TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Playing Victim dalam Politik, Istilah yang Muncul Sejak Kuno

Playing victim sudah dipraktikkan sejak lama

Ilustrasi "Bamboo Camp" Mariso, salah satu kamp tawanan perang milik tentara Jepang di Makassar, Sulawesi Selatan, selama Perang Dunia II. (COFEPOW.org.uk)

Jakarta, IDN Times - Hasil ketok palu Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Hotel The Hill, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatra Utara pada Jumat, 5 Maret 2021, yang secara aklamasi memilih Moeldoko sebagai ketua umum Demokrat masa jabatan 2021-2025 terus menuai kontroversi.

Moeldoko Cs dianggap membajak kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang menjadi ketua umum Partai Demokrat secara sah menurut aturan partai berlambang bintang mercy itu.

Keabsahan kepemimpinan AHY telah diperkuat keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), yang menolak hasil KLB Demokrat kubu Moeldoko.

Sementara, di tengah kisruh Partai Demokrat, beberapa pihak berspekulasi ada desain politik yang digaungkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai 'roh' partai ini.

SBY dinilai menggunakan jurus lama, playing victim, untuk mendapatkan simpati masyarakat, agar bendera Demokrat kembali berkibar menjelang pemilu 2024.

Sebenarnya seperti apa istilah playing victim dalam pandangan politik?

Baca Juga: Klaim Masih Jadi Ketum Demokrat, Moeldoko Ucapkan Duka Bagi NTT 

1. Makna istilah playing victim

Ilustrasi Kapal Perang dalam sebuah latihan militer (twitter.com/USPacificFleet)

Playing victim secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, playing artinya bermain dan victim yang artinya korban. Bermain korban. Maksudnya seseorang bersikap seolah-olah sebagai korban, dengan mengutarakan berbagai alasan sebagai pembenaran di hadapan orang lain.

Istilah ini kerap digunakan dalam berbagai situasi, seperti saat seseorang terlibat perkelahian. Saat diminta menjelaskan situasi yang terjadi, seorang yang melakukan playing victim akan berlagak seperti seseorang yang diserang dan hanya melakukan perlawanan balik untuk memberi perlindungan terhadap diri sendiri, meskipun kenyataannya tidak demikian.

2. Praktik playing victim sudah ada sejak lama sebagai strategi berperang

Ilustrasi "Bamboo Camp" Mariso, salah satu kamp tawanan perang milik tentara Jepang di Makassar, Sulawesi Selatan, selama Perang Dunia II. (COFEPOW.org.uk)

Merujuk pada buku Seni Perang dan 36 Strategi karya Sun Tzu--penggagas seni perang dari Tiongkok, menjelaskan konsep playing victim dalam strategi perang: dalam strategi ke-34 sub bab Strategi Kalah, “Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh (masuk ke dalam jebakan, jadilah umpan)”.

Sun Tzu menjelaskan dengan berpura-pura terluka bisa menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, musuh akan bersantai sejenak karena dia tidak memandang kita sebagai ancaman serius. Kedua, jilat musuh dengan berpura-pura terluka, sehingga musuh merasa aman.

Gampangnya, kita dapat menyebut strategi ini sebagai strategi mengelabui dan memanipulasi keagresifan musuh. Praktik playing victim ini sudah diterapkan Sun Tzu sejak ratusan tahun yang lalu, atau sekitar 544-496 SM. 

Sun Tzu sendiri seorang jenderal, ahli strategi militer, penulis, sekaligus filsuf Tiongkok yang hidup pada periode Zhou Timur Tiongkok kuno. Sun Tzu secara tradisional dikreditkan sebagai penulis Seni Perang, sebuah karya strategi militer yang memengaruhi filosofi dan pemikiran militer Barat dan Asia Timur.

3. Playing victim strategi ampuh untuk mencuri simpati publik

Perang antara tentara sekutu dengan tentara Jepang di Balikpapan (Dok. Dahor Heritage Museum/Australian War Memorial)

Tak dapat dipungkiri, aksi menyerang dan bertahan dalam dunia politik adalah hal yang lumrah dilakukan, berbagai strategi agar dapat mencapai kekuasaan, termasuk strategi playing victim.

Strategi ini bertujuan untuk mengelabui musuh agar merasa aman dan tidak terancam, serta memanfaatkan simpati publik dengan pernyataan-pernyataan maupun bingkai kejadian. Sehingga pelaku playing victim seolah sebagai korban teraniaya dalam kasus, yang kemudian menggugah simpati dan dukungan publik.

Meskipun tak selalu berakhir manis, strategi ini dinilai cukup ampuh untuk menggiring opini masyarakat. Permainan kata-kata dan taktik mulus memang terbukti banyak mengelabui dan digunakan dalam berbagai situasi.

Alhasil, dampak strategi ini yang paling tampak adalah goyahnya pandangan netral dari publik dikarenakan adanya pengaruh psikologis yang menggugah simpati. Sehingga publik mulai menutup mata dan membangun pemahaman tersebut dengan menutup mata, mendukung tanpa mempertimbangkan fakta lain yang ada.

4. Kasus-kasus yang disebut-sebut menggunakan playing victim

Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat sidang kasus penistaan agama. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Beberapa kasus yang juga dinilai menggunakan strategi playing victim yakni kaum Yahudi yang dianggap memanfaatkan simpati publik dan perhatian dunia, dengan menyatakan diri sebagai kaum terjajah dan terlantar, akibat siksaan dari Nazi di Jerman.

Dampak positifnya, mereka memperoleh banyak dukungan dari negara-negara besar, untuk kemudian menjajaki wilayah Palestina dan mendirikan negara Israel hingga saat ini.

Contoh lain jurus playing victim dalam politik adalah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada Pilkada DKI 2017, dengan mengangkat isu minoritas untuk meraih simpati publik.

Sayangnya, pernyataan yang diucapkan Ahok justru membuat blunder dan tidak tepat sasaran, yang justru menjebloskan dia ke bui. Ahok dianggap menistakan agama.

Baca Juga: AHY: KLB Demokrat Kubu Moeldoko Harusnya Minta Maaf ke Presiden Jokowi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya