di kantor tidak cukup untuk mendorong segera disahkannya undang-undang tersebut. 

Masalah ini seolah tak dianggap sebagai prioritas, padahal pandemik justru menunjukkan tingkat KDRT semakin meningkat, ibaratkan work from home ini sebagai lonceng kematian apabila perempuan punya pasangan yang abusive. Dengan adanya undang-undang yang mengikat tentu masalah ini dapat diredam bahkan dicegah, namun sayangnya hingga sekarang belum ada kejelasan terkait pengesahan RUU PKS.

Uni melanjutkan, bahwa media masih belum memberikan kesetaraan, women not represented enough in media. Perjuangan seharusnya tak hanya dilakukan oleh jurnalis perempuan dan perempuan, tapi juga dilakukan oleh jurnalis laki-laki dan laki-laki.

Jurnalis perempuan rentan mengalami perisakan atau bullying, bahkan sexual harrasment secara online. Tampak dari adanya beda kritik apabila terjadi kesalahan di penulisan bagi perempuan dan laki-laki. Kritik yang disampaikan kepada jurnalis perempuan yang terjadi adalah bullying termasuk pelecehan seksual.

"Memang sudah ada perbaikan tapi PR masih panjang, ini adalah autokritik dan introspeksi kita justru perjuangan untuk meraih kesetaraan gender itu masih berat di kalangan media sendiri," ia menambahkan.

Rima Novianti pun juga menjelaskan bahwa memang pernah terjadi pelecehan seksual di lingkungan kantor, dan sudah ada sistem yang meregulasi terkait masalah ini, apabila terjadi dan terbukti maka pelaku pelecehan akan diberhentikan dari kantor. 

4. Perempuan dalam menyikapi ketidaksetaraan

freepik.com/freepik

Menurut Rima, perempuan itu sesungguhnya memiliki daya survive yang tinggi, sehingga dapat bangkit secara kuat. Tinggal aksesnya saja yang masih sulit. 

"Memang kalau kita mau ada di satu posisi kita harus bisa menunjukkan bahwa apa yang kita lakukan adalah sama seperti apa yang pria lakukan. Kita juga harus manage hal-hal seperti mengurus rumah dan anak, agar jangan sampai hal tersebut terlihat seperti kekurangan kita dan menyebabkan kita dipandang kurang 'kompeten' di posisi yang kita inginkan. Tunjukan bahwa kita dapat mengerjakan dan pekerjaan itu selesai," kata Rima.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Uni juga menyatakan bahwa syarat untuk menjadi jurnalis perempuan adalah menjaga kesehatan, karena membuat diri kuat secara fisik agar bisa kompetisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri sehingga tidak direndahkan oleh jurnalis laki-laki.

Baca Juga: Kartini Masa Kini, Ini Perjuangan Pengusaha Perempuan Kenalkan Usahanya

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya